30 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Sandal, Polisi, Monyet

Oleh: H Affan Bey Hutasuhut
Wakil Pemimpin Umum Sumut Pos

Ketika musibah anak maling sandal di Palu berguncang keras,  kupikir polisi di negeri ini pada meriang berat. Soalnya , khalayak yang serempak mencibir polisi cukup keras mencerca. Masak hanya mencuri sandal mesti ke pengadilan. Entah siapa punya pun sandal itu, mestinya didamaikan sajalah. Jangan korbankan masa depan anak.

Kecaman yang berkumandang dari berbagai pelosok negeri masuk akal. Celakanya, belum lagi reda kasus sandal,  entah karena pekak, masalah ini tetap saja dianggap kecil sampai gak kelihatan tuh oleh sejumlah polisi.

Kali ini Fahmi djadikan pula tersangka oleh Polresta Medan. Anak berusia 12 tahun itu diadukan Iptu Hutajulu, ayah lawannya berkelahi belum lama ini.  Ali Nur ayah Fahmi pun panas dingin. Dia berang karena ayah anak itu dituduhnya ikut ikutan memukul anaknya. Sudah itu dijadikan lagi tersangka. Iptu Hutajulu dan anaknya pun dilaporkan juga ke polisi.

Belakangan polisi menganjurkan kedua belah pihak untuk berdamai. Langkah ini sudah benar, cuma terdengar sumbang. Kalau sejak awal polisi arif, patutkah anak-anak berkelahi dijadikan tersangka dan kemudian dipidana. Anak-anak itu biasa berkelahi dan habis itu tertawa-tawa.

Kalau polisi dan jaksa begitu gampangnya membawa kasus ini  ke meja hijau, bakal sesak anak-anak di kursi pesakitan dan sebaliknya sepi bangku sekolah. Hampir tiap hari anak-anak berkelahi.

Seorang mantan hakim di Pengadilan Negeri Tarutung pernah membuat vonis yang menyejukkan hati. Sang hakim memvonis mengembalikan seorang anak siswa SD untuk dibina oleh orangtuanya. Padahal anak itu terbukti membunuh ayah kandungnya di Pangururan Samosir di pengujung 1980 lalu.

Musibah itu berawal saat sang ayah pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Rupanya begitu istrinya membuka pintu, entah apa pasalnya marah-marah. Kendati istrinya diam, tapi kelakuan si ayah makin garang. Dia memukuli istrinya seraya mengomel.

Tak tahan dipukuli, sang istri berlari keluar rumah di malam gulita. Di sinilah musibah terjadi. Saat istrinya hendak di dorong ke tepi lembah, si anak segera bergegas mengambil pisau di dapur dan seketika itu pula menikam ayahnya hingga tewas.

Bagi sang hakim, anak itu memang terbukti membunuh ayahnya. Tapi itu dilakukan secara spontanitas dan didorong oleh kecintaan kepada ibunya yang sering dianaya oleh sang ayah. Apalagi, malam itu memang terancam jiwa ibunya kalau sampai jatuh terlempar.

Makanya, ketika jaksa menuntut anak itu empat tahun menjadi anak Negara, hakim berbeda pendapat. Dia tak menangkal kalau anak dibina menjadi  Anak Negara itu bisa berhasil. Tapi dia lebih yakin, bahwa hanya orang tua lah yang paling tepat untuk mendidik anak-anaknya.

Nah, lho. Gak usah ngototlah membawa anak berkelahi ke pengadilan. Sebaiknya polisi lebih baiklah bertugas. Ada yang bilang, semakin tinggi monyet naik di pohon, semakin kelihatan pula bokongnya. (*)

Oleh: H Affan Bey Hutasuhut
Wakil Pemimpin Umum Sumut Pos

Ketika musibah anak maling sandal di Palu berguncang keras,  kupikir polisi di negeri ini pada meriang berat. Soalnya , khalayak yang serempak mencibir polisi cukup keras mencerca. Masak hanya mencuri sandal mesti ke pengadilan. Entah siapa punya pun sandal itu, mestinya didamaikan sajalah. Jangan korbankan masa depan anak.

Kecaman yang berkumandang dari berbagai pelosok negeri masuk akal. Celakanya, belum lagi reda kasus sandal,  entah karena pekak, masalah ini tetap saja dianggap kecil sampai gak kelihatan tuh oleh sejumlah polisi.

Kali ini Fahmi djadikan pula tersangka oleh Polresta Medan. Anak berusia 12 tahun itu diadukan Iptu Hutajulu, ayah lawannya berkelahi belum lama ini.  Ali Nur ayah Fahmi pun panas dingin. Dia berang karena ayah anak itu dituduhnya ikut ikutan memukul anaknya. Sudah itu dijadikan lagi tersangka. Iptu Hutajulu dan anaknya pun dilaporkan juga ke polisi.

Belakangan polisi menganjurkan kedua belah pihak untuk berdamai. Langkah ini sudah benar, cuma terdengar sumbang. Kalau sejak awal polisi arif, patutkah anak-anak berkelahi dijadikan tersangka dan kemudian dipidana. Anak-anak itu biasa berkelahi dan habis itu tertawa-tawa.

Kalau polisi dan jaksa begitu gampangnya membawa kasus ini  ke meja hijau, bakal sesak anak-anak di kursi pesakitan dan sebaliknya sepi bangku sekolah. Hampir tiap hari anak-anak berkelahi.

Seorang mantan hakim di Pengadilan Negeri Tarutung pernah membuat vonis yang menyejukkan hati. Sang hakim memvonis mengembalikan seorang anak siswa SD untuk dibina oleh orangtuanya. Padahal anak itu terbukti membunuh ayah kandungnya di Pangururan Samosir di pengujung 1980 lalu.

Musibah itu berawal saat sang ayah pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Rupanya begitu istrinya membuka pintu, entah apa pasalnya marah-marah. Kendati istrinya diam, tapi kelakuan si ayah makin garang. Dia memukuli istrinya seraya mengomel.

Tak tahan dipukuli, sang istri berlari keluar rumah di malam gulita. Di sinilah musibah terjadi. Saat istrinya hendak di dorong ke tepi lembah, si anak segera bergegas mengambil pisau di dapur dan seketika itu pula menikam ayahnya hingga tewas.

Bagi sang hakim, anak itu memang terbukti membunuh ayahnya. Tapi itu dilakukan secara spontanitas dan didorong oleh kecintaan kepada ibunya yang sering dianaya oleh sang ayah. Apalagi, malam itu memang terancam jiwa ibunya kalau sampai jatuh terlempar.

Makanya, ketika jaksa menuntut anak itu empat tahun menjadi anak Negara, hakim berbeda pendapat. Dia tak menangkal kalau anak dibina menjadi  Anak Negara itu bisa berhasil. Tapi dia lebih yakin, bahwa hanya orang tua lah yang paling tepat untuk mendidik anak-anaknya.

Nah, lho. Gak usah ngototlah membawa anak berkelahi ke pengadilan. Sebaiknya polisi lebih baiklah bertugas. Ada yang bilang, semakin tinggi monyet naik di pohon, semakin kelihatan pula bokongnya. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/