26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Naik Kereta

Tunggu dulu, ini bukan kereta seperti yang dimaksud orang di Pulau Jawa sana. Ya, bukan kereta api. Bukan pula kereta yang dimaksud oleh orang di Malaysia. Ya, bukan mobil. Ini tentang kereta menurut orang Medan. Artinya, sepeda motor.

Dan, ini tentang imbauan keras dari pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) terkait tradisi mudik jelang Lebaran nanti. Ceritanya, pihak Poldasu telah menyiapkan strategi dan langkah menghadapi musim mudik tahun ini. Satu di antara poin yang disepakati pada rapat koordinasi dengan pihak terkait adalah soal kereta atau sepeda motor tadi.

Humas Poldasu si Komisaris Besar (Kombes) Polisi (Pol) Raden Heru Prakoso mengatakan pemudik diimbau keras agar tidak menggunakan sepeda motor. Pasalnya, rawan kecelakaan. Jadi, kalau pemudik tetap bandel, ya polisi yang ada di lapangan akan melakukan tindak langsung (tilang). Pernyataan ini tampaknya serius. Bagaimana tidak, setiap tahun memang ada anjuran agar pemudik tidak menggunakan sepeda motor. Tapi, anjuran itu hanya sebatas anjuran; sama sekali tidak ada sanksi.

Nah, kini pihak Poldasu berkoar akan menilang, bukankah itu serius? Tapi, yang menjadi pertanyaan (baca, catatan) saya, tilang yang dimaksud yang seperti apa? Dan, seperti apa sangsi yang akan diberikan. Lalu, bagaimana si polisi bisa memantau pemudik berkereta alias bersepeda motor tadi.
Kawan saya menjelaskan, tilang yang dimaksud jangan diartikan seperti tilang yang selama ini dikenal. Maksudnya, polisi menyetop pengendara yang bandel lalu memberikan surat tilang yang berujung pada sidang di pengadilan.

Tilang, katanya, harus dimaknai dengan kata sebenarnya dan bukan akronim. Jadi, tilang adalah tindakan langsung. Nah, namanya tindakan langsung, berarti si polisi akan berhadapan langsung dengan pengendara yang bandel. Hukumannya, ya, terserah si polisi. Bisa juga bukan hukuman, tapi hanya sekadar sosialisasi jalur mudik. Misalnya, pemudik harus pakai helm, menaati rambu dan marka jalan, istirahat ketika capek, dan sebagainya.

Kawan saya juga menjelaskan, polisi pasti tahu mana yang sekadar pengendara sepeda motor dan mana yang pemudik berkendara sepeda motor. Memang, seorang pemudik nakal bisa saja me-ngakali polisi. Dia bisa pura-pura bukan sebagai pemudik. Misalnya tidak memakai tas besar — tasnya sudah dikirimkan melalui jasa pengiriman — hingga dia terkesan sedang mengendarai sepeda motor seperti orang lain yang sedang tidak mudik yang tidak menempuh jarak lebih dari dua jam.

Tapi, masalah dua jam, bukankah itu menjadi sesuatu yang tak jelas? Maksudnya, sejauh mana polisi bisa tahu tujuan sang pengendara sepeda motor. Ya, bukan bisa dikarang-karang? Untuk ini, kawan saya tadi menyerah. Dia tidak punya pemecahan atas pertanyaan itu. Hm, sudahlah. Kawan saya memang bukan polisi kok.

Yang jelas, menurut si Heru, Poldasu tidak sekadar mengimbau. Mereka juga menyiapkan pengawasan ekstra untuk musim mudik ini. Buktinya, dari rapat koordinasi itu, diputuskan akan ada mendirikan 47 Pos Pengamanan (Pospam) dan 5 pos pelayanan (posyan) yang tersebar di sepanjang Jalan Lintas Sumatera mulai dari arah Binjai.  Rincian pos itu, ada ada 5 di langkat, 5 di Binjai, 14 di Medan, 3 di Deliserdang, 5 di Sergai, 5 di Tebingtinggi, 6 di Asahan, dan 9 di Labuhanbatu.

Nah, dengan keadaan itu, mungkinkah para pemudik yang berkereta alias bersepeda motor tadi bisa menghindar? Hm, entahlah.
Kawan saya tadi malah bersuara lagi. Katanya, pendirian pos-pos itu harusnya bisa efektif. Jarak satu pos ke pos lainnya pastilah telah diperhitungkan oleh Poldasu. Itu, kata kawan tadi, adalah salah satu trik untuk mempersempit gerak orang-orang yang nakal.

Entahlah, yang pasti, saya melihat kawan ini terlalu propolisi. Saya tak tahu apa maksudnya. Yang saya tahu, setiap lebaran dia selalu mudik dengan sepeda motor.

“Kau pikir aku dukung polisi, aku ini emosi. Kekmana mau mudik, aku cuma punya kereta! Percuma aku urus SIM kalau ditilang juga!” teriaknya.
Lho! (*)

Tunggu dulu, ini bukan kereta seperti yang dimaksud orang di Pulau Jawa sana. Ya, bukan kereta api. Bukan pula kereta yang dimaksud oleh orang di Malaysia. Ya, bukan mobil. Ini tentang kereta menurut orang Medan. Artinya, sepeda motor.

Dan, ini tentang imbauan keras dari pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) terkait tradisi mudik jelang Lebaran nanti. Ceritanya, pihak Poldasu telah menyiapkan strategi dan langkah menghadapi musim mudik tahun ini. Satu di antara poin yang disepakati pada rapat koordinasi dengan pihak terkait adalah soal kereta atau sepeda motor tadi.

Humas Poldasu si Komisaris Besar (Kombes) Polisi (Pol) Raden Heru Prakoso mengatakan pemudik diimbau keras agar tidak menggunakan sepeda motor. Pasalnya, rawan kecelakaan. Jadi, kalau pemudik tetap bandel, ya polisi yang ada di lapangan akan melakukan tindak langsung (tilang). Pernyataan ini tampaknya serius. Bagaimana tidak, setiap tahun memang ada anjuran agar pemudik tidak menggunakan sepeda motor. Tapi, anjuran itu hanya sebatas anjuran; sama sekali tidak ada sanksi.

Nah, kini pihak Poldasu berkoar akan menilang, bukankah itu serius? Tapi, yang menjadi pertanyaan (baca, catatan) saya, tilang yang dimaksud yang seperti apa? Dan, seperti apa sangsi yang akan diberikan. Lalu, bagaimana si polisi bisa memantau pemudik berkereta alias bersepeda motor tadi.
Kawan saya menjelaskan, tilang yang dimaksud jangan diartikan seperti tilang yang selama ini dikenal. Maksudnya, polisi menyetop pengendara yang bandel lalu memberikan surat tilang yang berujung pada sidang di pengadilan.

Tilang, katanya, harus dimaknai dengan kata sebenarnya dan bukan akronim. Jadi, tilang adalah tindakan langsung. Nah, namanya tindakan langsung, berarti si polisi akan berhadapan langsung dengan pengendara yang bandel. Hukumannya, ya, terserah si polisi. Bisa juga bukan hukuman, tapi hanya sekadar sosialisasi jalur mudik. Misalnya, pemudik harus pakai helm, menaati rambu dan marka jalan, istirahat ketika capek, dan sebagainya.

Kawan saya juga menjelaskan, polisi pasti tahu mana yang sekadar pengendara sepeda motor dan mana yang pemudik berkendara sepeda motor. Memang, seorang pemudik nakal bisa saja me-ngakali polisi. Dia bisa pura-pura bukan sebagai pemudik. Misalnya tidak memakai tas besar — tasnya sudah dikirimkan melalui jasa pengiriman — hingga dia terkesan sedang mengendarai sepeda motor seperti orang lain yang sedang tidak mudik yang tidak menempuh jarak lebih dari dua jam.

Tapi, masalah dua jam, bukankah itu menjadi sesuatu yang tak jelas? Maksudnya, sejauh mana polisi bisa tahu tujuan sang pengendara sepeda motor. Ya, bukan bisa dikarang-karang? Untuk ini, kawan saya tadi menyerah. Dia tidak punya pemecahan atas pertanyaan itu. Hm, sudahlah. Kawan saya memang bukan polisi kok.

Yang jelas, menurut si Heru, Poldasu tidak sekadar mengimbau. Mereka juga menyiapkan pengawasan ekstra untuk musim mudik ini. Buktinya, dari rapat koordinasi itu, diputuskan akan ada mendirikan 47 Pos Pengamanan (Pospam) dan 5 pos pelayanan (posyan) yang tersebar di sepanjang Jalan Lintas Sumatera mulai dari arah Binjai.  Rincian pos itu, ada ada 5 di langkat, 5 di Binjai, 14 di Medan, 3 di Deliserdang, 5 di Sergai, 5 di Tebingtinggi, 6 di Asahan, dan 9 di Labuhanbatu.

Nah, dengan keadaan itu, mungkinkah para pemudik yang berkereta alias bersepeda motor tadi bisa menghindar? Hm, entahlah.
Kawan saya tadi malah bersuara lagi. Katanya, pendirian pos-pos itu harusnya bisa efektif. Jarak satu pos ke pos lainnya pastilah telah diperhitungkan oleh Poldasu. Itu, kata kawan tadi, adalah salah satu trik untuk mempersempit gerak orang-orang yang nakal.

Entahlah, yang pasti, saya melihat kawan ini terlalu propolisi. Saya tak tahu apa maksudnya. Yang saya tahu, setiap lebaran dia selalu mudik dengan sepeda motor.

“Kau pikir aku dukung polisi, aku ini emosi. Kekmana mau mudik, aku cuma punya kereta! Percuma aku urus SIM kalau ditilang juga!” teriaknya.
Lho! (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/