31 C
Medan
Thursday, March 6, 2025

Sadar Kapan Harus Berubah (2-Habis)

***

 

Perencanaan untuk Zetizen pun dibuat terbatas. Tim anak muda di DetEksi, saya, beberapa eks kru DetEksi yang kini di managemen Jawa Pos, serta beberapa orang lain.

Selama berbulan-bulan, kami melakukan beberapa meeting. Kalau mentok, meeting dihentikan, kembali lagi minggu depan atau dua minggu kemudian ketika otak sudah berhasil di-reset.

Lalu, ketika ide kompleks dibuat, maka perlu beberapa kali pertemuan lagi untuk membuatnya lebih simple. Lalu lebih simple lagi. Lalu lebih simple lagi. Lalu makin simple lagi.

Voila! Jadilah Zetizen, yang pada awalnya diberi kode nama “Project Z”.

Pada intinya, Zetizen mencoba menjawab beberapa pertanyaan krusial. Salah satunya: Bagaimana membuat anak muda tetap membaca news.

Bukan membaca koran.

Tapi membaca news.

Menurut saya, ada banyak persepsi kurang pas tentang anak muda, koran, dan news. Bahkan orang yang dianggap paling pintar pun belum tentu bisa memahaminya.

Ada –banyak– yang bilang anak muda tidak lagi baca koran, beralih ke digital. Nah, orang yang bicara seperti ini mungkin cara berpikirnya kurang sophisticated.

Menurut saya (kami), yang paling tepat adalah “Anak muda tidak lagi membaca atau mengikuti news”. Mereka ke online tidak membaca news, dan mereka nonton TV tidak menonton news.

Sebenarnya ini mirip dengan akhir 1990-an lalu, ketika ide menciptakan halaman koran pertama muncul. Waktu itu belum banyak online, tapi koran-koran dan TV asyik sendiri dengan berita-berita politik yang memuakkan anak muda.

Sekarang mungkin tidak sememuakkan dulu, tapi tetap tidak mengasyikkan untuk anak muda.

Mau lebih jauh lagi, print dan digital sekarang merupakan dua entity bisnis yang berbeda di satu industri yang sama. Seperti mobil dan motor di dunia otomotif.

Ada artikel menarik dimuat di USA Today baru-baru ini, berdasarkan artikel serupa dari Financial Times. Intinya: Digital bukanlah masa depan bisnis news.

Banyak media cetak di Amerika terlambat menyadari ini, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sadar sama sekali.

Ya, jualan print makin sulit. Di sisi lain, jualan digital juga tidak jauh lebih mudah, dan belum tentu menghasilkan sama.

Kesimpulannya: Print atau digital sama-sama punya alpha dan omega masing-masing, yang tujuannya sama: Meningkatkan pembaca dan omzet iklan. Tapi tidak saling menggantikan, karena punya tantangan dan cara yang berbeda untuk melakukannya.

Bisa saling komplementari, tapi bukan untuk menggantikan.

Sama seperti TV dan radio lah.

Kuncinya kembali ke bagaimana media itu menyikapi zaman dan menyesuaikan diri kok. Yang bahaya adalah kalau sebuah koran terus sibuk memberitakan Madonna, di saat banyak generasi sekarang mungkin sudah tidak kenal siapa itu Madonna dan kenapa kita harus nonton nenek-nenek jumpalitan di atas panggung…

***

 

Perencanaan untuk Zetizen pun dibuat terbatas. Tim anak muda di DetEksi, saya, beberapa eks kru DetEksi yang kini di managemen Jawa Pos, serta beberapa orang lain.

Selama berbulan-bulan, kami melakukan beberapa meeting. Kalau mentok, meeting dihentikan, kembali lagi minggu depan atau dua minggu kemudian ketika otak sudah berhasil di-reset.

Lalu, ketika ide kompleks dibuat, maka perlu beberapa kali pertemuan lagi untuk membuatnya lebih simple. Lalu lebih simple lagi. Lalu lebih simple lagi. Lalu makin simple lagi.

Voila! Jadilah Zetizen, yang pada awalnya diberi kode nama “Project Z”.

Pada intinya, Zetizen mencoba menjawab beberapa pertanyaan krusial. Salah satunya: Bagaimana membuat anak muda tetap membaca news.

Bukan membaca koran.

Tapi membaca news.

Menurut saya, ada banyak persepsi kurang pas tentang anak muda, koran, dan news. Bahkan orang yang dianggap paling pintar pun belum tentu bisa memahaminya.

Ada –banyak– yang bilang anak muda tidak lagi baca koran, beralih ke digital. Nah, orang yang bicara seperti ini mungkin cara berpikirnya kurang sophisticated.

Menurut saya (kami), yang paling tepat adalah “Anak muda tidak lagi membaca atau mengikuti news”. Mereka ke online tidak membaca news, dan mereka nonton TV tidak menonton news.

Sebenarnya ini mirip dengan akhir 1990-an lalu, ketika ide menciptakan halaman koran pertama muncul. Waktu itu belum banyak online, tapi koran-koran dan TV asyik sendiri dengan berita-berita politik yang memuakkan anak muda.

Sekarang mungkin tidak sememuakkan dulu, tapi tetap tidak mengasyikkan untuk anak muda.

Mau lebih jauh lagi, print dan digital sekarang merupakan dua entity bisnis yang berbeda di satu industri yang sama. Seperti mobil dan motor di dunia otomotif.

Ada artikel menarik dimuat di USA Today baru-baru ini, berdasarkan artikel serupa dari Financial Times. Intinya: Digital bukanlah masa depan bisnis news.

Banyak media cetak di Amerika terlambat menyadari ini, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sadar sama sekali.

Ya, jualan print makin sulit. Di sisi lain, jualan digital juga tidak jauh lebih mudah, dan belum tentu menghasilkan sama.

Kesimpulannya: Print atau digital sama-sama punya alpha dan omega masing-masing, yang tujuannya sama: Meningkatkan pembaca dan omzet iklan. Tapi tidak saling menggantikan, karena punya tantangan dan cara yang berbeda untuk melakukannya.

Bisa saling komplementari, tapi bukan untuk menggantikan.

Sama seperti TV dan radio lah.

Kuncinya kembali ke bagaimana media itu menyikapi zaman dan menyesuaikan diri kok. Yang bahaya adalah kalau sebuah koran terus sibuk memberitakan Madonna, di saat banyak generasi sekarang mungkin sudah tidak kenal siapa itu Madonna dan kenapa kita harus nonton nenek-nenek jumpalitan di atas panggung…

spot_img

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru