Oleh: Valdesz J Nainggolan
Kepala Koordinator Liputan Sumut Pos
EPISODE pernyataan kontroversial Ketua DPR RI Marzuki Alie berujung anti-klimaks seiiring kabar jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100, Rabu (9/5) petang. Satu lagi tragedi penerbangan menghampiri kita. Akal pikiran mungkin tak paham kenapa Sukhoi berakhir tragis di sini, bukan di dua negara tempat demo flight sebelumnya.
Bagi saya sama tak habis pikirnya kenapa ribet menyoal cara berpikir seorang Marzuki Alie yang mengkritisi gaya mendidik perguruan tinggi kita Kalau resah artinya ada yang nggak beres dong? Saya mencermati berita. Saat diundang sebagai pimpinan lembaga tinggi negara, hemat saya, Marzuki adalah ‘’negarawan’’, termasuk sudut pandang yang melekat dalam pendapatnya.
Simaklah ucapan Marzuki yang kontroversial itu: ‘’Koruptor adalah orang-orang pintar. Mereka bisa dari anggota ICMI, anggota HMI, lulusan UI, UGM, dan lainnya. Penyebab kelahiran koruptor di tempat cendekiawan ini adalah para pengajar PTN yang hanya memikirkan proyek. Inilah yang menyebabkan pikiran kritis para dosen jadi tumpul. Karena sering memikirkan proyek, lama-lama otaknya tumpul.’’
Ucapan yang dianggap tanpa dasar ilmiah ini memicu kemarahan lulusan PTN yang disebutnya secara telanjang di seminar “Masa Depan Pendidikan Tinggi di Indonesia” di kampus UI pada Senin (7/5). Apa yang disampaikan Marzuki bagi sebagian orang adalah sesuatu yang ‘’tak ilmiah’’. Tanpa statistik, tanpa survei yang menjadi landasan berbicara di forum ilmiah. Marzuki mengelak menyebutnya sebagai ‘pernyataan’ (statement), melainkan ‘ucapan’ (speech). Jujur saya tak paham beda dua kata tersebut. Apakah yang pertama adalah sesuatu yang disampaikan dengan dipikirkan lebih dulu, dan yang terakhir sesuatu yang diucapkan tanpa mikir dulu alias asal njeplak?
Bahwa Marzuki panik dengan serangan para alumni yang menyebut PTN yang disindirnya sebagai ‘sarang koruptor’ justru membuat dia terlihat ‘tidak ilmiah’. Apa yang diucapkan Marzuki sejatinya dikenal sebagai metode penalaran induktif. Cara berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Generalisasi adalah contohnya. Marzuki melihat kasus korupsi justru dilakukan orang-orang pintar. Tapi tak semua orang ‘pintar korupsi’ duduk di PTN kan? Marzuki menyisipkan kata ‘’bisa dari …’’ di dalam kalimatnya. Namun kata ‘’bisa dari …’’ ini buru-buru menisbikan logika berpikir mereka yang telanjur emosional.
Saya cermati sebetulnya tak ada yang salah dengan ucapan Marzuki. Dia mengkritik dengan nalar induktif, bagian dari logika berpikir ilmiah yang dipelajari di perguruan tinggi manapun.
Saya justru tergelitik menyimak kalimat lanjutan dari speech Marzuki: ‘’Penyebab kelahiran koruptor di tempat cendekiawan ini adalah para pengajar PTN yang hanya memikirkan proyek. Inilah yang menyebabkan pikiran kritis para dosen jadi tumpul. Karena sering memikirkan proyek, lama-lama otaknya tumpul’’.
Kalimat inilah yang membuat peserta seminar yang mayoritas dosen itu meradang. Marzuki tak lagi dilihat sebagai ‘’negarawan’’, melainkan ‘’politisi’’ yang menyindir ‘sampingan’ para dosen yang mencari penghasilan tambahan lewat proyek-proyek penelitian.
Gugatan atas speech Marzuki bahwa PTN sebagai ‘sarang koruptor’ juga terlalu dangkal untuk diperdebatkan. Saldi Isra (2009) dalam bukunya ‘’Kekuasaan dan Perilaku Korupsi’’ menyebutkan akar penyebab korupsi di Indonesia adalah sistem yang compang-camping dalam tiga kaki pemerintahan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem inilah yang melahirkan orang-orang yang disebut oleh Lord Acton: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan berlebihan dan tanpa pengawasan akan memantik orang-orang berbuat korupsi. Jelas tak ada hubungannya dengan latar pendidikan seseorang.
Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin dan Mulyana W. Kusumah, dua dosen UI yang terjerat kasus korupsi di KPU, justru masih kalah dengan Nazaruddin, yang menggelincirkan uang negara hingga Rp4,6 miliar. Nazaruddin terakhir ini cuma politisi lulusan PT tak terkenal di Jakarta yang ‘licin’ bermain anggaran proyek.
Simaklah ucapan Bonie Hargens, dosen UI, yang meminta koleganya di PTN menerima kritik seorang Ketua DPR yang peduli pada sistem pendidikan dan hasil pendidikan saat ini. Ini kritik yang baik agar universitas kembali mendalami moral sebagai tujuan pendidikan yang beberapa dekade diabaikan. Pendidikan saat ini sudah berorientasi kognitif dimana anak didik dituntut untuk sekadar menjadi cerdas dan pintar saja. ‘’Sejatinya pendidikan bukan soal orientasi kognitif. Pendidikan harus bisa mendorong humanitas,’’ katanya.
Saya teringat sepotong artikel di media beberapa tahun silam. Saat mantan Wakil Ketua KPK jilid I Erry Riyana Hardjapamekas membuka kuliah perdana 2.000 mahasiswa ITB berbagai jurusan di kampus Ganesha ITB. Sebuah pembuka kuliah yang patut dipuji: intelektualitas yang diperciki oleh spiritualitas dan humanitas. Bravo PTN! (*)