28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Momen Pahlawan

Hari ini Hari Pahlawan bagi Indonesia. 10 November. Hari Pahlawan ke-67. Mari mengheningkan cipta. mensyukuri dan mengangkat topi untuk mereka. Salud! Tapi, kenapa 10 November yang dipilih?

Hm, ini bukan sekadar soal insiden perobekan bendera Belanda dan menjadikannya bendera Indonesia di Yamato Hoteru atau Hotel Yamato atau yang bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye atau Hotel Majapahit. Pasalnya, meski dianggap sebagai latar belakang penentuan Hari Pahlawan,  kejadian di hotel yang berada di Jalan Tunjungan no 65 Surabaya bukan pada 10 November, tapi 18 September 1945. Nah, soal 10 November ini lebih menarah pada kejadian 27 Oktober 1945. Pada hari itu terjadi kontak senjata antara Indonesia dengan Inggris di Surabaya. Bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Mallaby adalah pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur. Dia tewas pada 30 Oktober 1945.
Pertanyaannya, kenapa harus terjadi pertempuran Indonesia dan Inggris? Ya, karena Inggris yang tergabung dalam pasukan sekutu dianggap diboncengi Belanda. Kabarnya, Belanda ingin menguasai Indonesia lagi. Tentu saja rakyat Indonesia marah mendengar konspirasi tersebut sehingga perlawanan terhadap Inggris dan NICA.

Begitulah, setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris kemudian membombardir Kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.

Pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, mendapat perlawanan sengit. Para tokoh masyarakat seperti pelopor muda, Bung Tomo, yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

Setidaknya 6.000-16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan hingga sekarang.

Begitulah, ini bukan sekadar perobekan bendera. Meskipun memiliki hubungan dengan peristiwa 10 November, insiden di Hotel Yamato saya anggap bukanlah puncak dalam penentuan Hari Pahlawan. Tapi, pertemuan di seluruh Indonesia melawan sekutu yang diboncengi Belanda hingga menewaskan ribuan warga Indonesia adalah yang utama. Dan, itu memang terjadi pada 10 November. Lalu, kenapa insiden di Hotel Yamato cenderung lebih diingat saat peringatan Hari Pahlawan? Entahlah, teman saya berkata, itu karena bangsa ini terlalu sering kalah dengan Belanda. Pahlawan Indonesia pun (yang terpajang di ruang belajar di SD-SD) adalah sosok yang akhirnya kalah oleh Belanda. Jadi, ketika bisa menang, meski hanya merobek warna biru pada bendera itu, Indonesia sudah merasa cukup bangga. Padahal, Hari Pahlawan akan lebih syahdu jika identik dengan kematian ribuan anak bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan.

Ya, sudah saatnya kita akui kekalahan agar bisa menjadi cambuk kemajuan. Jadi, tidak lagi mencari cuplikan semangat dan menjadikannya keramat. Bukankah begitu? (*)

Hari ini Hari Pahlawan bagi Indonesia. 10 November. Hari Pahlawan ke-67. Mari mengheningkan cipta. mensyukuri dan mengangkat topi untuk mereka. Salud! Tapi, kenapa 10 November yang dipilih?

Hm, ini bukan sekadar soal insiden perobekan bendera Belanda dan menjadikannya bendera Indonesia di Yamato Hoteru atau Hotel Yamato atau yang bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye atau Hotel Majapahit. Pasalnya, meski dianggap sebagai latar belakang penentuan Hari Pahlawan,  kejadian di hotel yang berada di Jalan Tunjungan no 65 Surabaya bukan pada 10 November, tapi 18 September 1945. Nah, soal 10 November ini lebih menarah pada kejadian 27 Oktober 1945. Pada hari itu terjadi kontak senjata antara Indonesia dengan Inggris di Surabaya. Bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Mallaby adalah pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur. Dia tewas pada 30 Oktober 1945.
Pertanyaannya, kenapa harus terjadi pertempuran Indonesia dan Inggris? Ya, karena Inggris yang tergabung dalam pasukan sekutu dianggap diboncengi Belanda. Kabarnya, Belanda ingin menguasai Indonesia lagi. Tentu saja rakyat Indonesia marah mendengar konspirasi tersebut sehingga perlawanan terhadap Inggris dan NICA.

Begitulah, setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris kemudian membombardir Kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.

Pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, mendapat perlawanan sengit. Para tokoh masyarakat seperti pelopor muda, Bung Tomo, yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

Setidaknya 6.000-16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan hingga sekarang.

Begitulah, ini bukan sekadar perobekan bendera. Meskipun memiliki hubungan dengan peristiwa 10 November, insiden di Hotel Yamato saya anggap bukanlah puncak dalam penentuan Hari Pahlawan. Tapi, pertemuan di seluruh Indonesia melawan sekutu yang diboncengi Belanda hingga menewaskan ribuan warga Indonesia adalah yang utama. Dan, itu memang terjadi pada 10 November. Lalu, kenapa insiden di Hotel Yamato cenderung lebih diingat saat peringatan Hari Pahlawan? Entahlah, teman saya berkata, itu karena bangsa ini terlalu sering kalah dengan Belanda. Pahlawan Indonesia pun (yang terpajang di ruang belajar di SD-SD) adalah sosok yang akhirnya kalah oleh Belanda. Jadi, ketika bisa menang, meski hanya merobek warna biru pada bendera itu, Indonesia sudah merasa cukup bangga. Padahal, Hari Pahlawan akan lebih syahdu jika identik dengan kematian ribuan anak bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan.

Ya, sudah saatnya kita akui kekalahan agar bisa menjadi cambuk kemajuan. Jadi, tidak lagi mencari cuplikan semangat dan menjadikannya keramat. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/