30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Amputasi

Iwan Junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

AMPUTASI adalah sebuah kata yang menjadi momok bagi semua orang. Jika melihat arti harfiah yang ada di dalam kamus, amputasi berarti pemotongan (anggota badan), terutama kaki dan tangan dengan tujuan  untuk menyelamatkan jiwa seseorang. Bayangkan betapa menyeramkan makna dari sebuah kata yang pada awalnya berasal dari kata amputare itu.

Namun kini, kata yang berasal dari bahasa Italia itu pun mulai bisa dipakai bukan hanya di dunia kedokteran. Bebarapa sendi kehidupan, mulai dari ekonomi, politik dan lain sebagainya pun telah  menerapkan kata amputasi guna menyelamatkan sebuah kepentingan ataupun mencapai sebuah tujuan.
Kalau sudah begini, jadi teringat suhu politik yang ada di Sumatera Utara jelang Pilgubsu yang berlangsung pada 7 Maret 2013 mendatang.

Bukan satu atau dua, tapi bisa empat atau lima, bahkan mungkin enam nama yang kini digadang-gadang sebuah partai politik untuk diusung dan dimenangkan pada Pilgubsu nanti.

Fakta ini tentu saja menguntungkan sebuah partai politik, karena dengan semakin banyaknya kader ataupun tokoh yang ingin bergabung dan mendapat restu dari partai tersebut, maka semakin tinggi pula nilai jual dan popularitas partai yang bersangkutan.

Artinya apa? Para calon gubernur tadi harus pandai-pandai mengambil hati ketua partai sehingga mendapat restu untuk maju pada Pilgubsu mendatang. Di sinilah akhirnya lahir sebuah lelucon. Kenapa?

Pasalnya, jikapun nanti terpilih sebagai gubernur, maka para calon gubernur tadi akan memimpin rakyat Sumatera Utara dan bukan memimpin partai yang telah menggolkan dirinya sebagai gubernur. Jadi, seharusnya para calon gubernur tadi mengambil hati masyarakat, bukan hati ketua partai. Terlebih Pilgubsu masih menerapkan sistem pemilihan langsung yang melibatkan seluruh masyarakat Sumatera Utara.

Tak tahu, apakah para calon gubernur tadi lebih memandang penting restu dari seorang ketua partai dari pada resttu masyarakat Sumatera Utara, yang sejatinya bersentuhan secara langsung dan memiliki peran yang sangat sentral untuk memenangkan seorang tokoh pada Pigubsu mendatang. Bukannya suara yang dimiliki oleh seorang ketua partai sama banyaknya dengan jumlah suara yang dimiliki oleh si Ucok, si Udin ataupun si Paijo. Sama-sama satu suara.

Tak ada aturan yang mengatakan bahwa seorang ketua partai memiliki jumlah suara yang lebih banyak dibanding masyarakat awam.  Ingat, vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan.

Di sisi lain, belum tentu seorang calon gubernur yang diusung oleh sebuah partai benar-benar tokoh yang popular di tengah mansyarakat, apalagi dicintai masyarakatnya.

Karenanya, tak heran bila kini masyarakat mengharapkan adanya tokoh independen yang terbukti benar-benar mampu merangkul dan mengumpulkan dukungan secara langsung dari masyarakat.

Tapi, karena sulit untuk mendapatkan dukungan secara langsung yang besarnya hanya 3% dengan sebaran 50 persen kabupaten/kota yang ada di Sumut, tak ayal para calon gubernur tadipun beramai-ramain memilih cara yang menurut mereka sangat gampang dilakukan yakni mendekati dan merayu ketua partai demi mendapat dukungan.

Ya, jika hitungan-hitungannya masih mengacu pada UU No 12/2008, untuk sebuah provinsi yang jumlah penduduknya mencapai 12 juta jiwa lebih seperti yang disebutkan di atas, maka seorang calon gubernur di Sumatera Utara minimal harus mendapatkan sedikitnya 45.000 dukungan. Jelas, bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Hmmm….

Nah, menyadari jika mencari dukungan langsung kepada masyarakat bukan hal yang gampang, maka konsekwensi yang dipilih para calon gubernur tadi adalah menggantungkan nasibnya kepada ketua partai.

Ujung-ujungnya mereka harus rela jika akhirnya menjadi salah satu dari beberapa tokoh yang harus tereliminasi, karena partai yang bersangkutan melakukan amputasi demi mendapatkan satu figur, yang menurut mereka dapat memimpin provinsi ini dengan baik, eh… maksudnya berpotensi besar memenangkan Pilgubsu mendatang. Hajab-hajab. (*)

Iwan Junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

AMPUTASI adalah sebuah kata yang menjadi momok bagi semua orang. Jika melihat arti harfiah yang ada di dalam kamus, amputasi berarti pemotongan (anggota badan), terutama kaki dan tangan dengan tujuan  untuk menyelamatkan jiwa seseorang. Bayangkan betapa menyeramkan makna dari sebuah kata yang pada awalnya berasal dari kata amputare itu.

Namun kini, kata yang berasal dari bahasa Italia itu pun mulai bisa dipakai bukan hanya di dunia kedokteran. Bebarapa sendi kehidupan, mulai dari ekonomi, politik dan lain sebagainya pun telah  menerapkan kata amputasi guna menyelamatkan sebuah kepentingan ataupun mencapai sebuah tujuan.
Kalau sudah begini, jadi teringat suhu politik yang ada di Sumatera Utara jelang Pilgubsu yang berlangsung pada 7 Maret 2013 mendatang.

Bukan satu atau dua, tapi bisa empat atau lima, bahkan mungkin enam nama yang kini digadang-gadang sebuah partai politik untuk diusung dan dimenangkan pada Pilgubsu nanti.

Fakta ini tentu saja menguntungkan sebuah partai politik, karena dengan semakin banyaknya kader ataupun tokoh yang ingin bergabung dan mendapat restu dari partai tersebut, maka semakin tinggi pula nilai jual dan popularitas partai yang bersangkutan.

Artinya apa? Para calon gubernur tadi harus pandai-pandai mengambil hati ketua partai sehingga mendapat restu untuk maju pada Pilgubsu mendatang. Di sinilah akhirnya lahir sebuah lelucon. Kenapa?

Pasalnya, jikapun nanti terpilih sebagai gubernur, maka para calon gubernur tadi akan memimpin rakyat Sumatera Utara dan bukan memimpin partai yang telah menggolkan dirinya sebagai gubernur. Jadi, seharusnya para calon gubernur tadi mengambil hati masyarakat, bukan hati ketua partai. Terlebih Pilgubsu masih menerapkan sistem pemilihan langsung yang melibatkan seluruh masyarakat Sumatera Utara.

Tak tahu, apakah para calon gubernur tadi lebih memandang penting restu dari seorang ketua partai dari pada resttu masyarakat Sumatera Utara, yang sejatinya bersentuhan secara langsung dan memiliki peran yang sangat sentral untuk memenangkan seorang tokoh pada Pigubsu mendatang. Bukannya suara yang dimiliki oleh seorang ketua partai sama banyaknya dengan jumlah suara yang dimiliki oleh si Ucok, si Udin ataupun si Paijo. Sama-sama satu suara.

Tak ada aturan yang mengatakan bahwa seorang ketua partai memiliki jumlah suara yang lebih banyak dibanding masyarakat awam.  Ingat, vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan.

Di sisi lain, belum tentu seorang calon gubernur yang diusung oleh sebuah partai benar-benar tokoh yang popular di tengah mansyarakat, apalagi dicintai masyarakatnya.

Karenanya, tak heran bila kini masyarakat mengharapkan adanya tokoh independen yang terbukti benar-benar mampu merangkul dan mengumpulkan dukungan secara langsung dari masyarakat.

Tapi, karena sulit untuk mendapatkan dukungan secara langsung yang besarnya hanya 3% dengan sebaran 50 persen kabupaten/kota yang ada di Sumut, tak ayal para calon gubernur tadipun beramai-ramain memilih cara yang menurut mereka sangat gampang dilakukan yakni mendekati dan merayu ketua partai demi mendapat dukungan.

Ya, jika hitungan-hitungannya masih mengacu pada UU No 12/2008, untuk sebuah provinsi yang jumlah penduduknya mencapai 12 juta jiwa lebih seperti yang disebutkan di atas, maka seorang calon gubernur di Sumatera Utara minimal harus mendapatkan sedikitnya 45.000 dukungan. Jelas, bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Hmmm….

Nah, menyadari jika mencari dukungan langsung kepada masyarakat bukan hal yang gampang, maka konsekwensi yang dipilih para calon gubernur tadi adalah menggantungkan nasibnya kepada ketua partai.

Ujung-ujungnya mereka harus rela jika akhirnya menjadi salah satu dari beberapa tokoh yang harus tereliminasi, karena partai yang bersangkutan melakukan amputasi demi mendapatkan satu figur, yang menurut mereka dapat memimpin provinsi ini dengan baik, eh… maksudnya berpotensi besar memenangkan Pilgubsu mendatang. Hajab-hajab. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/