24 C
Medan
Wednesday, December 4, 2024
spot_img

Simalakama

Bagai makan buah simalakama. Hm, sebuah pepatah yang cukup familiar di kuping bukan? Ya, pepatah yang bermakna sebagai sebuah kondisi saat kita dihadapkan kepada pilihan yang sulit ini memang menyesakkan dada bagi yang harus merasakannya.

Konkretnya seperti kasus kebakaran di Jalan Ghandi, tepatnya di simpang Jalan Emas, kemarin. Bagaimana tidak, atas nama keamanan, pemilik rumah memasang jerjak atau terali besi di pintu dan jendela. Apa daya, kebakaran terjadi. Mereka malah terjebak dan terkurung dalam rumah itu. Pun, tetangga dan petugas yang ingin menyelamatkan mereka tidak bisa berbuat banyak. Pintu besi di rumah itu berlapis, tidak bisa didobrak. Menerobos via jendela juga tidak bisa, jerjak permane mapan di tempat itu. Akibatnya, empat orang tewas seketika.

Itulah sebab, Wali Koto Medan Rahudman Harahap berang. Dia pun meminta warga untuk tidak berlebihan memasang jerjak. “Pagar-pagar jerjak (terali besi) tidak bisa ditembus oleh petugas kita. Ini harus jadi perhatian kita semua,” begitu katanya ketika melihat jasad korban di RS dr Pirngadi.
Rahudman memang tak sembarangan berang. Beberapa waktu lalu, peristiwa serupa juga terjadi. Adalah kebakaran di ruko di Jalan KL Yos Sudarso peristiwa yang dimaksud. Saat itu, tujuh orang sekeluarga tewas karena tidak bisa keluar saat ruko tempat menjual peralatan elektronik milik mereka terbakar. Penyebabnya, jerjak besi juga. Ya, evakuasi korban jadi terhambat.

Kenyataan ini menimbulkan tanya, kenapa jerjak besi masih dipertahankan di rumah-rumah yang ada di Medan? Ya, ketika dia terus menjadi alasan jatuhnya korban, bukankah sudah sepantasnya dia diberangus.

Sayangnya, ketika jerjak diberangus, apakah ada yang menjamin keamanan pemilik rumah? Ya, dasar pemasangan jerjak kan ada pada keamanan. Dengan kata lain, pemilik rumah merasa tak aman dari perampokan, maling, dan lainnya. Jadi, mereka memasang jerjak tersebut demi kenyamanan. “Setiap warga memang harus waspada, tapi tidak dengan berlapis-lapis seperti itu,” kata Rahudman lagi.

Baiklah, Pak Wali memang benar. Tapi, bagi pemilik rumah, memasang atau tidak jerjak bak makan buah simalakama bukan? Tidak memasang jerjak bisa rawan paramapokan, maling, dan sebagainya. Memasang jerjak jadi korban kebakaran. Jika memasang jerjak hanya selapis, bukankah akan gampang dibobol? Untung jika kebakaran, tapi kalau kemalingan? Bukankah jerjak yang tipis sama juga tidak berjerjak?

Kawan saya malah sampai berkata dengan kasar. Katanya, “Mereka yang memiliki rumah penuh dengan jerjak itu cuma punya dua pilihan. Pertama, mati karena kebakaran dan kedua, mati karena perampok!”

Bah, soal jerjak memang menjadi sesuatu yang pelik. Saking peliknya, Pak Wali pun akan mengaturnya dalam sebuah peraturan. “Saya kira masalah ini akan kita atur dalam IMB, demi keselamatan bersama,” begitu ungkap Rahudman.

Hm, baiklah bapak, semoga ketika semua sudah diatur dalam peraturan, tidak ada lagi kebakaran. Ups, maksud saya, tidak ada lagi korban. (*)

Bagai makan buah simalakama. Hm, sebuah pepatah yang cukup familiar di kuping bukan? Ya, pepatah yang bermakna sebagai sebuah kondisi saat kita dihadapkan kepada pilihan yang sulit ini memang menyesakkan dada bagi yang harus merasakannya.

Konkretnya seperti kasus kebakaran di Jalan Ghandi, tepatnya di simpang Jalan Emas, kemarin. Bagaimana tidak, atas nama keamanan, pemilik rumah memasang jerjak atau terali besi di pintu dan jendela. Apa daya, kebakaran terjadi. Mereka malah terjebak dan terkurung dalam rumah itu. Pun, tetangga dan petugas yang ingin menyelamatkan mereka tidak bisa berbuat banyak. Pintu besi di rumah itu berlapis, tidak bisa didobrak. Menerobos via jendela juga tidak bisa, jerjak permane mapan di tempat itu. Akibatnya, empat orang tewas seketika.

Itulah sebab, Wali Koto Medan Rahudman Harahap berang. Dia pun meminta warga untuk tidak berlebihan memasang jerjak. “Pagar-pagar jerjak (terali besi) tidak bisa ditembus oleh petugas kita. Ini harus jadi perhatian kita semua,” begitu katanya ketika melihat jasad korban di RS dr Pirngadi.
Rahudman memang tak sembarangan berang. Beberapa waktu lalu, peristiwa serupa juga terjadi. Adalah kebakaran di ruko di Jalan KL Yos Sudarso peristiwa yang dimaksud. Saat itu, tujuh orang sekeluarga tewas karena tidak bisa keluar saat ruko tempat menjual peralatan elektronik milik mereka terbakar. Penyebabnya, jerjak besi juga. Ya, evakuasi korban jadi terhambat.

Kenyataan ini menimbulkan tanya, kenapa jerjak besi masih dipertahankan di rumah-rumah yang ada di Medan? Ya, ketika dia terus menjadi alasan jatuhnya korban, bukankah sudah sepantasnya dia diberangus.

Sayangnya, ketika jerjak diberangus, apakah ada yang menjamin keamanan pemilik rumah? Ya, dasar pemasangan jerjak kan ada pada keamanan. Dengan kata lain, pemilik rumah merasa tak aman dari perampokan, maling, dan lainnya. Jadi, mereka memasang jerjak tersebut demi kenyamanan. “Setiap warga memang harus waspada, tapi tidak dengan berlapis-lapis seperti itu,” kata Rahudman lagi.

Baiklah, Pak Wali memang benar. Tapi, bagi pemilik rumah, memasang atau tidak jerjak bak makan buah simalakama bukan? Tidak memasang jerjak bisa rawan paramapokan, maling, dan sebagainya. Memasang jerjak jadi korban kebakaran. Jika memasang jerjak hanya selapis, bukankah akan gampang dibobol? Untung jika kebakaran, tapi kalau kemalingan? Bukankah jerjak yang tipis sama juga tidak berjerjak?

Kawan saya malah sampai berkata dengan kasar. Katanya, “Mereka yang memiliki rumah penuh dengan jerjak itu cuma punya dua pilihan. Pertama, mati karena kebakaran dan kedua, mati karena perampok!”

Bah, soal jerjak memang menjadi sesuatu yang pelik. Saking peliknya, Pak Wali pun akan mengaturnya dalam sebuah peraturan. “Saya kira masalah ini akan kita atur dalam IMB, demi keselamatan bersama,” begitu ungkap Rahudman.

Hm, baiklah bapak, semoga ketika semua sudah diatur dalam peraturan, tidak ada lagi kebakaran. Ups, maksud saya, tidak ada lagi korban. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/