26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bukan Mangalua

Kisah Manjus Damanik dan Lusika Saragih tampak menarik bagi saya. Bukan karena si Manjus Damanik adalah dokter dan Lusika Saragih seorang bidan, tapi karena penculikan itu cukup menegangkan.

Ya, ini memang tentang dokter PTT alias pegawai tidak tetap di Sindar Raya Simalungun yang menculik mantan kekasihnya yang merupakan bidan di RSUD Sultan Sulaiman Sergai. Usut punya usut, semua itu terjadi karena cemburu. Jadi, si Manjus tak terima ketika mendengar kabar Lusika akan menikah pada akhir 2012 mendatang. Api cinta yang masih ada di dada membawa Manjus berbuat nekat. Disewanya dua orang. Dibayarnya masing-masing satu juta. Disuruhnya kedua pira itu menculik Lusika yang baru selesai kerja.

Lalu, dia pun berencana membawa Lusika ke Sidikalang, Dairi. Di sana, ada seorang pendeta yang bersedia memberkati pernikahan meski tanpa perwakilan orangtua kedua pengantin. Jadi, Manjus ingin membawa Lucia untuk kawin lari.

Sayangnya, usaha itu tidak berhasil. Lusika sempat kabur saat di Kabanjahe. Manjus pun akhirnya ditangkap polisi di Simalungun. Gagallah kawin lari itu.
Dalam memori saya, di adat Batak kawin lari sudah barang baru lagi. Ada dua ‘jenis’ kawin lari yang dikenal oleh orang Batak secara umum. Pertama, mangalua. Dan kedua, mangabing boru. Nah, kasus Majus Damanik tadi ternyata tidak termasuk dalam dua ‘konsep’ itu.

Mangalu diartikan sebagai kawin lari yang didasari oleh kesepakatan kedua calon mempelai. Kasus ini timbul karena orangtua tidak merestui si pemuda atau si pemudi pilihan anaknya.  Sedangkan, mangabing boru sedikit berbeda dengan mangalua. Mangabing boru tercipta jika seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis, tetapi lamarannya ditolak secara sepihak oleh orangtua. Nah, demi menutupi malu dan didorong rasa cintanya yang berapi-api, maka si pemuda mengajak beberapa orang temannya untuk menculik si gadis dan membawa si gadis ke rumahnya untuk dijadikan istri. Perbuatan ini dianggap pelanggaran susila tetapi masih ada jalan terbuka untuk perundingan.

Itulah sebab saya katakan kasus Manjus ini bukan mangalua maupun mangabing boru. Perhatikanlah, si Manjus harus menggunakan kekerasan untuk menculik Lusika. Lalu, si Lusika melarikan diri dari Manjus. Dan, kedua telah putus hubungan sejak tiga bulan lalu.

Jadi, tidak ada urusan orangtua yang menghalangi hubungan mereka. Seandainya saja ada peran orangtua hingga mereka bubaran, kenapa Lusika malah melarikan diri dari Manjus? Ya, peristiwa ini tentunya menggambarkan kalau hubungan mereka  memang tidak bagus. Artinya, mereka putus bukan karena terpaksa tapi karena pilihan. Dan, putus itu bisa dikatakan sebagai pilihan Lusika. Ya, si Manjus adalah korban patah hati. Hm, kasihan ya.
Sekali lagi saya katakan,  kasus ini bukan mangalua maupun mangabing boru. Ini hanya kasus biasa; percintaan biasa; patah hati biasa.

Menariknya, otak saya masih penasaran dengan latar belakang kasus ini. Ayolah, setelah disadari kalau penculikan itu bukan mangalua atau mangabing boru, saya malah penasaran dengan dokter Manjus ini. Ya, kenapa seorang dokter tidak mampu memikat seorang bidan?

Bukan maksud untuk merendahkan profesi bidan, tapi posisi dokter sejatinya cukup menjanjikan kan? Ayolah, dokter itu pintar, penmdidikannya tinggi, dan kaya! Lucunya lagi, kok bisa seorang dokter kalap. Ya, bukankah menculik adalah perbuatan kalap?

Tapi sudahlah, seorang Gombloh memang cukup pintar dalam mengekspresikan cinta dalam lagunya. Dia katakan, kala cinta sudah melekat tahi kucing rasa cokelat. Hehehehe. Begitulah cinta Manjus pada Lusika; nekat berbuat sebelum terlambat. Fiuh. (*)

Kisah Manjus Damanik dan Lusika Saragih tampak menarik bagi saya. Bukan karena si Manjus Damanik adalah dokter dan Lusika Saragih seorang bidan, tapi karena penculikan itu cukup menegangkan.

Ya, ini memang tentang dokter PTT alias pegawai tidak tetap di Sindar Raya Simalungun yang menculik mantan kekasihnya yang merupakan bidan di RSUD Sultan Sulaiman Sergai. Usut punya usut, semua itu terjadi karena cemburu. Jadi, si Manjus tak terima ketika mendengar kabar Lusika akan menikah pada akhir 2012 mendatang. Api cinta yang masih ada di dada membawa Manjus berbuat nekat. Disewanya dua orang. Dibayarnya masing-masing satu juta. Disuruhnya kedua pira itu menculik Lusika yang baru selesai kerja.

Lalu, dia pun berencana membawa Lusika ke Sidikalang, Dairi. Di sana, ada seorang pendeta yang bersedia memberkati pernikahan meski tanpa perwakilan orangtua kedua pengantin. Jadi, Manjus ingin membawa Lucia untuk kawin lari.

Sayangnya, usaha itu tidak berhasil. Lusika sempat kabur saat di Kabanjahe. Manjus pun akhirnya ditangkap polisi di Simalungun. Gagallah kawin lari itu.
Dalam memori saya, di adat Batak kawin lari sudah barang baru lagi. Ada dua ‘jenis’ kawin lari yang dikenal oleh orang Batak secara umum. Pertama, mangalua. Dan kedua, mangabing boru. Nah, kasus Majus Damanik tadi ternyata tidak termasuk dalam dua ‘konsep’ itu.

Mangalu diartikan sebagai kawin lari yang didasari oleh kesepakatan kedua calon mempelai. Kasus ini timbul karena orangtua tidak merestui si pemuda atau si pemudi pilihan anaknya.  Sedangkan, mangabing boru sedikit berbeda dengan mangalua. Mangabing boru tercipta jika seorang pemuda jatuh cinta kepada seorang gadis, tetapi lamarannya ditolak secara sepihak oleh orangtua. Nah, demi menutupi malu dan didorong rasa cintanya yang berapi-api, maka si pemuda mengajak beberapa orang temannya untuk menculik si gadis dan membawa si gadis ke rumahnya untuk dijadikan istri. Perbuatan ini dianggap pelanggaran susila tetapi masih ada jalan terbuka untuk perundingan.

Itulah sebab saya katakan kasus Manjus ini bukan mangalua maupun mangabing boru. Perhatikanlah, si Manjus harus menggunakan kekerasan untuk menculik Lusika. Lalu, si Lusika melarikan diri dari Manjus. Dan, kedua telah putus hubungan sejak tiga bulan lalu.

Jadi, tidak ada urusan orangtua yang menghalangi hubungan mereka. Seandainya saja ada peran orangtua hingga mereka bubaran, kenapa Lusika malah melarikan diri dari Manjus? Ya, peristiwa ini tentunya menggambarkan kalau hubungan mereka  memang tidak bagus. Artinya, mereka putus bukan karena terpaksa tapi karena pilihan. Dan, putus itu bisa dikatakan sebagai pilihan Lusika. Ya, si Manjus adalah korban patah hati. Hm, kasihan ya.
Sekali lagi saya katakan,  kasus ini bukan mangalua maupun mangabing boru. Ini hanya kasus biasa; percintaan biasa; patah hati biasa.

Menariknya, otak saya masih penasaran dengan latar belakang kasus ini. Ayolah, setelah disadari kalau penculikan itu bukan mangalua atau mangabing boru, saya malah penasaran dengan dokter Manjus ini. Ya, kenapa seorang dokter tidak mampu memikat seorang bidan?

Bukan maksud untuk merendahkan profesi bidan, tapi posisi dokter sejatinya cukup menjanjikan kan? Ayolah, dokter itu pintar, penmdidikannya tinggi, dan kaya! Lucunya lagi, kok bisa seorang dokter kalap. Ya, bukankah menculik adalah perbuatan kalap?

Tapi sudahlah, seorang Gombloh memang cukup pintar dalam mengekspresikan cinta dalam lagunya. Dia katakan, kala cinta sudah melekat tahi kucing rasa cokelat. Hehehehe. Begitulah cinta Manjus pada Lusika; nekat berbuat sebelum terlambat. Fiuh. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/