29 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Anti Klimaks GMT di Maba

Di Maba, selain di dua tempat tadi, lokasi pemantauan lain di Pantai Tanjung Buleu. Ini lokasi utama warga awam dan turis menyaksikan GMT. Pemkab Haltim menyediakan tenda ukuran 30 x 6 meter menghadap matahari terbit. Lapangan terbuka di depan tenda dijadikan ‘panggung terbuka’ untuk antraksi tarian tradisional. Sekira 30 turis asal Eropa ikut duduk di dalam tenda, selain ratusan wisman asal berbagai daerah di Indonesia.

Bupati Haltim Rudy Erawan,  Wakil Bupati Mah Din, dan jajarannya berbaur dengan warga di tenda ini. Puluhan wartawan media cetak, elektronik dan online dari Jakarta melakukan aktivitas liputan di lokasi utama menyaksikan GMT di Maba itu. Saya ikut berbaur dengan mereka.

Gerimis makin deras, berubah jadi hujan. Ratusan orang lari ke dalam tenda. Yang lain lari ke pendopo yang sudah reot tak jauh dari tenda utama. Lainnya lagi bernaung di bawah tenda Dinas Perindustrian dan Perdagangan Haltim yang memajang brosur potensi wisata dan investasi di daerah kaya nikel itu.

“Biasanya setelah hujan matahari cerah,” kata seorang ibu yang jualan martabak di pendopo. “Moga begitu,” kata yang lainnya. Saya berguman, “tapi hujannya sampai kapan?”

Saat itu sudah pukul 09.36. Tinggal 18 menit menuju pukul 09.54, puncak GMT di Maba. Hujan belum juga reda. Tapi langit mulai terang. Tak lama, hujan berhenti.

Orang-orang kembali ke pantai dan memenuhi ‘panggung terbuka’ di sekitar tenda. Perlahan demi perlahan matahari menemhus bumi. Tanpa halangan.

Tapi itu tak cukup 2 menit. Setelah itu awan tebal melintas. Terbuka lagi, sekira 1 menit. Tertutup lagi 3 menit. Terbuka sebentar, lalu ditutup awan tipis hingga matahari hilang di balik awan.

Begitulah ‘drama’ GMT di Maba. Pukul 09.50 awan tipis menghalangi matahari. GMT sudah sekira 95%. Tak ada lagi yang berkedip. Semua sudah dengan kacamata khusus buat menyaksikan momen yang sudah ditunggu-tunggu itu.

Saya teringat peneliti NASA dan LAPAN di Pendopo Jiko Mobon. Juga penelti Ceko dan University of Hawaii di selasar lantai 2 aula kantor Bupati Haltim. Betapa sumringahnya mereka. Juga berdebar-debar. GMT 9 Maret 2016 yang hanya bisa disaksikan di Indonesia akan segera tiba. Di Maba, lokasi GMT terlama di dunia untuk momen kali ini.

Empat menit menuju puncak GMT, pukul 09.54 WIT, mungkin seperti penantian panjang yang hampir tiba di puncak. Gembira. Campur galau. Mungkin juga harap-harap cemas.

Di Maba, selain di dua tempat tadi, lokasi pemantauan lain di Pantai Tanjung Buleu. Ini lokasi utama warga awam dan turis menyaksikan GMT. Pemkab Haltim menyediakan tenda ukuran 30 x 6 meter menghadap matahari terbit. Lapangan terbuka di depan tenda dijadikan ‘panggung terbuka’ untuk antraksi tarian tradisional. Sekira 30 turis asal Eropa ikut duduk di dalam tenda, selain ratusan wisman asal berbagai daerah di Indonesia.

Bupati Haltim Rudy Erawan,  Wakil Bupati Mah Din, dan jajarannya berbaur dengan warga di tenda ini. Puluhan wartawan media cetak, elektronik dan online dari Jakarta melakukan aktivitas liputan di lokasi utama menyaksikan GMT di Maba itu. Saya ikut berbaur dengan mereka.

Gerimis makin deras, berubah jadi hujan. Ratusan orang lari ke dalam tenda. Yang lain lari ke pendopo yang sudah reot tak jauh dari tenda utama. Lainnya lagi bernaung di bawah tenda Dinas Perindustrian dan Perdagangan Haltim yang memajang brosur potensi wisata dan investasi di daerah kaya nikel itu.

“Biasanya setelah hujan matahari cerah,” kata seorang ibu yang jualan martabak di pendopo. “Moga begitu,” kata yang lainnya. Saya berguman, “tapi hujannya sampai kapan?”

Saat itu sudah pukul 09.36. Tinggal 18 menit menuju pukul 09.54, puncak GMT di Maba. Hujan belum juga reda. Tapi langit mulai terang. Tak lama, hujan berhenti.

Orang-orang kembali ke pantai dan memenuhi ‘panggung terbuka’ di sekitar tenda. Perlahan demi perlahan matahari menemhus bumi. Tanpa halangan.

Tapi itu tak cukup 2 menit. Setelah itu awan tebal melintas. Terbuka lagi, sekira 1 menit. Tertutup lagi 3 menit. Terbuka sebentar, lalu ditutup awan tipis hingga matahari hilang di balik awan.

Begitulah ‘drama’ GMT di Maba. Pukul 09.50 awan tipis menghalangi matahari. GMT sudah sekira 95%. Tak ada lagi yang berkedip. Semua sudah dengan kacamata khusus buat menyaksikan momen yang sudah ditunggu-tunggu itu.

Saya teringat peneliti NASA dan LAPAN di Pendopo Jiko Mobon. Juga penelti Ceko dan University of Hawaii di selasar lantai 2 aula kantor Bupati Haltim. Betapa sumringahnya mereka. Juga berdebar-debar. GMT 9 Maret 2016 yang hanya bisa disaksikan di Indonesia akan segera tiba. Di Maba, lokasi GMT terlama di dunia untuk momen kali ini.

Empat menit menuju puncak GMT, pukul 09.54 WIT, mungkin seperti penantian panjang yang hampir tiba di puncak. Gembira. Campur galau. Mungkin juga harap-harap cemas.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/