29 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Anti Klimaks GMT di Maba

Awan tipis tak juga menjauh. Malah makin tebal. Tinggal 1,5 menit. Cahaya matahari terus meredup. Concin korona, bulatan di sekiling matahari saat GMT belum juga tampak. Awan terus setia. Tak beranjak. Menutup ‘persembahan’ GMT bisa tembus 100 % ke bumi.

Tak tahu apa perasaan 62 peneliti asing di Haltim. Terutama mereka yang di Maba. Detik demi detik penantian menuju puncak GMT seperti anti klimaks. Awan tak juga mau meninggalkan posisi matahari. Bami makin gelap. Cemas bercampur kecewa. Di tambah informasi lewat WA atau telepon dari seberang, “di Ternate cuaca cerah. GMT 100 % bisa dilihat.”

Saya membuka handphone. Segera menyaksikan siaran langsung beberapa stasiun televisi tentang GMT. Di Ternate, Palu dan Planetorium Jakarta. Silih berganti. Antara takjub dan kecewa. Juga iri oleh ekspresi kegirangan mereka yang menyaksikan GMT secara penuh.

Waktu terus bergulir. Puncak GMT di Maba akhirnya tiba. Pukul 09.54 mulai berlalu. Bumi seperti sudah hampir pukul 19.00. Tak ada tanda-tanda awan sirna.

Sempat agak menipis. Membersitkan harapan di sisa durasi 3,19 menit. Tapi ternyata awan tak mau kompromi. Meski tipis, tetap dengan setia menempel matahari. Hingga akhirnya, puncak GMT habis.

Di ujung penantian, awan mulai sirna. Tapi bulan sudah mulai meninggalkan matahari. Sekitar 3 %. Bumi kembali terang. Babak akhir yang menghibur. Kebalikan dari suasana menuju puncak GMT yang terus berawan.

Saat bulan perlahan-lahan meninggalkan garis lurus dengan orbit matahari, awan makin menghilang. Keindahan pasca GMT bisa disaksikan dengan takjub. Leluasa. Detik demi detik, menit demi menit berlalu. Bumi kian terang lagi. Bulan terus menjauh dari matahari.

Di stasiun televisi, terus saja disiarkan kegirangan orang-orang yang menyaksikan GMT tanpa halangan awan. Paling membuat iri bagi yang di Maba, mungkin di lapangan Swering Ternate. Ini titik paling dekat dengan Maba.

Malah untuk ke Maba, harus dengan pesawat atau perjalanan laut lanjut dengan bermobil ke Maba. Semua peneliti asing, domistik, turis dan wisman, juga wartawan dari luar Malut yang hari itu di Maba, pasti lewat Ternate. Karena hanya bandara Babullah Ternate pintu masuk yang paling mudah ke Malut, lalu ke Maba.

Awan tipis tak juga menjauh. Malah makin tebal. Tinggal 1,5 menit. Cahaya matahari terus meredup. Concin korona, bulatan di sekiling matahari saat GMT belum juga tampak. Awan terus setia. Tak beranjak. Menutup ‘persembahan’ GMT bisa tembus 100 % ke bumi.

Tak tahu apa perasaan 62 peneliti asing di Haltim. Terutama mereka yang di Maba. Detik demi detik penantian menuju puncak GMT seperti anti klimaks. Awan tak juga mau meninggalkan posisi matahari. Bami makin gelap. Cemas bercampur kecewa. Di tambah informasi lewat WA atau telepon dari seberang, “di Ternate cuaca cerah. GMT 100 % bisa dilihat.”

Saya membuka handphone. Segera menyaksikan siaran langsung beberapa stasiun televisi tentang GMT. Di Ternate, Palu dan Planetorium Jakarta. Silih berganti. Antara takjub dan kecewa. Juga iri oleh ekspresi kegirangan mereka yang menyaksikan GMT secara penuh.

Waktu terus bergulir. Puncak GMT di Maba akhirnya tiba. Pukul 09.54 mulai berlalu. Bumi seperti sudah hampir pukul 19.00. Tak ada tanda-tanda awan sirna.

Sempat agak menipis. Membersitkan harapan di sisa durasi 3,19 menit. Tapi ternyata awan tak mau kompromi. Meski tipis, tetap dengan setia menempel matahari. Hingga akhirnya, puncak GMT habis.

Di ujung penantian, awan mulai sirna. Tapi bulan sudah mulai meninggalkan matahari. Sekitar 3 %. Bumi kembali terang. Babak akhir yang menghibur. Kebalikan dari suasana menuju puncak GMT yang terus berawan.

Saat bulan perlahan-lahan meninggalkan garis lurus dengan orbit matahari, awan makin menghilang. Keindahan pasca GMT bisa disaksikan dengan takjub. Leluasa. Detik demi detik, menit demi menit berlalu. Bumi kian terang lagi. Bulan terus menjauh dari matahari.

Di stasiun televisi, terus saja disiarkan kegirangan orang-orang yang menyaksikan GMT tanpa halangan awan. Paling membuat iri bagi yang di Maba, mungkin di lapangan Swering Ternate. Ini titik paling dekat dengan Maba.

Malah untuk ke Maba, harus dengan pesawat atau perjalanan laut lanjut dengan bermobil ke Maba. Semua peneliti asing, domistik, turis dan wisman, juga wartawan dari luar Malut yang hari itu di Maba, pasti lewat Ternate. Karena hanya bandara Babullah Ternate pintu masuk yang paling mudah ke Malut, lalu ke Maba.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/