30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Medanisme

Oleh : Ramadhan batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Medan memang hebat. Kalimat singkat ini dikeluarkan tamu saya ketika selesai menikmati durian di Sei Sikambing. Tak ada durian seenak ini selain di Medan, katanya lagi. Mantap.

Langsung saja saya busungkan dada. Ayolah, siapa yang tidak bangga ketika daerahnya dipuji oleh orang lain? Masalah saya bukan asli orang Medan, itu kan urusan lain. Begitu juga dengan durian itu, dia kan bukan asli Medan; dia datang dari Dairi, Karo, Tapanuli Tengah, Asahan, Batubara, hingga kawasan Aceh. Jadi, selama di Medan, bukankah menjadi Medan?

Inilah yang saya maksud dengan Medanisme. Paham yang telah mendarah daging bagi siapa saja warga Medan. Slogan yang mewakili isme ini tak lain adalah ‘Ini Medan Bung!’ yang terkenal itu.

Saya katakan isme karena arti dan makna dari slogan itu begitu kental dalam kehidupan warga Medan. Misalnya, tamu saya tadi. Dia terkejut melihat lampu merah kehilangan marwah di Kota Medan ini. Untuk menenangkan kepalanya, saya cukup mengatakan: Ini Medan Bung! Lalu, ketika tamu saya tadi bingung melihat banyak masalah yang bisa diselesaikan dengan uang di kota ini, saya hanya jawab: Ini Medan Bung!

Selesai. Ya, ketika saya keluarkan slogan itu, kawan saya ini langsung maklum. Ingat, maklum, bukan manyun. Menariknya, pemakluman itu malah cenderung tulus. Saya tidak melihat dia menyepelekan ungkapan saya; dia seakan patuh dengan slogan itu. Hebat kan?

Maka, kembali ke durian, adalah wajar ketika tamu saya tadi begitu percaya kalau di Medan ini tumbuh durian. Persis dengan dia, beberapa pendatang yang datang ke Medan juga mencari durian. Sebut saja Krisdayanti, Anang dan Ashanty, Maria Selena sang Putri Indonesia 2011, dan lainnya.

Kenyataan ini tentu merugikan para daerah penghasil durian bukan? Jawabnya tentu, tapi selama ini belum ada yang protes tentang itu. Beda dengan yang terjadi di Jawa Tengah. Ceritanya, pengusaha hingga pemerintah di sana tidak senang dengan Jogjakarta yang identik dengan Borobudur.

Bagaimana tidak, Borobudur itu terletak di Jawa Tengah, jarak yang terbentang dari Jogjakarta menuju candi tersebut pun hingga empat puluh kilometer. Tapi, mengapa wisatawan menginapnya di Jogjakarta, bukan Solo atau Magelang atau malah Semarang yang masuk dalam Provinsi Jawa Tengah. Tapi, sudahlah, kan tidak ada slogan: Ini Jogja, Bung!

Soal Medan memang sangat khas (saya tak percaya kalau ada yang bilang hal ini dikondisikan) dengan slogan yang penuh ego itu. Ya, ada keangkuhan hingga kebanggaan dalam ‘Ini Medan Bung!’ walaupun hingga sekarang saya belum menemukan siapa pencetusnya. Salut.

Mungkin karena itulah, Visit Medan Years 2012 mengusung ‘This is Medan!’ sebagai slogannya. Tapi, kok sok Inggris ya. Maksud saya, tidaklah salah menggunakan kalimat berbahasa Inggris, mungkin pemerintah kota memiliki pandangan luas; yang menginternasional. Namun, isme dalam ‘Ini Medan Bung’ seakan berkurang. Tidak membumi bagi orang Medan sendiri. Jadi teringat pertarungan Jogja dan Solo lagi. Kali ini yang saya anggap kalah adalah Jogja. Ceritanya beberapa tahun lalu, dengan bangga Jogja menelurkan slogan dalam dunia wisatanya yang berbunyi: Never Ending Asia. Hebat, mirip Malaysia dengan Truly Asia-nya.

Tidak ada yang salah, tapi Jogja terkejut ketika beberapa waktu setelah itu Solo membuat slogan yang jauh lebih menarik; The Spirit of Java. Ayolah, selama ini Jogja dan Solo kan selalu bersaing untuk disebut sebagai pusatnya Jawa.

Tentu, apa yang dilakukan Jogja bak bumerang. Nah, apakah Medan akan melakukan bumerang yang sama? Maksudnya, bagaimana ketika ada kota lain yang menggunakan slogan yang mirip dengan ‘Ini Medan Bung!’ (tentunya dengan mengganti nama kotanya) di kemudian hari?

Ego dari slogan itu sangat kental dengan karakter orang Medan bukan? Seperti yang dirasakan tamu saya tadi, dia seakan sudah kalah duluan begitu mendengar slogan itu. Bahkan, sebelum slogan itu dikeluarkan, di dalam otaknya pun telah tertanam sebuah paham; kesadaran untuk tidak macam-macam di Kota Medan. Dengan kata lain, isme yang tercipta di Kota Medan ini telah masuk ke tubuhnya sebelum dia sampai di sini. Bayangkan, bagaimana Medanisme menggerogoti sudut pandangnya itu.

“Wow… Ini Medan Bung!” teriak tamu saya itu ketika mendapati begitu banyak warung pecel lele di kota ini. (*)

 

Oleh : Ramadhan batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Medan memang hebat. Kalimat singkat ini dikeluarkan tamu saya ketika selesai menikmati durian di Sei Sikambing. Tak ada durian seenak ini selain di Medan, katanya lagi. Mantap.

Langsung saja saya busungkan dada. Ayolah, siapa yang tidak bangga ketika daerahnya dipuji oleh orang lain? Masalah saya bukan asli orang Medan, itu kan urusan lain. Begitu juga dengan durian itu, dia kan bukan asli Medan; dia datang dari Dairi, Karo, Tapanuli Tengah, Asahan, Batubara, hingga kawasan Aceh. Jadi, selama di Medan, bukankah menjadi Medan?

Inilah yang saya maksud dengan Medanisme. Paham yang telah mendarah daging bagi siapa saja warga Medan. Slogan yang mewakili isme ini tak lain adalah ‘Ini Medan Bung!’ yang terkenal itu.

Saya katakan isme karena arti dan makna dari slogan itu begitu kental dalam kehidupan warga Medan. Misalnya, tamu saya tadi. Dia terkejut melihat lampu merah kehilangan marwah di Kota Medan ini. Untuk menenangkan kepalanya, saya cukup mengatakan: Ini Medan Bung! Lalu, ketika tamu saya tadi bingung melihat banyak masalah yang bisa diselesaikan dengan uang di kota ini, saya hanya jawab: Ini Medan Bung!

Selesai. Ya, ketika saya keluarkan slogan itu, kawan saya ini langsung maklum. Ingat, maklum, bukan manyun. Menariknya, pemakluman itu malah cenderung tulus. Saya tidak melihat dia menyepelekan ungkapan saya; dia seakan patuh dengan slogan itu. Hebat kan?

Maka, kembali ke durian, adalah wajar ketika tamu saya tadi begitu percaya kalau di Medan ini tumbuh durian. Persis dengan dia, beberapa pendatang yang datang ke Medan juga mencari durian. Sebut saja Krisdayanti, Anang dan Ashanty, Maria Selena sang Putri Indonesia 2011, dan lainnya.

Kenyataan ini tentu merugikan para daerah penghasil durian bukan? Jawabnya tentu, tapi selama ini belum ada yang protes tentang itu. Beda dengan yang terjadi di Jawa Tengah. Ceritanya, pengusaha hingga pemerintah di sana tidak senang dengan Jogjakarta yang identik dengan Borobudur.

Bagaimana tidak, Borobudur itu terletak di Jawa Tengah, jarak yang terbentang dari Jogjakarta menuju candi tersebut pun hingga empat puluh kilometer. Tapi, mengapa wisatawan menginapnya di Jogjakarta, bukan Solo atau Magelang atau malah Semarang yang masuk dalam Provinsi Jawa Tengah. Tapi, sudahlah, kan tidak ada slogan: Ini Jogja, Bung!

Soal Medan memang sangat khas (saya tak percaya kalau ada yang bilang hal ini dikondisikan) dengan slogan yang penuh ego itu. Ya, ada keangkuhan hingga kebanggaan dalam ‘Ini Medan Bung!’ walaupun hingga sekarang saya belum menemukan siapa pencetusnya. Salut.

Mungkin karena itulah, Visit Medan Years 2012 mengusung ‘This is Medan!’ sebagai slogannya. Tapi, kok sok Inggris ya. Maksud saya, tidaklah salah menggunakan kalimat berbahasa Inggris, mungkin pemerintah kota memiliki pandangan luas; yang menginternasional. Namun, isme dalam ‘Ini Medan Bung’ seakan berkurang. Tidak membumi bagi orang Medan sendiri. Jadi teringat pertarungan Jogja dan Solo lagi. Kali ini yang saya anggap kalah adalah Jogja. Ceritanya beberapa tahun lalu, dengan bangga Jogja menelurkan slogan dalam dunia wisatanya yang berbunyi: Never Ending Asia. Hebat, mirip Malaysia dengan Truly Asia-nya.

Tidak ada yang salah, tapi Jogja terkejut ketika beberapa waktu setelah itu Solo membuat slogan yang jauh lebih menarik; The Spirit of Java. Ayolah, selama ini Jogja dan Solo kan selalu bersaing untuk disebut sebagai pusatnya Jawa.

Tentu, apa yang dilakukan Jogja bak bumerang. Nah, apakah Medan akan melakukan bumerang yang sama? Maksudnya, bagaimana ketika ada kota lain yang menggunakan slogan yang mirip dengan ‘Ini Medan Bung!’ (tentunya dengan mengganti nama kotanya) di kemudian hari?

Ego dari slogan itu sangat kental dengan karakter orang Medan bukan? Seperti yang dirasakan tamu saya tadi, dia seakan sudah kalah duluan begitu mendengar slogan itu. Bahkan, sebelum slogan itu dikeluarkan, di dalam otaknya pun telah tertanam sebuah paham; kesadaran untuk tidak macam-macam di Kota Medan. Dengan kata lain, isme yang tercipta di Kota Medan ini telah masuk ke tubuhnya sebelum dia sampai di sini. Bayangkan, bagaimana Medanisme menggerogoti sudut pandangnya itu.

“Wow… Ini Medan Bung!” teriak tamu saya itu ketika mendapati begitu banyak warung pecel lele di kota ini. (*)

 

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/