25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Undangan

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Pernah seorang kawan bercerita kalau kado yang dia bawa ditolak di sebuah pesta pernikahan. Padahal, untuk membeli kado itu, dia harus mengorbankan hampir setengah gajinya. Maklum, yang pesta adalah anak dari atasannya; jadi dia berusaha memberikan yang terbaik.
Apa mau dikata, kado tersebut terpaksa dibawa pulang.

Sang penerima tamu berkeras tak mau menerima. Malah, kawan tadi seakan dibentak untuk melihat undangan terlebih dahulu sebelum menghadiri pesta pernikahan. Sial, undangan tertinggal di rumah. Sang kawan jadi bingung, apa salah dia?

Setelah sampai di rumah, sang kawan langsung mencari undangan yang dimaksud. Setelah melihat undangan itu, dia baru sadar. Di kertas tebal berwarna emas plus gambar hati itu ada tulisan: tidak menerima kado dan karangan bunga.

Begitulah, sejak itu kawan tadi selalu memperhatikan undangan sebelum berangkat ke suatu pesta. Dia tidak mau rugi lagi. Bayangkan saja, setengah gajinya habis karena kado yang ditolak tersebut. Tidak mungkin dia menyalahkan yang punya hajat karena kesalahannya itu kan?
Terus terang, cerita kawan tadi mengingatkan saya pada kasus jalur undangan masuk perguruan tinggi yang menghebohkan itu. Ya, sebuah SMA di-blacklist di jalur undangan karena pada tahun lalu dianggap curang oleh panitia pusat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ditemui kasus kalau SMA itu melakukan manipulasi data. Karena itu, SMA ini pun tidak mendapat kesempatan untuk ikut jalur undangan di tahun ini. Akibatnya, sekian ratus siswa SMA itu gigit jari. Padahal, ratusan siswa itu sama sekali tidak salah. Dan, ketika itu diberlakukan selama tiga tahun, berapa siswa lagi yang harus gigit jari. Fiuh.

Pertanyaannya, apakah pem-blacklist-an itu adalah salah panitia pusat SNMPTN? Wajarkah pihak orangtua menyalahkan panitia pusat?
Atas nama hak mendapatkan pendidikan adalah benar sikap orangtua siswa, tapi coba lihat ke belakang. Maksud saya, seperti kisah kawan tadi, dia tidak membaca undangan hingga merugi karena membeli kado. Itu adalah kerugian kawan tadi semata. Untuk SMA tersebut, benarkah lembaga pendidikan itu tak tahu ada blacklist secara otomatis jika berbuat curang. Jika tahu, kenapa masih mengambil risiko dengan mengorbankan siswanya yang lain? Jika tidak tahu, kok bisa?

Terus terang, saya beruntung punya kawan yang berkasus soal kado tadi. Pasalnya, dia itu adalah mantan mahasiswa yang bisa masuk ke perguruan tinggi melalui jalur undangan. Dia bercerita, pada akhir 1990-an lalu, dia diterima di universitas ternama di Indonesia tanpa tes.

Istilahnya zaman itu adalah Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK). Meski masuk tanpa tes, dia terikat ‘kontrak’ dengan SMA-nya dan universitas yang dituju. Isi kontraknya, jika dalam dua tahun indeks prestasinya (IP) di bawah 2.00, maka sekolahnya akan di-blacklist oleh universitas tempat dia kuliah. Karena itulah, dia sungguh-sungguh belajar. Kenapa? Jawabnya, karena dia tidak mau adik kelasnya di tahun berikutnya tidak bisa kuliah di universitas itu dan sekolahnya mendapat nilai buruk di tingkat nasional!

Nah, untuk SMA tadi, sejatinya hal semacam ini kan bukan barang baru. Jadi ketika ada kejadian seperti sekarang, harusnya pihak sekolah sudah berpikir jauh ke depan. Kasihan ratusan murid yang sudah memimpikan kesempatan kuliah di perguruan tinggi negeri bukan? Seperti kata pepatah, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

Lucunya, sang kepala sekolah SMA itu seolah tak bersalah dengan kesalahan yang dibuat lembaga yang dipimpinnya itu. Dengan enteng dia berkata, “Ini hanya salah satu jalur masuk perguruan tinggi negeri. Jalur ujian tulis kan masih ada, jadi saya pikir ini tidak begitu berpengaruh.”
Sial, beberapa hari setelah dia berucap, pemerintah pusat malah menyatakan kalau tahun depan SMNPTN jalur ujian tulis dihapus. Praktis, untuk masuk perguruan tinggi hanya melalui jalur undangan dan mandiri. Lalu, mau dibawa ke mana semua siswa SMA itu yang memimpikan kuliah perguruan tinggi negeri? (*)

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Pernah seorang kawan bercerita kalau kado yang dia bawa ditolak di sebuah pesta pernikahan. Padahal, untuk membeli kado itu, dia harus mengorbankan hampir setengah gajinya. Maklum, yang pesta adalah anak dari atasannya; jadi dia berusaha memberikan yang terbaik.
Apa mau dikata, kado tersebut terpaksa dibawa pulang.

Sang penerima tamu berkeras tak mau menerima. Malah, kawan tadi seakan dibentak untuk melihat undangan terlebih dahulu sebelum menghadiri pesta pernikahan. Sial, undangan tertinggal di rumah. Sang kawan jadi bingung, apa salah dia?

Setelah sampai di rumah, sang kawan langsung mencari undangan yang dimaksud. Setelah melihat undangan itu, dia baru sadar. Di kertas tebal berwarna emas plus gambar hati itu ada tulisan: tidak menerima kado dan karangan bunga.

Begitulah, sejak itu kawan tadi selalu memperhatikan undangan sebelum berangkat ke suatu pesta. Dia tidak mau rugi lagi. Bayangkan saja, setengah gajinya habis karena kado yang ditolak tersebut. Tidak mungkin dia menyalahkan yang punya hajat karena kesalahannya itu kan?
Terus terang, cerita kawan tadi mengingatkan saya pada kasus jalur undangan masuk perguruan tinggi yang menghebohkan itu. Ya, sebuah SMA di-blacklist di jalur undangan karena pada tahun lalu dianggap curang oleh panitia pusat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ditemui kasus kalau SMA itu melakukan manipulasi data. Karena itu, SMA ini pun tidak mendapat kesempatan untuk ikut jalur undangan di tahun ini. Akibatnya, sekian ratus siswa SMA itu gigit jari. Padahal, ratusan siswa itu sama sekali tidak salah. Dan, ketika itu diberlakukan selama tiga tahun, berapa siswa lagi yang harus gigit jari. Fiuh.

Pertanyaannya, apakah pem-blacklist-an itu adalah salah panitia pusat SNMPTN? Wajarkah pihak orangtua menyalahkan panitia pusat?
Atas nama hak mendapatkan pendidikan adalah benar sikap orangtua siswa, tapi coba lihat ke belakang. Maksud saya, seperti kisah kawan tadi, dia tidak membaca undangan hingga merugi karena membeli kado. Itu adalah kerugian kawan tadi semata. Untuk SMA tersebut, benarkah lembaga pendidikan itu tak tahu ada blacklist secara otomatis jika berbuat curang. Jika tahu, kenapa masih mengambil risiko dengan mengorbankan siswanya yang lain? Jika tidak tahu, kok bisa?

Terus terang, saya beruntung punya kawan yang berkasus soal kado tadi. Pasalnya, dia itu adalah mantan mahasiswa yang bisa masuk ke perguruan tinggi melalui jalur undangan. Dia bercerita, pada akhir 1990-an lalu, dia diterima di universitas ternama di Indonesia tanpa tes.

Istilahnya zaman itu adalah Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK). Meski masuk tanpa tes, dia terikat ‘kontrak’ dengan SMA-nya dan universitas yang dituju. Isi kontraknya, jika dalam dua tahun indeks prestasinya (IP) di bawah 2.00, maka sekolahnya akan di-blacklist oleh universitas tempat dia kuliah. Karena itulah, dia sungguh-sungguh belajar. Kenapa? Jawabnya, karena dia tidak mau adik kelasnya di tahun berikutnya tidak bisa kuliah di universitas itu dan sekolahnya mendapat nilai buruk di tingkat nasional!

Nah, untuk SMA tadi, sejatinya hal semacam ini kan bukan barang baru. Jadi ketika ada kejadian seperti sekarang, harusnya pihak sekolah sudah berpikir jauh ke depan. Kasihan ratusan murid yang sudah memimpikan kesempatan kuliah di perguruan tinggi negeri bukan? Seperti kata pepatah, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

Lucunya, sang kepala sekolah SMA itu seolah tak bersalah dengan kesalahan yang dibuat lembaga yang dipimpinnya itu. Dengan enteng dia berkata, “Ini hanya salah satu jalur masuk perguruan tinggi negeri. Jalur ujian tulis kan masih ada, jadi saya pikir ini tidak begitu berpengaruh.”
Sial, beberapa hari setelah dia berucap, pemerintah pusat malah menyatakan kalau tahun depan SMNPTN jalur ujian tulis dihapus. Praktis, untuk masuk perguruan tinggi hanya melalui jalur undangan dan mandiri. Lalu, mau dibawa ke mana semua siswa SMA itu yang memimpikan kuliah perguruan tinggi negeri? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/