32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Mudik Alternatif

Berkumpul bersama keluarga setelah sekian lama tak bersua, bukankah hal itu sangat menyenangkan? Ya, kerinduan yang terpendamkan bisa disalurkan dengan bebas. Ini adalah dasar yang membuat sebuah tradisi tahunan; mudik.

Siapa yang tahu arti kata ‘mudik’? Hm,        menurut kawan saya yang orang Betawi, katanya kata ‘mudik’ berasal dari bahasa Betawai yakni ‘udik’. Nah, ‘udik’ itu dalam bahasa Indonesia berarti kampung atau desa.

Ceritanya, penggunaan kata ini dimulai, dikarenakan pada saat itu begitu banyaknya orang-orang dari Jawa (dia katakan Jawa seakan Betawi tidak termasuk dalam Pulau Jawa Saja, he he he)  yang pergi mencari nafkah ke Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan akhirnya menetap di kota tersebut.

Nah, lanjutnya, setiap setahun sekali kan ada Idul Fitri. Saat lebaran itu akan semakin afdol ketika bisa saling bermaaf-maafan dengan keluarga bukan? Maka, para perantau itupun pulang kampung alias pulang udik. Ujung-ujungnya, “Jadi, kata udik itu menjadi mudik untuk menunjukan gerak aktif ke udik tadi,” begitu jelasnya.

Tunggu dulu, ada pula yang mengatakan kata’ mudik’ itu bukan dari Betawi, tapi dari Palembang. Artinya, berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman). Terserahlah, yang jelas, meski berdebat asal kata itu dari dua daerah yang berbeda, tetap saja artinya sama bukan?

Menariknya, seiring waktu, mudik malah cenderung menjadi kata dasar bukan? Ya, dia tidak bergantung lagi dengan kata dasar ‘udik’. Buktinya, setelah kata ‘mudik, masih banyak kata turunan yang lainm. Sebut saja pemudik yang berarti orang yang pulang ke kampung halaman dan semudik yang berarti satu arah ke kampung.

Begitulah, saya mencatat soal mudik ini karena memang cukup menyenangkan membahas tradisi yang terus berulang tapi tak juga bisa nyaman. Ya, bukan rahasia lagi kalau musim mudik adalah musim repot. Saat musim mudik diketahuilah kalau jalan yang dimiliki negara ini banyak yang rusak. Tidak itu saja, saat musim mudik baru diketahui kalau jalan yang diperbaiki belum selesai dikerjakan.

Yang paling menyesakan, saat musim mudik kita yang tinggal di Sumatera baru sadar kalau Jawa memang lebih hebat soal jalan. Buktinya, lihat saja televisi. Di Jawa orang repot dengan macet karena kebanyakan kendaraan, di Sumatera orang repot macet karena jalan rusak. Bah! Dengan kata lain, ada semacam perbedaan yang begitu ketara.

Terlihat di televisi jalan di Pantai Utara Jawa yang mulus, berlajur banyak, dan mendapat perhatian penuh dari pemerintah dan media. Tapi, adakah yang tahu kalau jalan menuju Sibolga dari Tarutung belum juga nyaman dari tahun ke tahun? Ya, siapa yang berani menyalip kendaraan lain ketika melewati kelokan dan batu lubang itu! Adakah jalan itu senyaman tanjakan di Nagrek Pulau Jawa sana yang katanya paling berbahaya?

Tapi sudahlah, soal fasilitas memang tidak bisa diseragamkan; banyak latar belakang yang membuat itu terjadi. Kini, sebagai warga Sumatera khususnya Sumatera Utara, saya hanya ingin mudik dengan nyaman. Jika tidak nyaman, ya, tidak mudik. Selesai kan?

Ayolah, mudik itu kan setahun sekali, kenapa tidak dipaksakan? Begitu dorongan dari sisi hati saya yang lain. Ya, apalagi ibu saya sudah tua, wajib dikunjungi kan? Hm, hal inilah yang membuat saya harus berpikir secara alternatif. Pasalnya, jika saya menggunakan pikiran biasa, maka saya kan terjebak pada mudik yang memberatkan itu; macet, jalan rusak, dan sebagainya.

Begitulah, akhirnya saya berpikir untuk mudik. Apapun ceritanya, tetap mudik! Hidup mudik!

Mudik alternatif yang saya pilih adalah dengan tidak mudik dalam arti pulang kampung (ha ha ha). Tunggu dulu, jangan salah sangka. Seperti catatan saya di awal tadi, kata mudik telah mengalami banyak pelebaran makna bukan? Ya, dari kata ‘udik’ yang berarti kampung dia berubah menjadi mudik alias pulang kampung. Nah, seiring waktu, dia kembali melebar. Mudik mulai diartikan sebagai usaha untuk bermaaf-maafan dan berkumpul dengan keluarga. Jadi, ketika tidak bisa bertemu di kampung tapi bisa bermaaf-maafan serta berkumpul dengan keluarga berarti sudah diartikan mudik bukan?
Selesai (baca, rintihan orang yang tidak bisa mudik) dan terim kasih. (*)

Berkumpul bersama keluarga setelah sekian lama tak bersua, bukankah hal itu sangat menyenangkan? Ya, kerinduan yang terpendamkan bisa disalurkan dengan bebas. Ini adalah dasar yang membuat sebuah tradisi tahunan; mudik.

Siapa yang tahu arti kata ‘mudik’? Hm,        menurut kawan saya yang orang Betawi, katanya kata ‘mudik’ berasal dari bahasa Betawai yakni ‘udik’. Nah, ‘udik’ itu dalam bahasa Indonesia berarti kampung atau desa.

Ceritanya, penggunaan kata ini dimulai, dikarenakan pada saat itu begitu banyaknya orang-orang dari Jawa (dia katakan Jawa seakan Betawi tidak termasuk dalam Pulau Jawa Saja, he he he)  yang pergi mencari nafkah ke Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan akhirnya menetap di kota tersebut.

Nah, lanjutnya, setiap setahun sekali kan ada Idul Fitri. Saat lebaran itu akan semakin afdol ketika bisa saling bermaaf-maafan dengan keluarga bukan? Maka, para perantau itupun pulang kampung alias pulang udik. Ujung-ujungnya, “Jadi, kata udik itu menjadi mudik untuk menunjukan gerak aktif ke udik tadi,” begitu jelasnya.

Tunggu dulu, ada pula yang mengatakan kata’ mudik’ itu bukan dari Betawi, tapi dari Palembang. Artinya, berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman). Terserahlah, yang jelas, meski berdebat asal kata itu dari dua daerah yang berbeda, tetap saja artinya sama bukan?

Menariknya, seiring waktu, mudik malah cenderung menjadi kata dasar bukan? Ya, dia tidak bergantung lagi dengan kata dasar ‘udik’. Buktinya, setelah kata ‘mudik, masih banyak kata turunan yang lainm. Sebut saja pemudik yang berarti orang yang pulang ke kampung halaman dan semudik yang berarti satu arah ke kampung.

Begitulah, saya mencatat soal mudik ini karena memang cukup menyenangkan membahas tradisi yang terus berulang tapi tak juga bisa nyaman. Ya, bukan rahasia lagi kalau musim mudik adalah musim repot. Saat musim mudik diketahuilah kalau jalan yang dimiliki negara ini banyak yang rusak. Tidak itu saja, saat musim mudik baru diketahui kalau jalan yang diperbaiki belum selesai dikerjakan.

Yang paling menyesakan, saat musim mudik kita yang tinggal di Sumatera baru sadar kalau Jawa memang lebih hebat soal jalan. Buktinya, lihat saja televisi. Di Jawa orang repot dengan macet karena kebanyakan kendaraan, di Sumatera orang repot macet karena jalan rusak. Bah! Dengan kata lain, ada semacam perbedaan yang begitu ketara.

Terlihat di televisi jalan di Pantai Utara Jawa yang mulus, berlajur banyak, dan mendapat perhatian penuh dari pemerintah dan media. Tapi, adakah yang tahu kalau jalan menuju Sibolga dari Tarutung belum juga nyaman dari tahun ke tahun? Ya, siapa yang berani menyalip kendaraan lain ketika melewati kelokan dan batu lubang itu! Adakah jalan itu senyaman tanjakan di Nagrek Pulau Jawa sana yang katanya paling berbahaya?

Tapi sudahlah, soal fasilitas memang tidak bisa diseragamkan; banyak latar belakang yang membuat itu terjadi. Kini, sebagai warga Sumatera khususnya Sumatera Utara, saya hanya ingin mudik dengan nyaman. Jika tidak nyaman, ya, tidak mudik. Selesai kan?

Ayolah, mudik itu kan setahun sekali, kenapa tidak dipaksakan? Begitu dorongan dari sisi hati saya yang lain. Ya, apalagi ibu saya sudah tua, wajib dikunjungi kan? Hm, hal inilah yang membuat saya harus berpikir secara alternatif. Pasalnya, jika saya menggunakan pikiran biasa, maka saya kan terjebak pada mudik yang memberatkan itu; macet, jalan rusak, dan sebagainya.

Begitulah, akhirnya saya berpikir untuk mudik. Apapun ceritanya, tetap mudik! Hidup mudik!

Mudik alternatif yang saya pilih adalah dengan tidak mudik dalam arti pulang kampung (ha ha ha). Tunggu dulu, jangan salah sangka. Seperti catatan saya di awal tadi, kata mudik telah mengalami banyak pelebaran makna bukan? Ya, dari kata ‘udik’ yang berarti kampung dia berubah menjadi mudik alias pulang kampung. Nah, seiring waktu, dia kembali melebar. Mudik mulai diartikan sebagai usaha untuk bermaaf-maafan dan berkumpul dengan keluarga. Jadi, ketika tidak bisa bertemu di kampung tapi bisa bermaaf-maafan serta berkumpul dengan keluarga berarti sudah diartikan mudik bukan?
Selesai (baca, rintihan orang yang tidak bisa mudik) dan terim kasih. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/