25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

In Lance Armstrong We Don’t Trust

Berita ditariknya gelar juara pembalap sepeda Lance Armstrong, yang tujuh kali memenangi Tour de France, akibat skandal pemakaian doping membuat saya miris. Ingat akan apa yang saya alami menjelang akhir 2011, saat itu saya dengan senangnya mengikuti rombongan Kementerian Parekraf ke New York Marathon.

Saya bergabung sebagai special ambassador for Indonesia tourism untuk mendukung sponsorship sebuah event akbar Wonderful Indonesia Saya senang joging, pernah ikut Bali 10K tiga kali dan Borobudur 10K sekali. Dua kali bikin HK-10K di Jakarta untuk memperingati hari ulang tahun saya. Tetapi, saya harus stop joging lantaran dilarang dokter. Dikhawatirkan, back pain saya kambuh setelah lari.

Sejak berangkat dari Jakarta, saya sudah katakan bahwa saya tidak akan kuat ikut lari maraton sejauh 42,195 kilometer itu. Bisa mampus saya. Saya akan joging saja sekitar lima sampai sepuluh kilometer, lalu balik naik kendaraan umum.

Sesampai di New York, saya bersama para petinggi Kementerian Parekraf dan lebih dari 20 pelari Indonesia, termasuk Sandiaga Uno, diterima KJRI New York. Saya jelaskan bahwa keikutsertaan tim Indonesia bertujuan untuk charity dan menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang hebat.

Saya dikenalkan kepada Annie, panitia penyelenggara yang memberi saya nomor line subway, kapan saja saya keluar dari lintasan nanti, supaya cepat menuju garis finis di Central Park. Karena di situlah, di balkon VIP, Konjen RI bersama pejabat Kementerian Parekraf menunggu para pelari Indonesia masuk garis finis.

Saya diberi tanda pengenal VIP supaya bisa masuk ke balkon. Sebelum start, saya pun sibuk membuat wawancara dan gambar serta video dari komentar beberapa pelari Indonesia untuk Radio Internet Marketeers. Termasuk dengan Dubes Dino Patti Djalal. Hati saya sangat gembira bisa joging lagi. Lagu I’ve Got a Feeling mengiringi puluhan ribu orang yang mulai berlari itu.

Suasana begitu menyenangkan karena bukan hanya pemandangan indah yang dilalui. Melainkan juga sambutan berbagai komunitas di kanan dan kiri jalan. Ada yang bermain band, ada yang memberi minum gratis, bahkan ada yang mengajak give me five di pinggir jalan.

Ternyata, saya hanya bisa joging sejauh lima mil karena alas sepatu sisi kiri saya yang sudah butut njeplak. Saya mencopotnya sekalian, tapi saya paksakan untuk terus lari sampai ketemu stasiun subway.
Di situ saya cari nomor line yang diberi Annie. Ternyata keretanya lagi tak jalan. Sialnya, saya lupa bawa uang koin sehingga tidak bisa beli tiket.

Untung, ada orang baik hati yang membayari saya 1 dolar 25 sen lewat line beda dengan tujuan Central Park. Sampai di tujuan, saya ternyata tidak bisa memasuki tempat finis. Ribuan orang ada di pinggir jalan menjelang garis finis. Semua jalan ke sana pun ditutup.

Sementara itu, saya ditelepon terus karena ditunggu bergabung di balkon. Tanda pengenal VIP yang saya tunjukkan kepada polisi tidak laku. Polisi justru memperbolehkan saya kembali masuk lintasan karena saya juga pakai tanda peserta.

Saya masuk lintasan lagi, jalan santai sampai finis sambil foto-foto. Setelah masuk garis finis, saya bertemu Annie. Waktu dia tanya, saya jawab bahwa saya naik subway yang lain dan sepatu saya jebol.
Dia tanya, apakah saya sudah dapat medali? Saya jawab, saya tidak melapor ke meja panitia karena memang pulangnya naik subway. Annie pergi dan balik dengan memberikan bungkusan kepada saya. Dia juga mengantar saya ke balkon untuk bergabung dengan rombongan.

Saya buka bungkusan tadi dan ternyata isinya air minum, makanan, dan medali. Saya surprise! Teman-teman senang dan memotret saya bersama sepatu jebol dan medali.

Ternyata foto itulah yang beredar di internet dan tersiar ke mana-mana. Tanpa saya tahu, Komunitas Pelari Indonesia online marah karena saya dianggap tidak punya karakter. Bahkan, beritanya dimuat di koran Tempo.

Walaupun telat karena tidak tahu, saya menulis surat elektronik kepada komunitas itu via Facebook untuk minta maaf. Saya khilaf! Saya tidak membaca aturan bahwa peserta tidak boleh balik masuk lintasan.

Semua terekam di internet karena ada chip di nomor peserta. Saya juga menulis surat kepada Kementerian Parekraf untuk mengembalikan medali yang tidak pernah saya minta. Kementerian Parekraf mengembalikannya kepada panitia New York Marathon. Tetapi, panitia justru menjelaskan bahwa itu bukan kesalahan saya karena medali tersebut diberikan sebagai suvenir bukan sebagai tanda finis.

Saya tidak di-ban seperti yang ditulis di peraturan, tapi malah diundang ke New York Marathon berikutnya. Sekarang kaki kiri saya sakit permanen akibat joging dengan sepatu jebol itu. Sampai sekarang pun masih sering terasa ngilu. Saya sempat sakit hati karena dihakimi banyak orang, sementara saya sendiri tidak tahu kesalahan saya.

Itulah hadiah untuk HUT ke-64 saya tahun lalu. Pelajaran berharga untuk selalu membaca peraturan suatu event, tidak asal difoto karena bisa menimbulkan kesalahpahaman, dan harus cepat update supaya tidak telat minta maaf.

Saya berharap, Komunitas Pelari Indonesia sekali lagi memaafkan saya atas kecerobohan saya. Semoga terus bisa membawa nama Indonesia dengan karakter dan sportivitas tinggi. Saya tentu akan berusaha agar tidak mengulang kebodohan-kebodohan semacam itu setelah memasuki usia ke-65.
Saya bukan Lance Armstrong. (*)

Berita ditariknya gelar juara pembalap sepeda Lance Armstrong, yang tujuh kali memenangi Tour de France, akibat skandal pemakaian doping membuat saya miris. Ingat akan apa yang saya alami menjelang akhir 2011, saat itu saya dengan senangnya mengikuti rombongan Kementerian Parekraf ke New York Marathon.

Saya bergabung sebagai special ambassador for Indonesia tourism untuk mendukung sponsorship sebuah event akbar Wonderful Indonesia Saya senang joging, pernah ikut Bali 10K tiga kali dan Borobudur 10K sekali. Dua kali bikin HK-10K di Jakarta untuk memperingati hari ulang tahun saya. Tetapi, saya harus stop joging lantaran dilarang dokter. Dikhawatirkan, back pain saya kambuh setelah lari.

Sejak berangkat dari Jakarta, saya sudah katakan bahwa saya tidak akan kuat ikut lari maraton sejauh 42,195 kilometer itu. Bisa mampus saya. Saya akan joging saja sekitar lima sampai sepuluh kilometer, lalu balik naik kendaraan umum.

Sesampai di New York, saya bersama para petinggi Kementerian Parekraf dan lebih dari 20 pelari Indonesia, termasuk Sandiaga Uno, diterima KJRI New York. Saya jelaskan bahwa keikutsertaan tim Indonesia bertujuan untuk charity dan menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang hebat.

Saya dikenalkan kepada Annie, panitia penyelenggara yang memberi saya nomor line subway, kapan saja saya keluar dari lintasan nanti, supaya cepat menuju garis finis di Central Park. Karena di situlah, di balkon VIP, Konjen RI bersama pejabat Kementerian Parekraf menunggu para pelari Indonesia masuk garis finis.

Saya diberi tanda pengenal VIP supaya bisa masuk ke balkon. Sebelum start, saya pun sibuk membuat wawancara dan gambar serta video dari komentar beberapa pelari Indonesia untuk Radio Internet Marketeers. Termasuk dengan Dubes Dino Patti Djalal. Hati saya sangat gembira bisa joging lagi. Lagu I’ve Got a Feeling mengiringi puluhan ribu orang yang mulai berlari itu.

Suasana begitu menyenangkan karena bukan hanya pemandangan indah yang dilalui. Melainkan juga sambutan berbagai komunitas di kanan dan kiri jalan. Ada yang bermain band, ada yang memberi minum gratis, bahkan ada yang mengajak give me five di pinggir jalan.

Ternyata, saya hanya bisa joging sejauh lima mil karena alas sepatu sisi kiri saya yang sudah butut njeplak. Saya mencopotnya sekalian, tapi saya paksakan untuk terus lari sampai ketemu stasiun subway.
Di situ saya cari nomor line yang diberi Annie. Ternyata keretanya lagi tak jalan. Sialnya, saya lupa bawa uang koin sehingga tidak bisa beli tiket.

Untung, ada orang baik hati yang membayari saya 1 dolar 25 sen lewat line beda dengan tujuan Central Park. Sampai di tujuan, saya ternyata tidak bisa memasuki tempat finis. Ribuan orang ada di pinggir jalan menjelang garis finis. Semua jalan ke sana pun ditutup.

Sementara itu, saya ditelepon terus karena ditunggu bergabung di balkon. Tanda pengenal VIP yang saya tunjukkan kepada polisi tidak laku. Polisi justru memperbolehkan saya kembali masuk lintasan karena saya juga pakai tanda peserta.

Saya masuk lintasan lagi, jalan santai sampai finis sambil foto-foto. Setelah masuk garis finis, saya bertemu Annie. Waktu dia tanya, saya jawab bahwa saya naik subway yang lain dan sepatu saya jebol.
Dia tanya, apakah saya sudah dapat medali? Saya jawab, saya tidak melapor ke meja panitia karena memang pulangnya naik subway. Annie pergi dan balik dengan memberikan bungkusan kepada saya. Dia juga mengantar saya ke balkon untuk bergabung dengan rombongan.

Saya buka bungkusan tadi dan ternyata isinya air minum, makanan, dan medali. Saya surprise! Teman-teman senang dan memotret saya bersama sepatu jebol dan medali.

Ternyata foto itulah yang beredar di internet dan tersiar ke mana-mana. Tanpa saya tahu, Komunitas Pelari Indonesia online marah karena saya dianggap tidak punya karakter. Bahkan, beritanya dimuat di koran Tempo.

Walaupun telat karena tidak tahu, saya menulis surat elektronik kepada komunitas itu via Facebook untuk minta maaf. Saya khilaf! Saya tidak membaca aturan bahwa peserta tidak boleh balik masuk lintasan.

Semua terekam di internet karena ada chip di nomor peserta. Saya juga menulis surat kepada Kementerian Parekraf untuk mengembalikan medali yang tidak pernah saya minta. Kementerian Parekraf mengembalikannya kepada panitia New York Marathon. Tetapi, panitia justru menjelaskan bahwa itu bukan kesalahan saya karena medali tersebut diberikan sebagai suvenir bukan sebagai tanda finis.

Saya tidak di-ban seperti yang ditulis di peraturan, tapi malah diundang ke New York Marathon berikutnya. Sekarang kaki kiri saya sakit permanen akibat joging dengan sepatu jebol itu. Sampai sekarang pun masih sering terasa ngilu. Saya sempat sakit hati karena dihakimi banyak orang, sementara saya sendiri tidak tahu kesalahan saya.

Itulah hadiah untuk HUT ke-64 saya tahun lalu. Pelajaran berharga untuk selalu membaca peraturan suatu event, tidak asal difoto karena bisa menimbulkan kesalahpahaman, dan harus cepat update supaya tidak telat minta maaf.

Saya berharap, Komunitas Pelari Indonesia sekali lagi memaafkan saya atas kecerobohan saya. Semoga terus bisa membawa nama Indonesia dengan karakter dan sportivitas tinggi. Saya tentu akan berusaha agar tidak mengulang kebodohan-kebodohan semacam itu setelah memasuki usia ke-65.
Saya bukan Lance Armstrong. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/