Sudah jatuh tertimpa tangga tampaknya sangat pas dengan yang dialami dua warga Sumut, Leonardo Hutajulu (34) warga Jalan Menteng VII Medan dan Yeni Rahman (27) warga Jalan Singa Pematangsiantar. Bagaimana tidak, setelah dirampok — harta mereka dikuras — mereka pun ditinggal begitu saja oleh perampok di sebuah perkebunan karet. Dan, saat itu tengah malam!
Saya tidak bisa membayangkan perasaan mereka saat itu. Sungguh terhina. Harkat dan martabat mereka sebagai manusia pasti terinjak-injak. Entahlah, saya rasa tangis pun sudah tidak bisa lagi mewakili penderitaan. Teriak apalagi, pasti terasa sia-sia.
Intinya, jika tidak cepat sadar dari kesialan, mereka pasti akan terganggu jiwanya.
Ceritanya, dua warga Sumut ini ingin berangkat ke Pematangsiantar. Bus sudah tak ada lagi. Saat itu malam sudah berada di pukul 22.30 WIB. Tiba-tiba ada mobil Avanza menghampiri mereka. Menawarkan jasa. Atas nama kebiasaan (mungkin), mereka pun langsung masuk ke dalam mobil itu. Ayolah, soal taksi gelap semacam Avanza itu kan bukan barang baru lagi di Sumut.
Apalagi, menurut pengakuan mereka, di dalam mobil itu sudah ada dua penumpang lain: laki-laki. Sama sekali tidak ada kecurigaan. Sekali lagi, mungkin mereka sudah biasa menggunakan jasa semacam itu. Dan, belum pernah selama ini terdengar ada perampokan di dalam taksi gelap.
Maka, dengan nyaman, menikmati dinginnya mesin pendingin dan mungkin juga alunan musik, mereka lalui jalan lintas Sumatera dari Medan menuju Pematangsiantar tanpa ada rasa cemas. Sayang, mereka tak sadar kalau dua laki-laki yang berada di dalam Avanza itu beserta sopir adalah komplotan.
Hingga Kota Tebingtinggi terlewati ada perubahan drastis. Sekira pukul 00.40 WIB, tepatnya memasuki wilayah Perkebunan sawit milik PTPN 4 Pabatu, dua lelaki itu langsung menyerang. Mereka berdua dirampok dengan ancaman belati. Mereka tak bisa melawan. Mereka di buang di perkebunan karet dengan keadaan tanpa uang dan telepon seluler. Gelap. Saat itu tengah malam.
Beruntung, mereka bisa menemukan truk yang mau membawa mereka ke Pematangsiantar. Beruntung, mereka tidak ditikam hingga hilang nyawa. Dan, beruntung, mereka masih hafal dengan wajah para perampok itu.
Ya, selang sepekan, Leonardo mengenali seorang pelaku perampokan itu. Namanya, Lantoni Damanik. Dia sopir Avanza tersebut. Leonardo makin yakin Lantoni sang bandit setelah dia menyadari baju yang dikenakan Lantoni adalah bajunya. Tak pelak, berkat kerja sama dengan anggota polisi, Lantoni pun dibekuk. Lantoni disel.
Begitulah, kasus di atas mungkin ada yang menganggap sepele. Namun, ini soal kenyaman hidup di Sumut. Apalagi, hal ini berkaitan dengan sebuah jasa angkutan yang tentunya bisa membuat warga resah. Ayolah, dalam sehari, berapa warga yang menggunakan jasa itu. Tahu kenapa banyak yang menggunakan? Jawabnya, warga puas dengan pelayanan taksi gelap. Selain harga bersaing, fasilitas taksi gelap biasanya cukup mumpuni. Dan, semua itu tidak bisa diimbangi oleh jasa umum yang resmi.
Dan, hal itu diakui oleh pihak Organisasi Angkutan Darat (Organda) Sumut. Beberapa waktu lalu, pihak Organda memang sempat ribut karena taksi gelap makin banyak. Tentu saja, keberadaan taksi gelap menghancurkan pendapatan jasa angkutan berplat kuning. Berbagai usaha dilakukan, tapi taksi gelap belum juga bisa dibasmi. Malah, makin banyak.
Yang jelas, kejahatan bisa timbul di mana saja bukan? Dan, hal inilah yang ditangkap benar oleh tiga pelaku perampokan tadi. Memanfaatkan kepercayaan warga pada taksi gelap, mereka pun mengambil kesempatan.
Harusnya hal ini bisa menjadi momen bagi Dinas Perhubungan untuk mengambil sikap. Apalagi, sebelumnya sempat ada taksi gelap dengan mobil berjenis L-300 yang ‘nyemplung’ ke Danau Toba hingga menewaskan beberapa orang. Dan, bagi Organda, dengan momen ini, bukankah waktu yang tepat untuk mengambil hati warga lagi. Caranya, perbaiki fasilitas dan kenyamanan. Bukankah begitu? (*)