29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Food is The Weapon

Oleh: Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Orang Barat berkata: food is the weapon. Makanan adalah senjata. Orang Batak bilang: tajom piso, untajoman do pe siubeon. Maknanya, perilaku orang lapar bisa lebih tajam dari pisau.

Kisah berikut ini bisa menggambarkan kedua istilah di atas dengan cukup tepat. Pada zaman Raja-Raja sebelum Masehi, tersebutlah Kota Samaria yaitu ibukota Kerajaan Utara, dikepung bangsa Siria di bawah kepemimpinan Raja Benhadad. Pengepungan berlangsung kira-kira 9 bulan. Tujuannya, melumpuhkan Kota Samaria.

Maka terjadilah kelaparan hebat di Samaria selama pengepungan, sehingga sebuah kepala keledai berharga 80 syikal (912 gram) perak dan seperempat kab (kira-kira setengah liter) tahi merpati berharga 5 syikal (57 gram) perak.

Akibat kelaparan hebat itu, dua orang ibu tidak tahan lagi menanggung perih di lambung dan diam-diam bersepakat memasak anak mereka untuk dimakan bergiliran. Hari kesatu, anak ibu pertama dimasak dan lantas mereka makan bersama. Hari kedua, si ibu pertama meminta ibu kedua memberikan anaknya untuk dimakan. Namun si ibu kedua ternyata tidak sudi dan memilih menyembunyikan anaknya. Terang saja ibu pertama marah karena merasa ditipu hingga kasusnya bergulir ke raja.

Seandainya saja kala itu tentara Benhadad tidak kabur meninggalkan perkemahan karena mengira telah mendengar bunyi kereta, bunyi kuda, dan bunyi tentara berjumlah besar yang datang menyerang mereka, niscayalah Kota Samaria kalah karena kekurangan pangan.

Apa arti kisah itu buat kita? Nah, makanan utama mayoritas orang Indonesia adalah nasi. Tingkat konsumsi beras/nasi per kapita masyarakat Indonesia per tahun mencapai 120 kg. Konsumsi beras masyarakat Sumut lebih tinggi lagi, mencapai 139 kg per kapita per tahun. Angka ini termasuk tinggi. Bandingkan dengan konsumsi beras/nasi orang Malaysia yang di bawah 100 kilogram per tahun.

Tingkat konsumsi beras di Sumut ini cenderung meningkat. Beberapa tahun lalu hanya sekitar 125 kg per kapita per tahun. Berarti kenaikannya mencapai 10 kg per kapita. Bayangkan!

Sementara, ketersediaan beras di Sumut mulai mengkhawatirkan. Dengan kondisi seringnya anomali cuaca dan banyaknya alih fungsi lahan, jumlah produksi beras sangat fluktuatif, bahkan menurun secara bertahap.

Tak hanya Sumut, produksi padi secara nasional pun menurun. Tahun lalu mengalami penurunan 1 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, pemerintah masih mengimpor beras dari negara tetangga.

Tak perlu menunggu ada tentara luar mengepung negara ini untuk terjadinya kerawanan pangan di tanah air. Seandanya negara tetangga tak mampu atau menolak mengekspor berasnya ke negeri kita, bayangkan saja ancaman pangan yang bakal kita hadapi.

Nah, untuk mengurangi ketergantungan pada beras/nasi ini, pemerintah pun bercita-cita menurunkan tingkat konsumsi beras kita menjadi paling tidak 100 kg per kapita per tahun. Cita-cita itu ditindaklanjuti berbagai daerah dengan berbagai konsep.

Pemko Depok misalnya, memberlakukan program “one day no rice’. Satu hari tanpa nasi. Sementara Badan Ketahanan Pangan Sumut mengampanyekan konsep manggadong. Apa itu manggadong? Manggadong adalah tradisi lama etnis Tapanuli mengonsumsi ubi (biasanya ubi jalar) sebagai makanan pembuka, sebelum menikmati nasi. Dengan manggadong, konsumsi nasi tak lagi terlalu banyak.

Dulu konsep manggadong ini dikenal luas oleh masyarakat Tapanuli. Sayang, seiring dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk, ditambah selama ini ubi terposisi sebagai makanan orang miskin, manggadong perlahan dilupakan. Padahal dari sisi asupan, kandungan gizi ubi mampu menggantikan zat yang dibutuhkan tubuh dari nasi. Jika dalam sesuap nasi terkandung 150 karbohidrat, maka ubi mengandung 100 karbohidrat dalam takaran yang sama.
Namun ada yang perlu diperhatikan. Istilah manggadong terdengar agak jadul. Bisa-bisa anak muda ogah melakoninya karena terkesan tak modern. Untuk itu, istilah yang lebih menarik perlu diciptakan. Seperti pilihan Pemko Depok yang terdengar keren. One day no rice.

Kemasan manggadong juga perlu dipermanis, agar jangan terkesan sekadar makan ubi rebus/goreng seperti zaman dahulu. Di sini, ubinya bisa dijadikan kolak, bolu ubi, dan sebagainya. Pengganti nasi juga tak melulu hanya ubi. Bisa talas, jagung, labu, kentang, tahu, dan komoditi lainnya yang tersedia di sekitar kita. Karena itu, namanya tak mesti manggadong.

Jika konsep ini diterima dan dipraktikkan oleh khayalak luas, bisa menurunkan konsumsi beras minimal 1,5 persen per tahun. Dengan demikian, posisi beras sebagai the weapon yang bisa mengguncang ketahanan ekonomi kita saat ini, bertahap bisa dikurangi. Dan kita tidak lagi terpenjara oleh beras. (*)

Oleh: Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos

Orang Barat berkata: food is the weapon. Makanan adalah senjata. Orang Batak bilang: tajom piso, untajoman do pe siubeon. Maknanya, perilaku orang lapar bisa lebih tajam dari pisau.

Kisah berikut ini bisa menggambarkan kedua istilah di atas dengan cukup tepat. Pada zaman Raja-Raja sebelum Masehi, tersebutlah Kota Samaria yaitu ibukota Kerajaan Utara, dikepung bangsa Siria di bawah kepemimpinan Raja Benhadad. Pengepungan berlangsung kira-kira 9 bulan. Tujuannya, melumpuhkan Kota Samaria.

Maka terjadilah kelaparan hebat di Samaria selama pengepungan, sehingga sebuah kepala keledai berharga 80 syikal (912 gram) perak dan seperempat kab (kira-kira setengah liter) tahi merpati berharga 5 syikal (57 gram) perak.

Akibat kelaparan hebat itu, dua orang ibu tidak tahan lagi menanggung perih di lambung dan diam-diam bersepakat memasak anak mereka untuk dimakan bergiliran. Hari kesatu, anak ibu pertama dimasak dan lantas mereka makan bersama. Hari kedua, si ibu pertama meminta ibu kedua memberikan anaknya untuk dimakan. Namun si ibu kedua ternyata tidak sudi dan memilih menyembunyikan anaknya. Terang saja ibu pertama marah karena merasa ditipu hingga kasusnya bergulir ke raja.

Seandainya saja kala itu tentara Benhadad tidak kabur meninggalkan perkemahan karena mengira telah mendengar bunyi kereta, bunyi kuda, dan bunyi tentara berjumlah besar yang datang menyerang mereka, niscayalah Kota Samaria kalah karena kekurangan pangan.

Apa arti kisah itu buat kita? Nah, makanan utama mayoritas orang Indonesia adalah nasi. Tingkat konsumsi beras/nasi per kapita masyarakat Indonesia per tahun mencapai 120 kg. Konsumsi beras masyarakat Sumut lebih tinggi lagi, mencapai 139 kg per kapita per tahun. Angka ini termasuk tinggi. Bandingkan dengan konsumsi beras/nasi orang Malaysia yang di bawah 100 kilogram per tahun.

Tingkat konsumsi beras di Sumut ini cenderung meningkat. Beberapa tahun lalu hanya sekitar 125 kg per kapita per tahun. Berarti kenaikannya mencapai 10 kg per kapita. Bayangkan!

Sementara, ketersediaan beras di Sumut mulai mengkhawatirkan. Dengan kondisi seringnya anomali cuaca dan banyaknya alih fungsi lahan, jumlah produksi beras sangat fluktuatif, bahkan menurun secara bertahap.

Tak hanya Sumut, produksi padi secara nasional pun menurun. Tahun lalu mengalami penurunan 1 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, pemerintah masih mengimpor beras dari negara tetangga.

Tak perlu menunggu ada tentara luar mengepung negara ini untuk terjadinya kerawanan pangan di tanah air. Seandanya negara tetangga tak mampu atau menolak mengekspor berasnya ke negeri kita, bayangkan saja ancaman pangan yang bakal kita hadapi.

Nah, untuk mengurangi ketergantungan pada beras/nasi ini, pemerintah pun bercita-cita menurunkan tingkat konsumsi beras kita menjadi paling tidak 100 kg per kapita per tahun. Cita-cita itu ditindaklanjuti berbagai daerah dengan berbagai konsep.

Pemko Depok misalnya, memberlakukan program “one day no rice’. Satu hari tanpa nasi. Sementara Badan Ketahanan Pangan Sumut mengampanyekan konsep manggadong. Apa itu manggadong? Manggadong adalah tradisi lama etnis Tapanuli mengonsumsi ubi (biasanya ubi jalar) sebagai makanan pembuka, sebelum menikmati nasi. Dengan manggadong, konsumsi nasi tak lagi terlalu banyak.

Dulu konsep manggadong ini dikenal luas oleh masyarakat Tapanuli. Sayang, seiring dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk, ditambah selama ini ubi terposisi sebagai makanan orang miskin, manggadong perlahan dilupakan. Padahal dari sisi asupan, kandungan gizi ubi mampu menggantikan zat yang dibutuhkan tubuh dari nasi. Jika dalam sesuap nasi terkandung 150 karbohidrat, maka ubi mengandung 100 karbohidrat dalam takaran yang sama.
Namun ada yang perlu diperhatikan. Istilah manggadong terdengar agak jadul. Bisa-bisa anak muda ogah melakoninya karena terkesan tak modern. Untuk itu, istilah yang lebih menarik perlu diciptakan. Seperti pilihan Pemko Depok yang terdengar keren. One day no rice.

Kemasan manggadong juga perlu dipermanis, agar jangan terkesan sekadar makan ubi rebus/goreng seperti zaman dahulu. Di sini, ubinya bisa dijadikan kolak, bolu ubi, dan sebagainya. Pengganti nasi juga tak melulu hanya ubi. Bisa talas, jagung, labu, kentang, tahu, dan komoditi lainnya yang tersedia di sekitar kita. Karena itu, namanya tak mesti manggadong.

Jika konsep ini diterima dan dipraktikkan oleh khayalak luas, bisa menurunkan konsumsi beras minimal 1,5 persen per tahun. Dengan demikian, posisi beras sebagai the weapon yang bisa mengguncang ketahanan ekonomi kita saat ini, bertahap bisa dikurangi. Dan kita tidak lagi terpenjara oleh beras. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/