Di Olimpiade Rio tahun lalu, misalnya, dari sepuluh negara teratas, peringkat 1 dan 2-nya adalah negara yang makanan utamanya bukan nasi (Amerika Serikat dan Inggris).
Baru peringkat ketiga makan nasi (Tiongkok).
Dari lima besar, hanya Tiongkok yang banyak makan nasi.
Dari sepuluh besar, hanya Tiongkok (ke-3), Jepang (ke-6), dan Korea Selatan (ke-8) yang masyarakatnya makan nasi.
Tujuh dari sepuluh adalah negara yang makanan utamanya bukan nasi! Mereka makan karbo yang lain, tapi bukan nasi!
Padahal, seharusnya, semakin banyak penduduk, semakin besar peluang naik peringkat. Tapi, mungkin gara-gara makan nasi, asumsi ini tidak terjadi?
Dan siapa tahu, kalau mengurangi ketergantungan pada nasi, bukan hanya masalah performa olahraga yang terselesaikan. Mungkin kalau mengurangi nasi, masalah-masalah politik, korupsi, dan problem-problem mental lain di Indonesia bisa berkurang.
Wkwkwkwkwkwkwk…
Sekarang bayangkan kalau ada sebuah revolusi besar di Indonesia (lebih besar daripada revolusi mental) yang menegaskan bahwa makanan utama kita bukanlah nasi.
Ada gerakan besar perbaikan gizi yang mengubah menu utama nasi menjadi jenis karbo yang lain.
Dan tiba-tiba, Indonesia menjadi negara yang melangkah lebih maju. Ekonomi lebih baik, peringkat Olimpiade di lima besar.
Lalu, di masa depan, sejarah akan menuliskan bahwa Indonesia berubah besar karena tidak lagi menjadi negara yang menu makanan utamanya nasi!
Siapa tahu… (*)