30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ancaman

Soal ancam-mengancam biasanya selalu disertai pihak yang terancam. Menariknya, yang terancam tidak selalu menjadi objek; dia bisa berbalik. Dengan kata lain, pihak yang terancam juga bisa terancam. Begitulah, ancam-mengancam memang bisa berbahaya bagi si pengancam.

Misalnya, ketika seorang bapak mengatakan tidak akan memberikan uang jajan pada anaknya jika tidak membersihkan bak mandi, maka sang anak adalah sosok yang terancam. Tapi, di sisi lain, si anak yang sebelumnya menjadi terancam bisa berbalik mengancam. Ya, dia bisa mengatakan tidak akan membersihkan bak mandi jika tidak diberi uang jajan. Maka, sang bapak adalah pihak yang terancam bukan? Kenapa? Ya, karena jika anak itu tidak membersihkan bak, maka sang bapak akan repot.

Terus terang saja soal ancam-mengancam ini menjadi catatan saya setelah pihak tambang emas Martabe di Batangtoru Tapanuli Selatan mengatakan akan memberhentikan produksi mereka secara sementara jika terus ‘diganggu’ masyarakat sekitar. Selain itu, mereka juga mengatakan, ketika mereka berhenti berproduksi, maka ada 2 ribu karyawan dalam posisi rawan. Tak pelak, kalimat-kalimat ini menjadikan warga sekitar dan karyawan dalam posisi terancam bukan? Tidak itu saja, pemerintah setempat, dalam hal ini Tapanuli Selatan, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pun dalam posisi yang sama; terancam. Bagaimana tidak, Pemda Tapsel dan Pemprovsu mendapat saham sebanyak 5 persen dari pertambangan itu.

Bahasa sederhananya, Martabe telah banyak berbuat bagi warga dan Pemerintah Kabupaten Tapsel dan Pemrovsu. Perekonomian di sekitar lokasi tambang meningkat tajam. 70 persen karyawan mereka pun adalah warga sekitar dengan pendapatan masing-masing mencapai 4-5 juta per bulan. Jadi, ketika tambang itu tutup – meski sementara – siapa yang rugi?

“Kalau kita tutup sementara, maka nafkah mereka juga tertutup, yang rugi siapa lagi?” begitu kata Komisaris G-Resource Martabe, Anwar Nasution.
Intinya, perusahaan tambang itu seakan berada di posisi sang bapak tadi bukan? Ya, pemerintah daerah dan rakyat adalah posisi si anak. Dengan kata lain, perusahaan adalah pihak yang mengancam, sementara pemerintah dan warga adalah posisi terancam. Nah, hal itu bisa saja terbalik bukan? Ya, warga dan pemerintah bisa menjadi sosok yang mengancam. Bayangkan jika pemerintah dan warga mengatakan: silakan tutup, emang gue pikirin?

Nah, apa yang harus dilakukan pertambangan emas itu? Ayolah, membuat tambang emas tidak semurah membuat kolam ikan di halaman rumah bukan? Dibutuhkan masa yang panjang dan dana yang cukup besar. Setidaknya pihak Martabe mengklaim telah menginvestasikan dananya sebanya 1 miliar dolar. Dana itu tersebut belum termasuk dengan biaya eksploitasi, pembangunan pabrik, dan produksi  yang telah mereka lakukan selama ini. Wow! Jika begitu, siapa yang terancam?

Terserahlah, yang jelas, soal ancam-mengancam pasti ada pihak yang terancam; dia bisa merugikan yang diancam atau malah si pengancam. Bukankah begitu? (*)

Soal ancam-mengancam biasanya selalu disertai pihak yang terancam. Menariknya, yang terancam tidak selalu menjadi objek; dia bisa berbalik. Dengan kata lain, pihak yang terancam juga bisa terancam. Begitulah, ancam-mengancam memang bisa berbahaya bagi si pengancam.

Misalnya, ketika seorang bapak mengatakan tidak akan memberikan uang jajan pada anaknya jika tidak membersihkan bak mandi, maka sang anak adalah sosok yang terancam. Tapi, di sisi lain, si anak yang sebelumnya menjadi terancam bisa berbalik mengancam. Ya, dia bisa mengatakan tidak akan membersihkan bak mandi jika tidak diberi uang jajan. Maka, sang bapak adalah pihak yang terancam bukan? Kenapa? Ya, karena jika anak itu tidak membersihkan bak, maka sang bapak akan repot.

Terus terang saja soal ancam-mengancam ini menjadi catatan saya setelah pihak tambang emas Martabe di Batangtoru Tapanuli Selatan mengatakan akan memberhentikan produksi mereka secara sementara jika terus ‘diganggu’ masyarakat sekitar. Selain itu, mereka juga mengatakan, ketika mereka berhenti berproduksi, maka ada 2 ribu karyawan dalam posisi rawan. Tak pelak, kalimat-kalimat ini menjadikan warga sekitar dan karyawan dalam posisi terancam bukan? Tidak itu saja, pemerintah setempat, dalam hal ini Tapanuli Selatan, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pun dalam posisi yang sama; terancam. Bagaimana tidak, Pemda Tapsel dan Pemprovsu mendapat saham sebanyak 5 persen dari pertambangan itu.

Bahasa sederhananya, Martabe telah banyak berbuat bagi warga dan Pemerintah Kabupaten Tapsel dan Pemrovsu. Perekonomian di sekitar lokasi tambang meningkat tajam. 70 persen karyawan mereka pun adalah warga sekitar dengan pendapatan masing-masing mencapai 4-5 juta per bulan. Jadi, ketika tambang itu tutup – meski sementara – siapa yang rugi?

“Kalau kita tutup sementara, maka nafkah mereka juga tertutup, yang rugi siapa lagi?” begitu kata Komisaris G-Resource Martabe, Anwar Nasution.
Intinya, perusahaan tambang itu seakan berada di posisi sang bapak tadi bukan? Ya, pemerintah daerah dan rakyat adalah posisi si anak. Dengan kata lain, perusahaan adalah pihak yang mengancam, sementara pemerintah dan warga adalah posisi terancam. Nah, hal itu bisa saja terbalik bukan? Ya, warga dan pemerintah bisa menjadi sosok yang mengancam. Bayangkan jika pemerintah dan warga mengatakan: silakan tutup, emang gue pikirin?

Nah, apa yang harus dilakukan pertambangan emas itu? Ayolah, membuat tambang emas tidak semurah membuat kolam ikan di halaman rumah bukan? Dibutuhkan masa yang panjang dan dana yang cukup besar. Setidaknya pihak Martabe mengklaim telah menginvestasikan dananya sebanya 1 miliar dolar. Dana itu tersebut belum termasuk dengan biaya eksploitasi, pembangunan pabrik, dan produksi  yang telah mereka lakukan selama ini. Wow! Jika begitu, siapa yang terancam?

Terserahlah, yang jelas, soal ancam-mengancam pasti ada pihak yang terancam; dia bisa merugikan yang diancam atau malah si pengancam. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/