Oleh: Herdiansyah
Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Selama perburuan dan penelusuran beberapa pekan, hanya buku II yang berhasil saya temukan. Buku itu ditemukan dari seorang pensiunan Dinas Bina Marga Sumut berusia 70-an tahun. “Terima kasih,” ujar pejabat Bappeda Medan itu begitu saya serahkan bukut tersebut. Buku III MMUDP, keberadaannya tak jelas apakah berhasil ditemukan atau tidak.
Di kemudian hari drainase proyek MMUDP menjadi tak begitu penting. Perawatannya tak pernah lagi dibicarakan oleh Pemko Medan. Banyak orang telah melupakannya. Pasalnya, sejak awal 2000-an muncul beberapa megaproyek bertajuk penanggulangan banjir Kota Medan. Sebut saja kanal banjir (floodway) yang dibangun BWS II Sumatera. Megaproyek yang menghabiskan dana Rp1,5 triliun pinjaman dari JICA itu membelah kawasan Titi Kuning di Medan dan Mariendal di Deliserdang. Dibangun sepanjang lebih dari dua kilometer menghubungkan Sungai Deli dan Sungai Percut (Amplas). Namun proyek itu tetap tak membebaskan kota berpenduduk 2,8 juta ini dari banjir. Permukaan kanal dibangun di atas permukaan air Sei Deli, sehingga debit air tak bisa mengaliri kanal. Tak jelas siapa yang salah.
Pemko Medan sendiri tiap tahun mengalokasikan anggaran puluhan miliar untuk perawatan drainase. Namun proyek itu tak jelas manfaatnya, bahkan beberapa di antaranya berakhir di tangan penegak hukum. Misalnya, program penanggulangan banjir dan perawatan drainase pada 2008 sebesar Rp10,8 miliar. Proyek ini mengantarkan 21 camat se-Kota Medan dan pejabat Dinas Bina Marga berurusan dengan Kejatisu. Endingnya beberapa camat dan pejabat di Dinas Bina Marga masuk bui 2-3 tahun.
Pemko Medan melalui Dinas Bina Marga pada 2009 mengalokasikan Rp38 miliar untuk proyek pengerukan drainase. Proyek selesai dikerjakan pada akhir tahun. Namun banjir tetap saja merendam beberapa pemukiman warga. Tipikor Poldasu pun turun. Setelah disidik selama 2010-2011, terungkaplah ‘pat gulipat’ dalam proyek itu. Kepala Dinas Bina Marga dan sejumlah anak buahnya pun terjerat. Beberapa sudah divonis, sisanya masih diproses.
Meski beberapa proyek penanggulangan banjir bisa disebut sia-sia. Beberapa proyek lain tetap diupayakan Pemko Medan. Saat ini Pemko Medan tengah melakukan sosialisasi relokasi pemukiman warga di lima kelurahan di Kecamatan Medan Maimun yang berada di lembah Sungai Deli. Tarik menarik antara warga dan Pemko Medan masih alot.
Jika relokasi berhasil, ribuan Kepala Keluarga (KK) warga di Medan Maimun itu akan dipindahkan dalam satu komplek rumah susun (rusun) dengan belasan tower. Lokasinya masih di Medan Maimun juga. Dana pembangunannya berasal dari pusat dan APBD. Lalu belasan hektar eks pemukiman warga bakal dijadikan apa? Pertanyaan inilah yang tak bisa dijawab dengan ‘jujur’ oleh Pemko Medan, sehingga sebagian besar warga masih menolak relokasi tersebut.
Tak bermaksud menuding, belakangan muncul desas-desus relokasi warga di lima kelurahan itu pesanan ‘Raja Bangunan Kota Medan’. Informasi yang beredar, bos properti itu bakal menyatukan area eks pemukiman warga dengan area Bandara Polonia yang segera pindah ke Kualanamu. Rencananya, setelah warga berhasil direlokasi, proyek berikutnya adalah pelurusan Sungai Deli. Bahasa pejabat menyebutnya: Normalisasi Sungai Deli.
Alur Sungai Deli yang berkelok-kelok mulai Kelurahan Kampung Baru akan diluruskan hingga jembatan Sungai Deli di Jalan Ir H Juanda, Kelurahan Jati. Eks pemukiman warga kemudian bisa disatukan dengan sebagian area eks Bandara Polonia yang dirancang sebagai pusat bisnis di masa depan. Dokumen master plan relokasi warga dan peta pelurusan Sei Deli sempat beredar di tangan wartawan. Namun tak satupun pejabat Pemko Medan yang mengakuinya.
Musim hujan datang lagi. Banjir kembali menghantui. Ratusan proyek ada lagi. Siapa yang untung dan siapa yang buntung pun telah diprediksi. (*)