Anda sadar nggak Pemko Medan belakangan ini melimpah award? Jujur saja saya kaget lho! Ya, kaget ya, bangga juga. Award kan nggak sembarangan. Banyak kriterianya lho. Tapi yang heran kenapa kok datangnya kayak air bah ya? Sebelum menyabet ‘Adipura’, langsung disusul penghargaan ‘Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)’ dari Menteri Perdagangan RI, sebelumnya juga ada anugerah ‘Pemeringkatan e-Goverment Indonesia (PeGI)’ dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Paling mengharukan BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP) atas LKPD Kota Medan TA 2011. Seluruh prestasi ini dimulai saat Wali Kota meraih penghargaan dari Menteri Tenaga Kerja sebagai Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K-3) Tingkat Nasional Tahun 2012 di Jakarta pada 25 April lalu. Wesss sedap …
Maaf-maaf saja saya tak bermaksud mengecilkan arti penghargaan alias ‘award’ buat kota tercinta ini. Begitupun yang namanya award jangan sampai dikerdilkan pula maknanya. Terlalu banyak award tanpa menyentuh substansi sesungguhnya malah bikin beban di pundak semakin berat. Saya tak mau berpretensi lebih jauh. Memang ‘Adipura’ tampaknya target utama yang dibidik. Enam bulan terakhir kota Medan terus dirias.
Di inti kota siraman lampu warna-warni bikin mata teringat dengan arsitektur kota negeri seberang. Aksi bersih-bersih dijalankan dengan keras. Tak luput Sungai Deli pun dibuat jernih airnya. Langkah ‘revolusioner’ lain membenahi pedestrian di sejumlah kecamatan inti kota. Kerja keras ini memang patut dihargai.
Tapi tanpa bermaksud melemahkan semangat, kita semua pasti sadar pekerjaan apapun yang dikerjakan secara instan tak kurang abadi hasilnya. Bila bermaksud mengejar award untuk prestise ya, nggak ada salahnya. Alangkah baiknya bila seluruh pembenahan kota dikerjakan dalam rancangan yang lebih jangka panjang. Saya nggak tahu kenapa ketika hujan turun di sejumlah titik masih banjir juga.
Artinya masih ada yang tak beres juga dengan aliran drainase. Hingga hari ini belum sekalipun Pemko menyinggung bagian blueprint RTRW Kota Medan yang dikabarkan sempat hilang itu. Padahal penataan kota sesungguhnya ada di kertas-kertas itu. Jika itu ‘dicari’ dan dikerjakan sungguh-sungguh, kita yakin, penataan kota pasti akan lebih sustainable. Banjir tak lagi menggenangi kota. Jangankan sekali, ‘Adipura’ bisa diraih berkali-kali. Tak heboh kerja siang-malam bak kisah Roro Mendut.
Begitupun dengan Penghargaan ‘PeGI’. Saya heran saja kok bisa ya? Padahal antar kantor kelurahan di satu kecamatan saja tak terkoneksi. Pindah KTP gara-gara harus pindah kelurahan semua data masih teken sana teken sini di atas kertas. Setahu saya ya, e-government itu ya, paperless alias data kita tinggal diseberangkan pakai internet. Selain memudahkan warga, juga menghindari ‘undertable money’ yang masih jadi momok birokrasi.
Terus, soal ‘Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)’, apakah Pemko tak sadar kalau seluruh warga kota ini adalah konsumennya? Masih bejibun lho konsumennya yang kesulitan mengurus KTP, KK, dan akte lahir. Ada pula yang main pungut sana-sini. Belum lagi ‘tar sok- tar sok’ terus. ‘’Oh.. Bapak lagi rapat. Lagi ke lapangan … bla-bla-bla’’. Coba deh pak Wali sesekali nyamar jadi warga biasa terus pergi ngurus surat keterangan ke kantor lurah. Konsumen itu adalah raja cuma ada di iklan saja.
Oh ya, soal penghargaan WTP-DPP atas LKPD Kota Medan TA 2011. Jangan diabaikan temuan BPK Sumut terkait kejanggalan penggunaan biaya perjalanan SKPD dan biaya reses anggota DPRD.
Kasubag Hukum dan Humas BPK Perwakilan Sumut Mikael PH Togatorop bilang anggaran perjalanan dinas SKPD yang harus dipertanggungjawabkan ada senilai Rp2,5 miliar. Jangan lupa dikembalikan ke kas negara ya. Itu pesan BPK.
Kesimpulannya memang barangkali kita amat terlalu menikmati artifisialitas. Jangankan praktik di birokrasi, sampai-sampai demokrasi kita sekarang pun artifisial.
Kita didorong memilih pemimpin secara bertanggungjawab, yang bebas korupsi, punya visi-misi, dan kredibel. Tapi di lain pihak demokrasi itu seringkali dinodai oleh pendidikan ‘politik asalkan …’. Asalkan jangan dari agama A, asalkan jangan dari suku B. Bukankah itu demokrasi artifisial? Saya jadi curiga, jangan-jangan semua yang berbau artifisial memang begitu kita nikmati ya? (*)