Belakangan saya agak deg-degan melihat anak saya yang berusia 8, 6, dan 5 tahun. Menunggu untuk mengetahui siapa yang nurun kesukaan kakek dan ayahnya dalam membaca.
***
Mata kanan saya minus 10. Mata kiri saya minus 8. Sekarang masih pakai lensa kontak sambil menunggu saat yang pas untuk prosedur lasik.
Kenapa bisa begitu parah? Saya menyalahkan orang tua. Pertama, karena baik abah maupun ibu menurunkan gen berkacamata kepada saya. Kedua, karena sejak saya balita selalu dicekokin buku dan majalah.
Tenang, jangan sensitif menduga saya durhaka kepada orang tua. Walau dulu sering berantem dengan orang tua (khususnya abah dalam hal pekerjaan), saya tidak marah kok soal minus mata itu.
Toh, walau berkacamata tebal sejak SD, itu tidak menghalangi hobi-hobi saya main sepak bola, bulu tangkis, dan lain sebagainya.
Tapi, memang sejak balita saya dicekokin bacaan. Karena keluarga memang berkecimpung di industri media, selalu ada majalah atau koran di rumah. Ada foto unik (sekarang entah di mana), saya berumur belum empat tahun sedang membalik-balik halaman majalah Tempo. Rasanya, dulu usia empat tahun saya memang sudah bisa membaca.
Ketika SD, saya sering diberi uang Rp10 ribu. Kadang naik angkot, kadang diantar orang kantor, saya pergi ke Jalan Semarang, semacam pusat buku bekas di Surabaya.
Waktu itu nilai Rp 10 ribu tersebut besar sekali. Kalau kebetulan pas, uang segitu bisa membantu saya membawa pulang hingga 40 buku dan/atau komik.
Kadang tidak ke Jalan Semarang. Sering juga ke toko komik terkenal dulu di Jalan Jagalan atau Praban, beli komik-komik Indonesia karya Hasmi, Wid N.S., Djair, dan lain sebagainya.
Kadang juga inves lebih mahal, pergi ke toko buku Sari Agung di Jalan Tunjungan, beli buku baru Trio Detektif, Lima Sekawan, The Hardy Boys, Nancy Drew, atau buku-buku top Indonesia seperti Sersan Grung-Grung-nya Dwianto Setyawan.
Ketika kehabisan buku untuk dibeli, merembet ke bacaan yang lebih dewasa. Di kelas dua SD, saya mulai baca karya Agatha Christie, bahkan Sidney Sheldon.
Saya termasuk pembaca cepat. Satu buku Lima Sekawan bisa tamat dalam waktu sekitar dua jam.
Sssttt, jangan bilang orang tua saya ya, kadang waktu masih kelas satu SD dulu beli komik-komik yang kadang ada gambar orang kurang sopannya. Hihihihi…
Kelas empat SD, saya mulai dicekoki bacaan lebih berat. Mulai berburu buku-buku sastra Indonesia lama seperti karya Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan lain-lain. Karena beli di pasar buku bekas, kadang dapat edisi luar biasa, terbitan zaman dahulu kala dengan ejaan Indonesia lama.
Saat itu hobi membaca mulai diimbangi dengan entertainment lain. Karena keluarga mulai punya uang, akhirnya beli Atari, lalu Nintendo. Jadi tidak melulu baca, diimbangi dengan main game. Kelas enam SD juga mulai beli mainan. Hehehe…
Dan saya bersyukur karena keluarga saya tidak kolot memaksa saya untuk terus belajar dan belajar. Buktinya, walau saat ebtanas (sekarang unas) SD setiap hari saya main Nintendo (Contra –atas-atas-bawah-bawah-kiri-kanan-kiri-kanan-select-start, ada yang ingat?), nilai ebtanas saya ranking tiga di sekolah.
Kasihan teman-teman saya yang belajarnya kebanyakan. Banyak yang justru menangis karena nilainya jeblok…
Sekarang saya sudah tidak punya banyak waktu untuk baca buku (di toilet tidak bisa duduk berjam-jam, mau tidur sudah mengantuk, dan kalau naik pesawat paling 1–2 jam kalau domestik).
Meski demikian, sesekali masih berusaha baca buku. Belakangan baca buku-buku cycling yang seru seperti The Secret Race, oleh Tyler Hamilton.
Karena tidak bisa banyak baca buku, yang banyak baca majalah. Seminggu bisa 6–10 majalah (serius). Menyempatkan juga baca berita-berita Formula 1, basket, atau cycling via online.
Sambil makan, biasanya selalu ada bacaan di samping saya…