Oleh : Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos
Seno Gumira Ajidarma sempat berkata: ketika berita tak lagi bisa bicara, maka sastralah yang bicara. Dengan kata lain, ketika berita semakin diperkosa, banyak sensor, hingga pembatasan yang berlebihan, maka fiksi bisa mewakili. Masalahnya, siapa yang masih membaca sastra di zaman sekarang?n
Sejatinya, apa yang diungkapkan penulis yang akrab dipanggil Mira itu cukup menarik. Bagaimana tidak, sebagai jurnalis, Seno tampaknya terkukung dengan sekian kepentingan perusahaan, pemerintah, dan sebagainya.
Nah, ketika mengalami kukungan itu, Seno mengubah fakta di lapangan yang tidak bisa dia sampaikan melalui medianya. Dia pun menulis sastra. Atas nama fiksi, maka dia terbebas. Dia bisa menyamarkan fakta sedemikian rupa. Dia pun aman dari delik.
Kalimat tadi dia keluarkan setelah meluncurkan buku Saksi Mata. Buku yang berisikan cerita tentang kejadian di Timor Timur yang kini menjadi negara bernama Timor Leste. Tapi, siapa petinggi negara ini yang baca kasus-kasus di Timor Timur dalam Saksi Mata?
Bukan maksud merendahkan Seno – penulis ini dianggap sebagai sastrawan terkemuka di Indonesia – tapi sejauh mana negara ini peduli dengan sastra? Kasus Seno ini mirip dengan sengketa tanah yang makin marak di Sumatera Utara. Ya, ketika hukum tak lagi bisa menyelesaikan, maka aksi massa adalah jawabannya. Karena itu, di Padang Lawas Utara sudah ada pembakaran, di Binjai sekian kelompok mulai bertikai, Deliserdang pun sudah memakan korban. Bahkan, seorang anggota dewan memprediksi akan ada aksi yang lebih mengerikan pada Maret mendatang.
Memang, soal tanah sejatinya adalah kasus klasik. Sejak zaman Belanda kasus ini sudah terjadi. Bagaimana tidak, perusahaan Belanda menyewa tanah dari kerajaan di kawasan Sumatera Utara ini dengan status yang tak jelas. Maksudnya, benarkah tanah yang disewanya itu milik sultan atau sekadar klaim dari sultan? Sitor Situmorang menulis dalam Toba Na Sae: tanah-tanah di Toba dicaplok perusahaan Belanda dengan izin dari sultan tanpa mereka tahu. Pun, ketika jalan menuju Toba dibuka hingga Danau Toba didinamit yang menenggelamkan beberapa huta agar permukaan air lebih tinggi dan menjadikan Samosir sebuah pulau, adakah warga Toba diikutsertakan? Ayolah, sejak kapan kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Utara ini menguasai Toba? Pintu gerbang Toba menuju dunia luar itu terletak di pantai barat Sumatera. Dari Kota Pelabuhan Barus yang terkenal di zamannya itulah warga Toba mengenal dunia luar, bukan melalui Selat Malaka. Jalan menuju pantai timur Sumatera pun baru akrab setelah Modligiani yang ditemani Somalaing Pardede mencari hilir Danau Toba.
Tapi, sudahlah. Saat ini, persis dengan kalimat Seno, masyarakat mulai mencari jalan lain agar kasus tanah cepat selesai. Hukum bukan lagi payung yang bisa meneduhkan mereka. Aksi anarkis dipilih bukan karena ingin, tapi jalan hukum seakan tertutup. Lihatlah Mesuji atau Bima, adakah hal itu terulang di Sumatera Utara?
Ya, kembali seperti Seno, siapakah petinggi di provinsi ini yang mau melihat aksi mereka? Dalam arti, melihat dan langsung mencari pemecahan. Memang, tim telah dibentuk setelah ada pertemuan di Mapoldasu tempo hari, tapi sejauh mana mereka melihat kasus tanah yang rawan konflik itu? Cukupkan sekadar mendata?
Peduli mungkin menjadi kata yang tepat bagi sekian kalimat yang telah dikeluarkan para petinggi. Tentunya ‘peduli’ dalam arti yang sesungguhnya; bukan seperti kata ‘kebijakan’ yang maknanya sudah mulai ambigu. Tentu peduli pada pemilik tanah yang sebenarnya. Namun, siapa pemilik sebenarnya tanah yang disengketa itu? Ah, pertanyaan inilah yang sulit dijawab. Masing-masing punya klaim; masing-masing punya kekuatan; dan masing-masing tak mau disalahkan. (*)