Setiap orang punya anugerah dari Tuhan. Ada yang bisa lari kencang, bersepeda sangat cepat, melukis dengan indah, menyanyi menggetarkan jiwa, dan lain sebagainya.
Saya? Ada satu yang saya harus beri ucapan terima kasih khusus: Kemampuan melewati ujian dengan baik. Bukan masalah rajin belajar, bukan hanya masalah menyontek. Entah mengapa, dari kecil memang ujian tidak pernah terlalu membuat saya pusing.
Tentu saja, ujian zaman sekarang tidak sepenuhnya seperti dulu. Trik-trik masa lalu belum tentu bisa menolong menghadapi ujian zaman sekarang.
Tapi, saya yakin, semua orang pernah punya trik menghadapi ujian. Khususnya ketika “tidak sempat” (atau tidak mau) belajar. Tidak peduli di negara mana pun Anda sekolah/kuliah, saya yakin kurang lebih sama.
Oke, mungkin ada satu atau dua orang yang saat sekolah benar-benar rajin. Tidak pernah sekali pun menyontek, selalu rajin belajar. Saya juga punya teman seperti itu dulu.
Sekarang jadi apa dia? Entah, hahahaha.
Terus terang, saya tidak termasuk yang itu. Sekolah saya “sukses” karena 60 persen belajar, 20 persen menyontek, dan 20 persen keberuntungan.
Persentase terbesar, tentu harus belajar. Namanya saja sekolah. Waktu kuliah, saya selalu berusaha tidak bolos. Selalu berusaha bawa buku catatan. Selalu berusaha membaca semua buku teks.
Walau kadang bolos, kadang minta kertas dan pinjem pulpen dari teman, dan kadang lupa bawa buku. Dan kadang ketika seharusnya mencatat, saya malah menulis cerita pendek atau puisi. Wkwkwkwk.
Maklum, masa kuliah saya rada nge-punk. Sering celana pendek atau jins bolong-bolong, rambut diwarna-warni, dan telinga bertindik.
Untung saya punya orangtua yang berani “melepas” dan jarang melarang, walau mungkin sering deg-degan dan mengelus dada.
Untung pula, saya lumayan pintar (atau hoki?) memilih dosen mata pelajaran yang wajib diikuti.
Ada dosen yang selalu mengizinkan kami membuka buku (open book) saat ujian. Alasannya sangat-sangat logis: Dalam kehidupan nyata, kita boleh membuka buku!
Toh, untuk bisa mencari jawaban, kita harus pernah membaca bukunya, dan tahu persis di bab mana harus mencari jawabannya.
Kalau tidak pernah baca bukunya yang tebal-tebal, waktu ujian tidak akan cukup untuk menemukan jawaban dari semua soal yang disajikan.
Kadang, saya dan teman-teman juga beruntung. Menemukan soal atau jawaban dari ujian yang segera dihadapi. Mungkin urutan soalnya tidak sama, bahkan diacak. Tapi, itu modal yang baik.
Meski demikian, soal apa pun yang kami dapat, tetap harus dibaca dan dipelajari jawabannya. Just in case urutannya diacak lebih ruwet dari perkiraan.
Dan kalau sudah begitu, kami punya kesepakatan serius: Jangan sampai dapat nilai sempurna (100). Cukup maksimal 91 atau 93. Atau bahkan 87 (setara B+) saja cukup. Nanti nilai keseluruhan bisa didongkrak menjadi A dengan mengerjakan extra-credit (tugas tambahan).
Tujuannya bukan hanya supaya tidak mencolok. Tapi juga memberi kesempatan kepada adik-adik kelas, atau teman-teman yang mengambil kelas selanjutnya, untuk mendapatkan peluang yang sama.
Asas tidak serakah. Plus asas keadilan, wkwkwkwkwk.
Pernah, ada anak dari Hongkong, terus mendapatkan nilai 100. Alhasil, sang dosen mengubah total ujian-ujian selanjutnya. Membuat kami semua supersebal karena harus benar-benar belajar beneran.
Pernah juga ada teman yang tidak mau belajar beneran, minta saya menuliskan jawaban multiple choice (A, B, C, atau D) di selembar kertas.
Ternyata, dia malah dapat nilai 57. Usut punya usut, urutan jawaban saya tulis ke kanan, dalam sepuluh baris ke bawah. Saat ujian, dia membaca urutannya ke bawah.
Tuh kan, kalau tidak belajar, menyontek justru bisa menjebak!
***
Hampir semua mungkin pernah desperate.
Misalnya, saat menghadapi ujian, kepala benar-benar blank tidak bisa menemukan jawaban.
Kalau sudah begitu, jangan terlalu ambil pusing. Mau kita pelototi itu soal ujian sampai tujuh hari tujuh malam, jawaban tidak akan ketemu kalau kita memang tidak bisa. Apalagi kalau cuma punya waktu satu jam. Jadi, ya selesaikan saja apa yang bisa diselesaikan, setelah itu improvisasi.
Kalau soal esai, ya dikarang saja jawabannya selogis kita bisa. Mungkin tidak bisa dapat nilai penuh, tapi yang penting ada poinnya. Ini strategi minimizing the damage.
Kalau multiple choice, saya lihat saja jawaban di sekeliling soal yang buntu itu. Kalau terlalu banyak C, maka tidak mungkin C. Kalau sampai soal itu masih jarang B, mungkin jawabannya B. Ini strategi hukum probabilitas, hahahaha.
Kadang-kadang, kita mungkin merasa tidak percaya diri menghadapi ujian yang jatuh pada keesokan hari. Mau baca catatan dan buku teks sepuluh kali, mungkin tetap tidak percaya diri.
Menghadapi ini, ada yang pernah menganjurkan belajar sistem osmosis. Taruh buku teks atau catatan di bawah bantal saat tidur, kemudian biarkan jawaban “meresap” ke kepala kita saat tidur.
Efektif atau tidak? Entahlah. Tapi, saya lakukan saja. Toh, tidak ada ruginya. Kalau berhasil, ya bagus. Kalau tidak, ya tidak masalah, kan?
***
Kadang kita sudah belajar maksimal. Kadang kita sudah berniat mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Dan kadang, kita benar-benar diberi mukjizat oleh Tuhan.
Pernah suatu waktu, saya mengerjakan tugas akhir kelas Business English sampai pagi pukul 04.00. Bukan karena rajin kok. Ini karena salah saya sendiri mencoba mengerjakan tugas 30 halaman dengan sistem kebut semalam.
Tidak lama setelah tugas itu selesai dikerjakan, saya tertidur. Baru bangun pukul 11, padahal tugas sudah harus dikumpulkan pukul 9 pagi. Dan itu adalah hari terakhir semester!
Masih pakai kaus putih polos dan celana boxer, saya lari keluar apartemen. Ada teman sesama anak Indonesia saya minta ngebut mengantarkan saya ke kampus.
Sesampai di kampus, suasana begitu sepi. Pintu gedung tempat kelas saya berada dikunci. Gedung administrasi juga sepi.
Saya coba telepon nomor kampus, ternyata ada pemberitahuan: Karena hujan badai begitu keras tadi pagi, maka kampus hari itu ditutup dengan alasan keselamatan. Segala tugas dan kewajiban bisa disusulkan.
Terima kasih Tuhan.
***
Saya yakin Anda juga punya cerita seru menghadapi ujian. Bahkan mungkin jauh lebih seru daripada cerita-cerita saya di atas.
Saya mungkin bukan pelajar paling jujur, tapi saya juga yakin banyak yang lebih parah dari saya, hehehe… Dan pelajar yang lebih jujur juga belum tentu lebih baik dari saya, hehehe…
Pembagian 60 persen belajar, 20 persen nyontek, dan 20 persen keberuntungan, menurut saya, termasuk paling balance. Dan paling aplikatif untuk menghadapi kehidupan nyata, yang jauh lebih penting dan menantang dari dunia sekolah/perkuliahan.
Coba pikirkan:
Seratus persen belajar belum tentu sukses.
Seratus persen menyontek tentu bukan hal yang baik.
Dan siapa orang hidup 100 persen mengandalkan keberuntungan. (*)
CATATAN TAMBAHAN PENULIS: Tulisan ini tidak bermaksud mengajari orang untuk menyontek. Kalau Anda menganggap demikian, tolong baca lagi dari atas. Kalau belum paham juga, tolong baca lagi dari atas. Happy Wednesday!