Perhelatan olahraga terakbar di tanah air, PON XVIII Riau, malam nanti resmi ditutup. Seremoni penutupan di Stadion Utama Riau, seperti disampaikan penyelenggara, akan bertabur bintang-bintang papan atas tanah air.
Tidak saja bertabur sinar laser dan pesta kembang api, helat ini juga dijanjikan akan sangat menghibur. Banyak cerita yang mengiringi perjalanan helat empat tahunan, 9-20 September ini. Namun, bila mau jujur, garis besar cerita-cerita tersebut hanya dua saja, positif dan negatif. Biasalah, di mana-mana dan apapun bentuk helat yang dibuat pastilah dua sisi cerita ini akan muncul. Sisi positif merupakan bagian yang perlu dipertahankan, sementara sisi negatif perlu dievaluasi untuk perbaikan.
Awal pelaksanaan multiiven ini, Riau sebagai tuan rumah nampak begitu gamang. Sorotan negatif datang dari mana-mana, tak terkecuali dari media nasional cetak maupun elektronik, yang seperti tidak memberi ruang buat daerah berjuluk Bumi Lancang Kuning ini menghela nafas. Citra yang muncul ke permukaan banyak sisi negatif, seolah-olah di PON Riau yang ada hanya jeleknya saja.
Namun, begitu seremoni pembukaan dihelat, 11 September malam oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pandangan negatif itu perlahan mulai hilang. Bahkan, beberapa hari PON berjalan malah pujian yang disampaikan sejumlah atlet dan ofisial dari berbagai provinsi. Sebut saja venue wushu dan squash di komplek Sport Center Rumbai, venue sepatu roda di Siak, GOR Tribuana pasca renovasi, venue softbal di Unilak Rumbai, lapangan panahan di UIR dan banyak lagi venues yang mendapat pujian dari sejumlah kontingen.
‘’Bagus sekali, karena untuk standar gedung beladiri di Indonesia, ini sudah sangat bagus,’’ kata Technical Delegate (TD) Wushu, Iwan Kwok. Atau pengakuan I Nyoman Budiana dari TD Panahan.
‘’Yang ada sekarang, bisa dibilang terbaik se-Asia Tenggara. Dengan luas lapangan yang ada serta fasilitas pendukung serta kelengkapan, ini sangat bagus,’’ katanya.(Riau Pos, 18 September).
Tak terkecuali semangat juang dari seluruh atlet 33 provinsi, patut pula diberikan apresiasi. Ya, semangat untuk meraih prestasi terbaik demi mengharumkan nama provinsi masing-masing.
Walau ada protes yang sempat pula berujung keributan kecil di beberapa cabang olahraga, sepertinya sudah menjadi hal biasa olahraga tanah air, dan hendaknya dijadikan dasar evaluasi di masa mendatang. Di perolehan medali sementara, pertarungan ketat untuk menjadi siapa juara umum terjadi antara empat provinsi Jawa yang selama ini memang menjadi barometer pembinaan olahraga di tanah air, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Jika di PON sebelumnya gelar juara umum sudah bisa ditentukan beberapa hari sebelum PON usai, kini pertarungan terjadi sangat ketat hingga hari terakhir. Dari luar Jawa, Kalimantan Timur dan tuan rumah Riau memperlihatkan perkembangan yang signifikan.
Nah, cerita PON XVIII Riau akan berakhir. Tapi sekecil apapun itu sudah pasti akan terus dikenang. Kenanglah PON Riau dari sisi baiknya saja, dan bawalah itu pulang ke provinsi masing-masing. Biarlah sisi kurangnya tinggal di Riau, untuk ke depan terus disempurnakan.
Karena memang, ‘’tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna’’. Syabas Riau, dan sampai jumpa di PON XIX Jawa Barat, tahun 2016.***