Oleh: Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Bertahan selama 25 tahun, mendadak pada pekan kedua Maret baru lalu, muncul ide penyatuan zona waktu WIB, WITA, dan WIT.
Usulan itu datang dari Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Menurut mereka, sebaiknya satu negara memiliki sesedikit mungkin zona waktu, untuk kemudahan administrasi, akomodasi, dll.
KP2EI ingin meniru penyatuan zona waktu di berbagai negara. Contohnya China yang membentang sebegitu panjang, tetapi hanya punya 1 zona waktu dan terbukti memberi keuntungan ekonomis. Semenanjung Malaysia dan Sabah Serawak di Pulau Kalimantan juga memilih menyamakan zona waktu, meski tidak satu zona. Kemudian, Malaysia dan Singapura menyamakan zona waktu dengan Hongkong, padahal seharusnya berbeda. Hasilnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut.
Ide penyatuan waktu oleh KP3EI ini pun mendapat sambutan pro kontra. Kalangan yang pro percaya, jika zona waktu Indonesia digabungkan, banyak hal yang diuntungkan. Contohnya, jam kerja di seluruh wilayah di Indonesia akan sama, sehingga produktivitas serta efektivitas kerja meningkat.
Ilustrasinya begini, selama ini pegawai di wilayah timur Indonesia baru efektif bekerja pada pukul 10.00 WIT. Soalnya, mereka menunggu rekan di wilayah barat yang baru mulai buka pintu kantor pada saat sama (08.00 WIB). Urusan perbankan juga kurang efektif. Pukul 5 sore Indonesia Timur sudah menghentikan kegiatan, tapi di wilayah Barat masih pukul 3, dan sedang giat-giatnya. Akibatnya Timur menunggu hingga jam 7-8 malam.
Karena itulah, muncul usulan penyatuan waktu tadi. Diusulkan, Indonesia menggunakan GMT +8, yakni zona waktu yang sama dengan Singapura, Hongkong, Taipei serta Manila. Dengan samanya ruang waktu, masyarakat di kawasan tengah dan timur Indonesia bisa mempunyai ruang transaksi yang lebih banyak untuk bertransaksi dengan masyarakat di kawasan barat Indonesia, juga Singapura, Hong Kong, dan sejumlah negara lainnya.
Salah satu manfaat yang jelas antara lain perdagangan di Bursa Efek Indonesia dan Bursa Komoditi Berjangka Indonesia akan lebih cepat dibuka dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Ini diharapkan akan menambah transaksi perdagangan mencapai Rp500 miliar sehari atau Rp20 triliun dalam setahun.
Namun kalangan yang kontra dengan ide penyatuan zona waktu ini, juga tak mau kalah. Menurut yang kontra, pembagian waktu di Indonesia sekarang sudah tepat secara internasional. Posisi Indonesia ada di 95 hingga 141 derajat garis bujur timur. Artinya zona waktunya terbagi tiga. Karena itu, ide penggabungan zona waktu di tanah air dianggap kurang tepat. Setidaknya, harus dikaji lebih mendalam.
“Jika disesuaikan jam standar, maka WIB akan dipaksakan bekerja lebih awal, sedangkan WIT lebih pagi,” kata yang kontra. Risikonya, waktu produktif masyarakat tak sesuai dengan aktivitas matahari, terutama bagi yang terbiasa dengan jam matahari.
Perubahan waktu juga dianggap bisa membuat catatan sejarah menjadi membingungkan, dan memicu sakit kepala dalam penanganan sejumlah kasus hukum. Kesehatan masyarakat dan kestabilan ritme biologis bisa kacau. Masyarakat sudah terbiasa beraktivitas dengan ritme ‘jam matahari’. Tentu tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun itu.
Jadi, bagaimana? Didukung atau ditolakkah ide penyatuan zona waktu ini?
Hemat penulis, sebuah perubahan wajar menimbulkan reaksi karena butuh adaptasi. Tetapi kita tak mesti langsung bereaksi menolak sebuah perubahan sebelum kita merasakan baik buruknya. Dan sebenarnya, dalam praktik hidup manusia, aktivitas tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan semu matahari (yang mengatur jam), tetapi oleh angka psikologis yang menjadi kebiasaan selama ini.
Dipercaya, faktor sugesti nantinya akan terasa ketika penyatuan jam ini sudah dilaksanakan. Jika selama ini makan siang jam 1, maka ketika zona waktu telah disatukan, rasa lapar akan sudah terasa saat masuk jam 1, bukan di jam 2 yang seharusnya pada saat jam lama.
Contoh nyata, jika biasanya seseorang makan siang jam 1, maka tidak peduli berada di Australia yang beda + 4 jam, atau di Eropa yang – 6jam, maka makan siangnya akan tetap jam 1. Di hari-hari pertama sih ada kekacauan tubuh (itu yang disebut dengan jet lag), tetapi setelah itu tubuh akan cepat melakukan penyesuaian.
Juga dipercaya, setelah penyatuan zona waktu ini berjalan 1 minggu, orang akan menjadi terbiasa.
Terakhir, untuk diingat, penentuan perbedaan 1 jam untuk setiap lintang 15 derajat adalah juga penyederhanaan. Karena bisa saja setiap lintang 7.5 derajat berbeda 30 menit, sehingga Indonesia terbagi dalam 6 wilayah. Atau lebih ekstrimnya setiap lintang 3.75 adalah perbedaan 15 menit, dan seterusnya.
Nah yang sekarang mau dilaksanakan adalah penyederhanaan yang lebih besar lagi, yakni bujur 45 derajat menjadi 1 jam.
Keputusan mengenai pembagian zona waktu di Indonesia, memang adalah keputusan politik, bukan keputusan ilmiah. Keputusan ini bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan, bila akan menghasilkan suatu hal yang lebih baik dari sebelumnya. (*)