27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Yang Terdengar hanya Suara Ayam dan Burung Liar

Melihat Perayaan Nyepi di Sumatera Utara

Bali. Tentunya nama ini tak asing lagi di telinga. Di Kabupaten Langkat, ternyata terdapat Kampung Bali, yang budayanya masih kental dengan budaya Bali yang sesungguhnya. Seperti apa warga di sana merayakan Hari Nyepi?

Hamdani-Jhonson-Darmawan, Langkat, Medan, Sergai

Kampung Bali ini letaknya tepat di Desa Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu, Kabupaten Langkat. Untuk menuju ke Kampung Bali ini, jarak yang ditempuh dari Kota Binjai sekitar 30 km.

Dengan menggunakan sepeda motor dan melalui jalan berbatu serta terjal, Sumut Pos yang berangkat sekitar pukul 09.30 WIB, akhirnya tiba di Kampung Bali sekitar 12.00 WIB. Sebelum masuk ke lokasi perkampungan itu, terlihat dua gapura yang ukirannya khas dengan bangunan umat Hindu Bali. Bahkan, bunga-bunga bekas sesajen umat Hindu Bali saat melaksanakan sembayang Hari Raya Nyepi masih terlihat di depan gapura.

Melihat hal tersebut, hati serasa tak sabar untuk segera melihat perkampungan Bali itu. Berjarak sekitar 100 meter dari gapura, akhirnya Sumut Pos sampai di Kampung Bali. Namun, saat berada di lokasi pemukiman umat Hindu Bali tersebut, tidak ada terlihat aktivitas, yang terdengar hanya suara hewan peliharan seperti ayam dan suara burung liar.

Karena suasana sangat hening, Sumut Pos keliling sejenak di perkampungan itu untuk mencari seseorang agar dapat memandu. Setelah beberapa menit mencari warga setempat, barulah Sumut Pos bertemu dengan seorang pemuda bernama Ketut Budiman yang hendak keluar dari rumah untuk berkunjung ke rumah tetangganya. Ketika pertama kali bertemu, pemuda itu menyambut dengan ramah, seakan sudah berkenalan lama.
Bahkan, pemuda itu bersedia untuk memandu Sumut Pos untuk berkeliling di Kampung Bali tersebut. Sambil berjalan kaki, Sumut Pos berbincang dengan pemuda itu terkait kegiatan yang dilakukan oleh warga saat Hari Raya Nyepi. Menurut Ketut, umat Hindu Bali sudah melakukan ritual atau sembayang untuk menyambut Nyepi yang dilaksanakan, Kamis (22/3) pukul 16.00 WIB.

Selama perjalanan menuju rumah kepala dusun, Ketut mengungkapkan, ketika melakukan sembayang, ratusan umat Hindu Bali keluar rumah dan berkumpul di pura. “Sembayang menggunakan sesajen itu dilakukan untuk meminta kepada Tuhan agar umat Hindu dijauhkan dari bencana. Ritual ini, tetap berlangsung esok harinya, itu dilakukan secara pribadi di depan rumahnya,” ujar Ketut.

Selain itu, setelah sembayang Nyepi, umat Hindu Bali tetap melanjutkan ibadah dengan berpuasa. “Puasa yang dilakukan sebagai wujud syukur umat kepada Tuhan. Puasa tersebut dilakukan sejak pukul 18.00 WIB hingga esok harinya pukul 18.00 WIB. Adapula yang berpuasa sejak pukul 24.00 hingga esok harinya Pukul 24.00 WIB, yang jelas berpuasa selama 24 jam penuh,” jelas Ketut.

Maka dari itu, kata Ketut, setelah Nyepi tiba, susana juga ikut sepi. Karena, umat Hindu juga menghentikan segala aktivitas dengan berdiam diri di dalam rumah untuk merenungi segala hidup sembari berdoa agar diberikan rezeki dan kesehatan. “Berpuasa itu diwajibkan bagi semua umat Hindu, tak terkecuali bagi anak-anak yang berusia 7 tahun,” ucapnya.

Setelah panjang lebar berbincang dengan Ketut, Sumut Pos diantar ke pura kecil hingga ke pura yang besar. Di sana juga tampak sesajen yang ditaruh di Padmasana atau tempat duduk Tuhan. Setelah melihat beberapa bekas ritual umat Hindu Bali itu, Ketut membawa Sumut Pos keliling di wilayah Kampung Bali. Selama perjalanan tersebut tampak di depan rumah-rumah warga bunga-bunga dan bercampur buah kelapa kuning
Selanjutnya, Sumut Pos dibawa ke rumah Kepala Dusun, Nyoman Sumandro. Di sana, Sumut Pos dijelaskan, terkait asal muasal Kampung Bali di Kabupaten Langkat tersebut. Menurut Nyoman Sumandro, Kampung Bali pertama kali berdiri di Langkat sekitar tahun 1970. Ketika itu, Sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK) dari Bali, dikontrak untuk mengelola sebuah kebun di daerah Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

“Kontrak itu dilakukan hanya selama 6 tahun. Ketika masa kontrak sudah mulai berakhir, para orangtua kami berpikir mau tinggal di mana. Akhirnya, dicarilah lahan kosong yang disebut sebagai Tanah Negara Bebas (TNB). Sehingga, ditemukanlah tempat ini dan sekarang terus berkembang,” jelas Nyoman Sumandro.

Setelah kampung ini berkembang, sambungnya jumlah penduduknya juga semakin banyak. Sehingga, sebahagian penduduknya memilih untuk meninggalkan Kampung Bali tersebut. “Sekarang ini sudah ada 40-an KK, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Kalau warga yang lain tidak berangkat dari kampung ini, saya rasa lebih banyak lagi. Mereka pergi karena areal pemukiman di sini dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah pennduduk jika terlalu banyak,” ungkapnya, seraya menambahkan, warga yang pergi ada yang kembali ke Bali dan juga memilih ke Pekanbaru, Riau.

Kalau dahulu, kenang Sumandro, Kampung Bali masih terlihat asri. “Dulu belum ada pura seperti saat ini. Orangtua kami sembahyang dengan pura yang dibuat dengan daun dedep yang dipancang dengan empat sudut. Semakin berkembangnya zaman, pada 1976 pura baru dibangun,” terangnya, seraya menambahkan, ketika raya Nyepi tiba, keluarga dari Kuta Bali sering datang berkunjung ke kampung mereka.

Suasana di Kampung Bali Langkat tak jauh berbeda dengan warga keturunan Bali di Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Serdang Bedagai (Sergai). Umat Hindu Bali di desa itu terlihat berdiam di rumah tanpa ada melakukan aktivitas apa pun.

Pemangku adat Pura Bali I Wayan Gio (65) yang sempat ditemui Sumut Pos hanya mengatakan Nyepi ini semua umat Hindu Bali memang berdiam di rumah. Keterangan I Wayan Gio didukung Pendeta Pura Agung Reksa Buana, Jalan Polonia, Medan Polonia, Jero Mangku I Wayan Sukantra. Dia mengatakan, Hari Raya Nyepi ini dilakukan sesuai dengan 4 rangkaian Hari Raya Nyepi yaitu Melis atau Melastri, Taur Keseng, Nyepi, dan Ngemak Geni. “Pada rangkaian ke-3 yaitu Nyepi inilah kita semua umat Hindu tidak boleh melakukan kegiatan apapun selama 24 jam atau 36 jam penuh. Melaksanakan Hari Raya Nyepi ini berarti melaksanakan Catur Brata Penyepian,” katanya.

“Ada 4 hal di dalam perayaan Hari Raya Nyepi yang tidak boleh dilakukan yakni menyalakan api (Amati Geni), bepergian berpergian (Amati Lelungan), foya-foya atau bersenang-senang (Amati Lelaungaun), dan bekerja  (Amati Karya),” tambahnya. (*)

Melihat Perayaan Nyepi di Sumatera Utara

Bali. Tentunya nama ini tak asing lagi di telinga. Di Kabupaten Langkat, ternyata terdapat Kampung Bali, yang budayanya masih kental dengan budaya Bali yang sesungguhnya. Seperti apa warga di sana merayakan Hari Nyepi?

Hamdani-Jhonson-Darmawan, Langkat, Medan, Sergai

Kampung Bali ini letaknya tepat di Desa Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu, Kabupaten Langkat. Untuk menuju ke Kampung Bali ini, jarak yang ditempuh dari Kota Binjai sekitar 30 km.

Dengan menggunakan sepeda motor dan melalui jalan berbatu serta terjal, Sumut Pos yang berangkat sekitar pukul 09.30 WIB, akhirnya tiba di Kampung Bali sekitar 12.00 WIB. Sebelum masuk ke lokasi perkampungan itu, terlihat dua gapura yang ukirannya khas dengan bangunan umat Hindu Bali. Bahkan, bunga-bunga bekas sesajen umat Hindu Bali saat melaksanakan sembayang Hari Raya Nyepi masih terlihat di depan gapura.

Melihat hal tersebut, hati serasa tak sabar untuk segera melihat perkampungan Bali itu. Berjarak sekitar 100 meter dari gapura, akhirnya Sumut Pos sampai di Kampung Bali. Namun, saat berada di lokasi pemukiman umat Hindu Bali tersebut, tidak ada terlihat aktivitas, yang terdengar hanya suara hewan peliharan seperti ayam dan suara burung liar.

Karena suasana sangat hening, Sumut Pos keliling sejenak di perkampungan itu untuk mencari seseorang agar dapat memandu. Setelah beberapa menit mencari warga setempat, barulah Sumut Pos bertemu dengan seorang pemuda bernama Ketut Budiman yang hendak keluar dari rumah untuk berkunjung ke rumah tetangganya. Ketika pertama kali bertemu, pemuda itu menyambut dengan ramah, seakan sudah berkenalan lama.
Bahkan, pemuda itu bersedia untuk memandu Sumut Pos untuk berkeliling di Kampung Bali tersebut. Sambil berjalan kaki, Sumut Pos berbincang dengan pemuda itu terkait kegiatan yang dilakukan oleh warga saat Hari Raya Nyepi. Menurut Ketut, umat Hindu Bali sudah melakukan ritual atau sembayang untuk menyambut Nyepi yang dilaksanakan, Kamis (22/3) pukul 16.00 WIB.

Selama perjalanan menuju rumah kepala dusun, Ketut mengungkapkan, ketika melakukan sembayang, ratusan umat Hindu Bali keluar rumah dan berkumpul di pura. “Sembayang menggunakan sesajen itu dilakukan untuk meminta kepada Tuhan agar umat Hindu dijauhkan dari bencana. Ritual ini, tetap berlangsung esok harinya, itu dilakukan secara pribadi di depan rumahnya,” ujar Ketut.

Selain itu, setelah sembayang Nyepi, umat Hindu Bali tetap melanjutkan ibadah dengan berpuasa. “Puasa yang dilakukan sebagai wujud syukur umat kepada Tuhan. Puasa tersebut dilakukan sejak pukul 18.00 WIB hingga esok harinya pukul 18.00 WIB. Adapula yang berpuasa sejak pukul 24.00 hingga esok harinya Pukul 24.00 WIB, yang jelas berpuasa selama 24 jam penuh,” jelas Ketut.

Maka dari itu, kata Ketut, setelah Nyepi tiba, susana juga ikut sepi. Karena, umat Hindu juga menghentikan segala aktivitas dengan berdiam diri di dalam rumah untuk merenungi segala hidup sembari berdoa agar diberikan rezeki dan kesehatan. “Berpuasa itu diwajibkan bagi semua umat Hindu, tak terkecuali bagi anak-anak yang berusia 7 tahun,” ucapnya.

Setelah panjang lebar berbincang dengan Ketut, Sumut Pos diantar ke pura kecil hingga ke pura yang besar. Di sana juga tampak sesajen yang ditaruh di Padmasana atau tempat duduk Tuhan. Setelah melihat beberapa bekas ritual umat Hindu Bali itu, Ketut membawa Sumut Pos keliling di wilayah Kampung Bali. Selama perjalanan tersebut tampak di depan rumah-rumah warga bunga-bunga dan bercampur buah kelapa kuning
Selanjutnya, Sumut Pos dibawa ke rumah Kepala Dusun, Nyoman Sumandro. Di sana, Sumut Pos dijelaskan, terkait asal muasal Kampung Bali di Kabupaten Langkat tersebut. Menurut Nyoman Sumandro, Kampung Bali pertama kali berdiri di Langkat sekitar tahun 1970. Ketika itu, Sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK) dari Bali, dikontrak untuk mengelola sebuah kebun di daerah Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

“Kontrak itu dilakukan hanya selama 6 tahun. Ketika masa kontrak sudah mulai berakhir, para orangtua kami berpikir mau tinggal di mana. Akhirnya, dicarilah lahan kosong yang disebut sebagai Tanah Negara Bebas (TNB). Sehingga, ditemukanlah tempat ini dan sekarang terus berkembang,” jelas Nyoman Sumandro.

Setelah kampung ini berkembang, sambungnya jumlah penduduknya juga semakin banyak. Sehingga, sebahagian penduduknya memilih untuk meninggalkan Kampung Bali tersebut. “Sekarang ini sudah ada 40-an KK, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Kalau warga yang lain tidak berangkat dari kampung ini, saya rasa lebih banyak lagi. Mereka pergi karena areal pemukiman di sini dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah pennduduk jika terlalu banyak,” ungkapnya, seraya menambahkan, warga yang pergi ada yang kembali ke Bali dan juga memilih ke Pekanbaru, Riau.

Kalau dahulu, kenang Sumandro, Kampung Bali masih terlihat asri. “Dulu belum ada pura seperti saat ini. Orangtua kami sembahyang dengan pura yang dibuat dengan daun dedep yang dipancang dengan empat sudut. Semakin berkembangnya zaman, pada 1976 pura baru dibangun,” terangnya, seraya menambahkan, ketika raya Nyepi tiba, keluarga dari Kuta Bali sering datang berkunjung ke kampung mereka.

Suasana di Kampung Bali Langkat tak jauh berbeda dengan warga keturunan Bali di Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Serdang Bedagai (Sergai). Umat Hindu Bali di desa itu terlihat berdiam di rumah tanpa ada melakukan aktivitas apa pun.

Pemangku adat Pura Bali I Wayan Gio (65) yang sempat ditemui Sumut Pos hanya mengatakan Nyepi ini semua umat Hindu Bali memang berdiam di rumah. Keterangan I Wayan Gio didukung Pendeta Pura Agung Reksa Buana, Jalan Polonia, Medan Polonia, Jero Mangku I Wayan Sukantra. Dia mengatakan, Hari Raya Nyepi ini dilakukan sesuai dengan 4 rangkaian Hari Raya Nyepi yaitu Melis atau Melastri, Taur Keseng, Nyepi, dan Ngemak Geni. “Pada rangkaian ke-3 yaitu Nyepi inilah kita semua umat Hindu tidak boleh melakukan kegiatan apapun selama 24 jam atau 36 jam penuh. Melaksanakan Hari Raya Nyepi ini berarti melaksanakan Catur Brata Penyepian,” katanya.

“Ada 4 hal di dalam perayaan Hari Raya Nyepi yang tidak boleh dilakukan yakni menyalakan api (Amati Geni), bepergian berpergian (Amati Lelungan), foya-foya atau bersenang-senang (Amati Lelaungaun), dan bekerja  (Amati Karya),” tambahnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/