Oleh: Herdiansyah
Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Wajah pria itu terlihat serius. Dahinya pun berkerut. Sesaat setelah dia membaca koran di tangannya, mendadak terdengar tawa sinis dari mulutnya seraya berujar, “Luar biasa! rumah ibadah tak dibantu, malah warung tuak yang kecipratan!”
Tak lama kemudian pria itu terlihat menggaruk-garuk kepalanya dan membanting koran yang sejak tadi dibacanya di atas meja. Koran pun berserakan dan sebagian lembarannya ada yang bersebaran di lantai. Dahinya makin berkerut karena masih terlihat tak percaya. Uang dana bantuan sosial (bansos) Pemprovsu 2009-2011 sebesar Rp1,2 triliun mengalir ke mana-mana. Mengalir hingga jauh, tapi bukan kepada mereka yang berhak.
Tapi, memang itu faktanya. Hasil gelar perkara Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) memang menyebutkan uang rakyat itu dihambur-hamburkan tak hanya hingga ke warung tuak.
Pria itu adalah pengurus sebuah masjid di pedalaman Hamparan Perak, Deliserdang. Sejak tahun 2009 hingga 2011, dia dan pengurus masjid lainnya rutin mengajukan permohonan bantuan renovasi masjid kecil di kampung itu. Kondisinya saat ini memang jauh dari layak. Bukan karena sebagian lantainya telah rusak, atau sebagian dindingnya telah retak, masjid itu memang tak muat menampung jumlah jamaah di kampung itu.
Tahun 2009 dan 2010 proposal permohonan bantuan pembangunan masjid mereka antarkan langsung ke Biro Binsos Pemprovsu. Namun permohonan itu tak pernah berjawab. Sekadar pemberitahuan bahwa proposal itu ditolak juga tak pernah mereka terima. Hilang seperti ditelan ombak.
Tahun 2011 mereka mencoba lagi. Melalui seorang pengurus partai, proposal mereka pun diarahkan ke Badan Anggaran DPRD Sumut. Tapi, tak gratis. Mirip calo, pengurus partai itupun minta uang lelah. Pengurus masjid dari kampung itu patungan untuk memberi uang lelah. Meski yang lelah justru mereka yang jauh-jauh datang dari pedalaman Hamparan Perak.
Beberapa bulan kemudian pengurus masjid itupun bersorak. Bahkan sampai sujud syukur. Melalui perwiridan malam Jumat, selembar surat fotokopian dari Biro Binsos Pemprovsu dibacakan. Masjid yang berukuran kecil itu bakal diperluas. Pasalnya, Biro Binsos telah mengalokasikan dana hibah sebesar Rp100 juta. Tak mau berlama-lama, malam itu juga mereka berembuk membentuk panitia pembangunan masjid. Taksasi dana pun dibuat.
Sayang, hingga kini masjid itu tak jadi direhab. Panitia pembangunan pun sudah dibubarkan. Kertas tempat pencatatan taksasi dananya juga hilang entah ke mana. Dana hibah itu tak pernah mereka terima. Beberapa kali upaya pencairan dana bansos itu digagalkan pengurus masjid. Pasalnya, mereka harus menyerahkan Rp40 juta kepada petugas di Biro Binsos. Tapi, kwitansi yang mereka teken tertera Rp100 juta. Mereka menolak karena karena harus mempertanggungjawabkan bantuan Rp100 juta, tapi yang mereka terima hanya Rp60 juta.
“Mereka bilang yang Rp40 juta untuk infaq. Tak jelas infak apa,” kata pria itu. Meski tak jadi menerima dana bansos, pengurus masjid menganggapnya sebuah rezeki. Pasalnya, jika mereka menerima pencairan dana itu, saat ini pasti mereka kelimpungan memulangkannya ke kas negara. Karena Kejatisu meminta semua penerima aliran dana bansos, baik secara utuh maupun terpotong, untuk mengembalikannya melalui Kejari setempat. “Makan aja susah, disuruh mengembalikan uang pula. Syukur! Bansos tak jadi cair,” ujar pria itu kembali mengambil koran yang tadi diletakkannya di atas meja. (*)