25.6 C
Medan
Monday, May 27, 2024

Demi Para Sopir Angkot

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Menjadi sopir angkot mungkin adalah pekerjaan terberat saat ini.

***

Enak sekali anak-anak saya sekarang. Bangun pagi, berangkat sekolah naik mobil diantarkan oleh sopir, atau ibunya, atau neneknya.

Saya nggak pernah bilang hidup saya susah, tapi waktu SD dulu pernah jalan kaki, naik becak, atau naik sepeda. Bahkan sempat iri lihat teman-teman yang berangkat naik mobil antar-jemput.

Sampai SMP pun naik sepeda atau naik angkot. Pernah juga berangkat sekolah naik sepeda, tapi lantas lupa kalau bawa sepeda, lalu pulang naik angkot. Dan itu berarti besoknya berangkat naik angkot, pulang naik sepeda.

Pernah juga berangkat naik angkot, lalu duitnya dipakai jajan berlebihan, dan pulangnya terpaksa jalan kaki karena sudah nggak ada duit untuk bayar angkot.

Sering juga, karena ayah dulu aktif jadi pengurus sepak bola dan saya suka nonton ke stadion, setiap pulang sekolah langsung naik angkot ke stadion.

Dan waktu SMP itu juga, kalau ingin jalan-jalan sama teman, dikasih uang Rp 5 ribu oleh ibu. Itu cukup untuk biaya angkot PP plus makan nasi dan paha ayam di Texas Fried Chicken. Itu zaman dulu.

Sekarang, setiap bersepeda pagi atau naik mobil di siang hari, saya sering memperhatikan angkot. Mobil-mobilnya masih kurang lebih sama dengan yang saya naiki dulu. Beberapa sopirnya mungkin masih sama.

Dan saya selalu kasihan melihat sopirnya. Bagaimana tidak. Mereka harus mengemudikan mobil di rute yang sama setiap hari. Di hawa yang panas tanpa AC. Dengan mobil yang kondisinya mungkin jauh dari ideal.

Mereka harus kuat diteriaki pengguna jalan lain, karena tiba-tiba berubah arah, tiba-tiba berhenti, atau karena mobilnya mengepulkan asap yang mengganggu pengendara lain.

Yang membuat saya paling kasihan: Kalau melihat kabin belakang sekarang, penumpangnya relatif sepi. Di jalur utama yang saya lewati setiap hari, hampir tidak ada angkot yang dipenuhi penumpang.

Lewat satu angkot, isinya hanya satu penumpang.

Lewat lagi satu angkot, isinya hanya dua penumpang.

Salah satu petinggi di harian ini tidak lama lalu ke kantor naik angkot. Mungkin karena mobilnya mogok, mungkin karena iseng. Di status BBM-nya langsung tertulis: “Naik angkot serasa naik mobil pribadi, penumpangnya hanya saya sendiri.”
Saya tidak tahu, apakah ada studi yang mengukur perkembangan omzet angkot dari tahun ke tahun. Tapi, rasanya kok sekarang tidak lagi semenyenangkan dulu. Dan makin lama kok rasanya omzetnya semakin tidak menyenangkan.

Dan itu semakin menguji ketabahan para sopir angkot.

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Menjadi sopir angkot mungkin adalah pekerjaan terberat saat ini.

***

Enak sekali anak-anak saya sekarang. Bangun pagi, berangkat sekolah naik mobil diantarkan oleh sopir, atau ibunya, atau neneknya.

Saya nggak pernah bilang hidup saya susah, tapi waktu SD dulu pernah jalan kaki, naik becak, atau naik sepeda. Bahkan sempat iri lihat teman-teman yang berangkat naik mobil antar-jemput.

Sampai SMP pun naik sepeda atau naik angkot. Pernah juga berangkat sekolah naik sepeda, tapi lantas lupa kalau bawa sepeda, lalu pulang naik angkot. Dan itu berarti besoknya berangkat naik angkot, pulang naik sepeda.

Pernah juga berangkat naik angkot, lalu duitnya dipakai jajan berlebihan, dan pulangnya terpaksa jalan kaki karena sudah nggak ada duit untuk bayar angkot.

Sering juga, karena ayah dulu aktif jadi pengurus sepak bola dan saya suka nonton ke stadion, setiap pulang sekolah langsung naik angkot ke stadion.

Dan waktu SMP itu juga, kalau ingin jalan-jalan sama teman, dikasih uang Rp 5 ribu oleh ibu. Itu cukup untuk biaya angkot PP plus makan nasi dan paha ayam di Texas Fried Chicken. Itu zaman dulu.

Sekarang, setiap bersepeda pagi atau naik mobil di siang hari, saya sering memperhatikan angkot. Mobil-mobilnya masih kurang lebih sama dengan yang saya naiki dulu. Beberapa sopirnya mungkin masih sama.

Dan saya selalu kasihan melihat sopirnya. Bagaimana tidak. Mereka harus mengemudikan mobil di rute yang sama setiap hari. Di hawa yang panas tanpa AC. Dengan mobil yang kondisinya mungkin jauh dari ideal.

Mereka harus kuat diteriaki pengguna jalan lain, karena tiba-tiba berubah arah, tiba-tiba berhenti, atau karena mobilnya mengepulkan asap yang mengganggu pengendara lain.

Yang membuat saya paling kasihan: Kalau melihat kabin belakang sekarang, penumpangnya relatif sepi. Di jalur utama yang saya lewati setiap hari, hampir tidak ada angkot yang dipenuhi penumpang.

Lewat satu angkot, isinya hanya satu penumpang.

Lewat lagi satu angkot, isinya hanya dua penumpang.

Salah satu petinggi di harian ini tidak lama lalu ke kantor naik angkot. Mungkin karena mobilnya mogok, mungkin karena iseng. Di status BBM-nya langsung tertulis: “Naik angkot serasa naik mobil pribadi, penumpangnya hanya saya sendiri.”
Saya tidak tahu, apakah ada studi yang mengukur perkembangan omzet angkot dari tahun ke tahun. Tapi, rasanya kok sekarang tidak lagi semenyenangkan dulu. Dan makin lama kok rasanya omzetnya semakin tidak menyenangkan.

Dan itu semakin menguji ketabahan para sopir angkot.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/