25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bau Tak Sedap di Sistem Pendaftaran Haji

BAU tak sedap soal pendaftaran haji sebenarnya sudah terendus sejak lama. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar pendataran haji dimoratorium, orang baru tersengat karena hitung-hitungan dana yang mengendap jumlahnya amat fantastis.

Bayangkan, ada 1,6 juta orang yang masuk daftar antrean selama 12 tahun, dan dana yang dikumpulkan mencapai Rp38 tiliun, dengan bunga sekitar Rp1,7 triliun. Ke mana bunga sebesar itu mengalir? Ini yang dipertanyakan oleh KPK. Kata Buysro Muqoddas, Wakil Ketua KPK, aliran bunga sebesar itu bisa berujung pada tindak pidana korupsi karena tak ada transparansi.

Penjelasan Menteri Agama Suryadharma Ali, bunga sebesar itu dikembalikan lagi untuk meningkatkan pelayanan calon haji. Namun dalam temuan KPK, bunga itu digunakan untuk biaya operasional yang sebenarnya sudah dialokasikan dalam APBN.
Transparansi, itu yang tak terlihat. Para pendaftar yang harus mengantri dan membayar uang pendaftaran Rp25 juta tak dapat penjelasan ke mana uang itu mengalir.

KPK menganggap Kementrian Agama mengada-ada, membuat alasan yang tak transparan dan tak bisa dipertanggungjawabkan manajerialnya. Mereka tetap bersikukuh bahwa sistem antrean lebih baik dari buka-tutup yang diusulkan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI),  Kurdi Mustafa. Sistem buka-tutup artinya setiap tahun Kemenag membuka pendaftaran sesuai kuota yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Sistem antrean ini membuat daftar antri semakin panjang dari tahun ke tahun. Rata-rata Pemerintah Arab Saudi hanya memberi kuota 211 ribu calon jamaah, sementara orang yang mendaftar setiap tahunnya 400-500 calon jamaah. Itulah yang membuat antrean sampai 8-12 tahun dan jumlah uang yang terkumpul mencapai 38 triliun.

Artinya lagi, dengan sistem antrean, ada dana yang mengendap yang masuk dalam deposito dan berbunga besar, sementara sistem buka-tutup tak ada dana sebesar itu yang mengendap dan bisa dikelola. Maka, masalahnya sudah cukup jelas: uang.
Inilah yang ditelusuri KPK sehingga muncul usulan untuk moratorium tersebut. Sebab, jika uang 25 juta tersebut disimpan di bank selama 10 tahun, misalnya, dengan bunga rata-rata 6 persen per tahun, maka sang pendaftar yang mengantri akan mendapat bunga sekitar 15 juta.

Maka, uangnya akan bertambah menjadi 40 juta. Tetapi ternyata jumlah uang yang disetorkan tak berubah, tetap 25 juta.  Alasan Kemenag, bunga uang itu digunakan untuk biaya paspor, akomodasi selama di embarkasi, dan keperluan lainnya. Namun ketika dihitung, jumlahnya tak sebesar itu.

Sudah menjadi rahasia umum, ibadah haji sudah menjadi ladang basah bagi Kementrian Agama hingga Kanwil di provinsi. Banyak Jamaah Calon Haji (JCH) yang mengeluh dengan banyaknya pungutan di luar besaran yang sudah ditentukan. Namun, karena mereka telah berniat ibadah dan dibekali “ilmu ikhlas”, mereka merelakan apapun perlakuan yang didapat.

Sebab, kalau tak ikhlas, takut hajinya tak mabrur. Dan parahnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum atau malah lembaga Kemenag untuk mencari keuntungan. Tak takut dengan dosa? Entahlah, sebab kalau sudah berurusan dengan uang, semuanya sudah terlupakan. Termasuk mencari keuntungan memanfaatkan ibadah. Padahal, ini urusannya bukan hanya dunia, tapi akhirat.***

BAU tak sedap soal pendaftaran haji sebenarnya sudah terendus sejak lama. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar pendataran haji dimoratorium, orang baru tersengat karena hitung-hitungan dana yang mengendap jumlahnya amat fantastis.

Bayangkan, ada 1,6 juta orang yang masuk daftar antrean selama 12 tahun, dan dana yang dikumpulkan mencapai Rp38 tiliun, dengan bunga sekitar Rp1,7 triliun. Ke mana bunga sebesar itu mengalir? Ini yang dipertanyakan oleh KPK. Kata Buysro Muqoddas, Wakil Ketua KPK, aliran bunga sebesar itu bisa berujung pada tindak pidana korupsi karena tak ada transparansi.

Penjelasan Menteri Agama Suryadharma Ali, bunga sebesar itu dikembalikan lagi untuk meningkatkan pelayanan calon haji. Namun dalam temuan KPK, bunga itu digunakan untuk biaya operasional yang sebenarnya sudah dialokasikan dalam APBN.
Transparansi, itu yang tak terlihat. Para pendaftar yang harus mengantri dan membayar uang pendaftaran Rp25 juta tak dapat penjelasan ke mana uang itu mengalir.

KPK menganggap Kementrian Agama mengada-ada, membuat alasan yang tak transparan dan tak bisa dipertanggungjawabkan manajerialnya. Mereka tetap bersikukuh bahwa sistem antrean lebih baik dari buka-tutup yang diusulkan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI),  Kurdi Mustafa. Sistem buka-tutup artinya setiap tahun Kemenag membuka pendaftaran sesuai kuota yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Sistem antrean ini membuat daftar antri semakin panjang dari tahun ke tahun. Rata-rata Pemerintah Arab Saudi hanya memberi kuota 211 ribu calon jamaah, sementara orang yang mendaftar setiap tahunnya 400-500 calon jamaah. Itulah yang membuat antrean sampai 8-12 tahun dan jumlah uang yang terkumpul mencapai 38 triliun.

Artinya lagi, dengan sistem antrean, ada dana yang mengendap yang masuk dalam deposito dan berbunga besar, sementara sistem buka-tutup tak ada dana sebesar itu yang mengendap dan bisa dikelola. Maka, masalahnya sudah cukup jelas: uang.
Inilah yang ditelusuri KPK sehingga muncul usulan untuk moratorium tersebut. Sebab, jika uang 25 juta tersebut disimpan di bank selama 10 tahun, misalnya, dengan bunga rata-rata 6 persen per tahun, maka sang pendaftar yang mengantri akan mendapat bunga sekitar 15 juta.

Maka, uangnya akan bertambah menjadi 40 juta. Tetapi ternyata jumlah uang yang disetorkan tak berubah, tetap 25 juta.  Alasan Kemenag, bunga uang itu digunakan untuk biaya paspor, akomodasi selama di embarkasi, dan keperluan lainnya. Namun ketika dihitung, jumlahnya tak sebesar itu.

Sudah menjadi rahasia umum, ibadah haji sudah menjadi ladang basah bagi Kementrian Agama hingga Kanwil di provinsi. Banyak Jamaah Calon Haji (JCH) yang mengeluh dengan banyaknya pungutan di luar besaran yang sudah ditentukan. Namun, karena mereka telah berniat ibadah dan dibekali “ilmu ikhlas”, mereka merelakan apapun perlakuan yang didapat.

Sebab, kalau tak ikhlas, takut hajinya tak mabrur. Dan parahnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum atau malah lembaga Kemenag untuk mencari keuntungan. Tak takut dengan dosa? Entahlah, sebab kalau sudah berurusan dengan uang, semuanya sudah terlupakan. Termasuk mencari keuntungan memanfaatkan ibadah. Padahal, ini urusannya bukan hanya dunia, tapi akhirat.***

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/