29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Doulu

Oleh: Valdesz J Nainggolan
Asisten Redaktur Pelaksana Sumut Pos

TEPAT empat hari lalu bumi merayakan ‘’Hari Bumi’’. Aktivis lingkungan di belahan manapun merayakan perayaaan ini dengan penuh tema. Dua hari lalu saya merekam ucapan budayawan Sudjiwo Tedjo di talkshow stasiun televisi. ‘’Jangan sesekali katakan bencana, itu gejala alam mencari keseimbangan.” Di Jakarta muncul tema ‘’Bersihkan Sampah, Tegakkan Kedaulatan Pangan, Air dan Energi’, lain di Yogyakarta yang memahami keseimbangan bumi lewat tema ‘’Ekspresikan Kreasimu untuk Bumi’’ Longsor yang terjadi di Desa Doulu yang terjadi kemarin menyentak kesadaran siapapun: tema lingkungan yang kita usung sudah terlampau progresif.

Banjir bandang yang menghancurkan sejumlah desa di Tanah Karo mengingatkan masalah lingkungan di negeri ini belum menyentuh substansinya. Jika kerusakan ini bagian dari alam mencari keseimbangan, ingatlah longsor di Desa Doulu ini bukan yang pertama. Ini kedua kali alam mencari keseimbangannya setelah kejadian serupa pada tahun 2008 silam.

Walhi Sumut pernah mengingatkannya! Apa sebetulnya yang terjadi di tanah subur penghasil sayur-mayur dan buah-buahan ini? Setelah para petani tak berdaya dihantam kejamnya liberalisasi pertanian, alam juga semakin menjauh dari mereka. Alih-alih melimpah kekayaan dari hasil tanahnya, mencari keseimbangan ekonomi pun semakin sulit rasanya.

Lihatlah bagaimana petani ramai-ramai melemparkan jagung ke kantor Gubsu. Belum lagi kentang dan jeruk yang diserakkan karena tak ada harganya. Pemerintah tak punya konsep yang jelas melindungi petani. Belum pula bicara infrastruktur yang melemahkan posisi tawar dalam kompetisi pasar yang serba-cepat. Harga merosot dan alam terus mencari keseimbangannya. Dalam ketidakseimbangan ini muncullah kantong kemiskinan.

Kendati banyak pihak mengatakan kawasan perkotaan sebagai kantong kemiskinan, data BPS mempertegas pedesaan tetap kawasan terbanyak penduduk miskinnya. Saat banyak orang miskin hidup di pinggir hutan justru inilah yang mengkhawatirkan.

Tekanan terhadap kawasan hutan dan lingkungan hidup makin tinggi. Hal ini senada dengan kekhawatiran Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan PBB (1988). Mereka yang miskin dan kelaparan acapkali menghancurkan lingkungan sekitarnya demi kelangsungan hidup. Mereka akan menebang hutan, ternaknya akan menggunduli padang-padang rumput, mereka akan menggunakan lahan marginal secara berlebihan.

Mereka terpaksa memanfaatkan secara berlebihan basis sumber daya yang ada demi kelangsungan hidup mereka. Sasaran paling dekat adalah hutan. Mereka belum sempat berpikir tentang lingkungan, tentang pelestarian, tentang konservasi atau tentang rehabilitasi lahan. Paling parah manakala pemerintah justru terlibat di dalamnya.

Atas nama investasi Pemkab Karo menyumbang besar atas kerusakan di hutan lindung Simpang Doulu. Ada enam hektar hutan yang dirambah. Data menyebutkan perambahan ini atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 tanggal 28 Februari 2002. Ini pasti bukan soal bertahan hidup. Dan, saat ini juga alam mencari keseimbangan kembali. Entah sampai kapan berhenti. (*)

Oleh: Valdesz J Nainggolan
Asisten Redaktur Pelaksana Sumut Pos

TEPAT empat hari lalu bumi merayakan ‘’Hari Bumi’’. Aktivis lingkungan di belahan manapun merayakan perayaaan ini dengan penuh tema. Dua hari lalu saya merekam ucapan budayawan Sudjiwo Tedjo di talkshow stasiun televisi. ‘’Jangan sesekali katakan bencana, itu gejala alam mencari keseimbangan.” Di Jakarta muncul tema ‘’Bersihkan Sampah, Tegakkan Kedaulatan Pangan, Air dan Energi’, lain di Yogyakarta yang memahami keseimbangan bumi lewat tema ‘’Ekspresikan Kreasimu untuk Bumi’’ Longsor yang terjadi di Desa Doulu yang terjadi kemarin menyentak kesadaran siapapun: tema lingkungan yang kita usung sudah terlampau progresif.

Banjir bandang yang menghancurkan sejumlah desa di Tanah Karo mengingatkan masalah lingkungan di negeri ini belum menyentuh substansinya. Jika kerusakan ini bagian dari alam mencari keseimbangan, ingatlah longsor di Desa Doulu ini bukan yang pertama. Ini kedua kali alam mencari keseimbangannya setelah kejadian serupa pada tahun 2008 silam.

Walhi Sumut pernah mengingatkannya! Apa sebetulnya yang terjadi di tanah subur penghasil sayur-mayur dan buah-buahan ini? Setelah para petani tak berdaya dihantam kejamnya liberalisasi pertanian, alam juga semakin menjauh dari mereka. Alih-alih melimpah kekayaan dari hasil tanahnya, mencari keseimbangan ekonomi pun semakin sulit rasanya.

Lihatlah bagaimana petani ramai-ramai melemparkan jagung ke kantor Gubsu. Belum lagi kentang dan jeruk yang diserakkan karena tak ada harganya. Pemerintah tak punya konsep yang jelas melindungi petani. Belum pula bicara infrastruktur yang melemahkan posisi tawar dalam kompetisi pasar yang serba-cepat. Harga merosot dan alam terus mencari keseimbangannya. Dalam ketidakseimbangan ini muncullah kantong kemiskinan.

Kendati banyak pihak mengatakan kawasan perkotaan sebagai kantong kemiskinan, data BPS mempertegas pedesaan tetap kawasan terbanyak penduduk miskinnya. Saat banyak orang miskin hidup di pinggir hutan justru inilah yang mengkhawatirkan.

Tekanan terhadap kawasan hutan dan lingkungan hidup makin tinggi. Hal ini senada dengan kekhawatiran Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan PBB (1988). Mereka yang miskin dan kelaparan acapkali menghancurkan lingkungan sekitarnya demi kelangsungan hidup. Mereka akan menebang hutan, ternaknya akan menggunduli padang-padang rumput, mereka akan menggunakan lahan marginal secara berlebihan.

Mereka terpaksa memanfaatkan secara berlebihan basis sumber daya yang ada demi kelangsungan hidup mereka. Sasaran paling dekat adalah hutan. Mereka belum sempat berpikir tentang lingkungan, tentang pelestarian, tentang konservasi atau tentang rehabilitasi lahan. Paling parah manakala pemerintah justru terlibat di dalamnya.

Atas nama investasi Pemkab Karo menyumbang besar atas kerusakan di hutan lindung Simpang Doulu. Ada enam hektar hutan yang dirambah. Data menyebutkan perambahan ini atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 tanggal 28 Februari 2002. Ini pasti bukan soal bertahan hidup. Dan, saat ini juga alam mencari keseimbangan kembali. Entah sampai kapan berhenti. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/