28.9 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Ketika Uang Saku Hilang Separo

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Krisis 1997-1998 dulu melanda pas saya sedang di tengah-tengah kuliah. Bisa dibilang apes, bisa dibilang blessing in disguise.

***
Saya bukan orang yang mudah berhemat. Pedal gas saya sering diinjak sampai mentok, remnya blong.

Salah satu prinsip Steve Jobs yang saya sukai juga mencerminkan itu: When it high, hit it hard. When slow, hit it harder.

Maksudnya, ketika situasi sedang baik, geber sampai maksimal. Lalu, ketika situasi lagi kurang baik, terus geber sebagai investasi masa depan.

Saat situasi membaik (sesuai harapan), yang terus menggeber akan lebih dulu melaju, sedangkan yang ngeremnya terlalu kencang mungkin harus sibuk dulu mempersiapkan diri lagi.

Tentu saja, pada saat situasi seperti sekarang ini, ketika mata uang kembali jadi perbincangan, perasaan waswas mulai menghampiri, dan kepastian masa depan kembali memburam, sangat sulit untuk memutuskan untuk main gas.

Saya bukan pakar ekonomi. Banyak orang lebih hebat yang bisa menjelaskan dan mengusulkan solusinya. Jadi, saya tidak akan sok tahu dalam hal ini.

Saya tipe main insting, wkwkwkwk.

Seperti hampir semua orang, tentu saya berharap segera ada tindakan atau kebijakan untuk mengatasi situasi sekarang ini. Sebab, ada yang lebih mengerikan dari segala krisis, yaitu krisis ketidakpastian.

***
Krisis 1997-1998 telah membawa banyak perubahan. Dari tingkat makro sampai ke banyak individu secara pribadi-pribadi.

Saya termasuk yang merasakan dampak, dan manfaat, ketika dolar AS melonjak dari Rp 3.000-an hingga lebih dari Rp15.000 dalam waktu begitu singkat.

Karena ini bukan kolom ekonomi, maka dampak dan manfaat yang dimaksud berkaitan dengan pencarian dan perjalanan jati diri. Jadi, mohon maaf kalau mengharapkan tulisan yang tidak sesepele ini.

Waktu itu, situasi keluarga saya sudah oke, tapi belum yang sangat oke. Jadi, walau uang saku saya cukup, masih lebih banyak anak yang uang saku dan lain-lainnya lebih oke.

Saya masuk kuliah 1995. Waktu itu, anak-anak Indonesia yang kuliah di Amrik memang sepertinya sangat oke. Mobil BMW, Mercy, dan lain-lain merupakan tunggangan; biasa. Lha wong harganya jauh lebih murah dari di Indonesia.

Saya? Mobil pertama saya di sana adalah sebuah Honda Civic hatchback keluaran 1991, manual, tanpa power steering, dengan harga beli waktu itu USD 5.000. Tapi masih bisa tinggal di apartemen sendiri yang cukup baik, bersama room mate (dan kemudian adik sendiri).

Bukan paling mewah, tapi juga bukan paling susah.

Saya kuliah lebih dulu di sebuah junior college selama dua tahun di Sacramento. Banyak anak Indonesia yang memilih jalur ini, karena memang biayanya jauh lebih murah. Baru setelah dua tahun, transfer ke universitas yang lebih baik.

Eh, pas waktu mau transfer, krisis melanda.

Uang saku saya harus dipangkas separo. Adik perempuan saya paling kasihan. Setelah lulus SMA di Amerika, dan keputusannya adalah pulang.

Bagi saya, keputusan untuk pindah ke universitas mana juga jadi lebih sensitif. Secara nilai, selama dua tahun di junior college, GPA saya di atas 3,8 dari maksimal 4. Jadi, mau pindah ke mana saja tidaklah susah. TOEFL saya juga 630. Ikut mempermudah prosesnya.

Tapi, mau pindah ke kampus yang favorit, biayanya akan membengkak gila-gilaan. Sebelum krisis mungkin oke, setelah krisis tidak lagi oke.

Walau diterima di kampus-kampus bergengsi, saya bilang kepada orangtua bahwa saya akan tetap di Sacramento. Transfer ke sebuah universitas negeri karena biayanya lebih terjangkau. Plus, tidak ada komplikasi biaya tambahan akibat harus pindah-pindah ke kota atau negara bagian lain.

Karena uang saku dipangkas separo, saya pun mau tidak mau, suka tidak suka, harus cari pekerjaan part time: Bekerja di kafetaria kampus. Cuci piring, menyiapkan makanan, membantu koki, membersihkan meja-meja, mengepel lantai, dan lain sebagainya.

Baik itu saat breakfast (kerja pukul 4 sampai 8 pagi), lunch (10.00-14.00), atau dinner (16.00-21.00). Tiap hari beda jadwal.

Banyak teman saya yang juga kali pertama bekerja gara-gara krisis itu. Alternatif lainnya adalah jadi pengantar pizza, pengantar koran, dan lain-lain.

Untuk tempat tinggal juga begitu. Saya dan teman-teman menyewa rumah bersama. Satu rumah untuk berempat, sehingga biaya bulanan jadi jauh lebih murah.

Saya tidak akan bilang hidup saya jadi susah. Ada banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah.

Walau untuk melakukan itu, bagi saya dan banyak teman, ada tantangan menaklukkan diri sendirinya. Tidak sedikit teman saya yang tidak betah. Bahkan, ada yang langsung berhenti walau baru sehari bekerja mengelap meja!
***
Everything happen for a reason. Pasti ada hikmah di balik masalah alias blessing in disguise. Banyak orang bilang begitu.

Ya, saya jadi diingatkan tentang pentingnya memahami nilai uang.

Ya, saya jadi belajar lebih humble karena harus bekerja dengan upah minimum.

Bayangkan, sebelum krisis, memilih makan di dua tempat tidaklah pusing. Setelah krisis, kalau ada dua restoran dan harganya selisih se-dolar, maka selisihnya membengkak jadi Rp15 ribu lebih per piring.

Rasanya memang seperti ditempeleng.

Pernah saya dan teman-teman serumah antre di McDonald ketika ada promo cheeseburger seharga 29 sen dan hamburger 19 sen. Karena tiap orang maksimal hanya boleh beli 15, kami berempat antre beli sebanyak-banyaknya. Kami masukkan kulkas, lalu beberapa hari ya makan cheeseburger dan hamburger terus! Wkwkwkwk.

Di luar itu, bagi saya, masih ada blessing in disguise lain yang mungkin lebih berkesan. Dan itu tidak seserius yang mungkin Anda kira pada awal tulisan ini!
Pertama, saya belajar meng-handle orang. Setelah enam bulan kerja di kafetaria tersebut, saya sempat jadi supervisor. Kapan lagi di usia 20 tahun punya anak buah warga Amerika, orang Malaysia, orang India, dan lain sebagainya?
Kemudian, karena setiap hari ketemu banyak sesama pelajar perguruan tinggi, ada peluang-peluang baru muncul yang bisa menjadi sumber tunjangan gaya hidup.

Saya punya banyak job sampingan mengerjakan tugas teman, bahkan kadang mengambilkan ujian mereka. Satu tugas saya charge minimal USD 250. Lumayan, kan?
Dan yang paling berkesan adalah yang satu ini: karena kerja di kafetaria kampus, maka banyak cewek keren setiap hari yang makan di situ. Kenalan jadi banyak, social skill jadi jauh lebih terlatih.

Terima kasih Tuhan, ada tiga mantan pacar saya yang kenalannya di sana. Salah satunya bahkan sempat mengira saya ini tidak punya apa-apa, sehingga selalu mentraktir. Dan, saya biarkan saja wkwkwkwk. (*)

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Krisis 1997-1998 dulu melanda pas saya sedang di tengah-tengah kuliah. Bisa dibilang apes, bisa dibilang blessing in disguise.

***
Saya bukan orang yang mudah berhemat. Pedal gas saya sering diinjak sampai mentok, remnya blong.

Salah satu prinsip Steve Jobs yang saya sukai juga mencerminkan itu: When it high, hit it hard. When slow, hit it harder.

Maksudnya, ketika situasi sedang baik, geber sampai maksimal. Lalu, ketika situasi lagi kurang baik, terus geber sebagai investasi masa depan.

Saat situasi membaik (sesuai harapan), yang terus menggeber akan lebih dulu melaju, sedangkan yang ngeremnya terlalu kencang mungkin harus sibuk dulu mempersiapkan diri lagi.

Tentu saja, pada saat situasi seperti sekarang ini, ketika mata uang kembali jadi perbincangan, perasaan waswas mulai menghampiri, dan kepastian masa depan kembali memburam, sangat sulit untuk memutuskan untuk main gas.

Saya bukan pakar ekonomi. Banyak orang lebih hebat yang bisa menjelaskan dan mengusulkan solusinya. Jadi, saya tidak akan sok tahu dalam hal ini.

Saya tipe main insting, wkwkwkwk.

Seperti hampir semua orang, tentu saya berharap segera ada tindakan atau kebijakan untuk mengatasi situasi sekarang ini. Sebab, ada yang lebih mengerikan dari segala krisis, yaitu krisis ketidakpastian.

***
Krisis 1997-1998 telah membawa banyak perubahan. Dari tingkat makro sampai ke banyak individu secara pribadi-pribadi.

Saya termasuk yang merasakan dampak, dan manfaat, ketika dolar AS melonjak dari Rp 3.000-an hingga lebih dari Rp15.000 dalam waktu begitu singkat.

Karena ini bukan kolom ekonomi, maka dampak dan manfaat yang dimaksud berkaitan dengan pencarian dan perjalanan jati diri. Jadi, mohon maaf kalau mengharapkan tulisan yang tidak sesepele ini.

Waktu itu, situasi keluarga saya sudah oke, tapi belum yang sangat oke. Jadi, walau uang saku saya cukup, masih lebih banyak anak yang uang saku dan lain-lainnya lebih oke.

Saya masuk kuliah 1995. Waktu itu, anak-anak Indonesia yang kuliah di Amrik memang sepertinya sangat oke. Mobil BMW, Mercy, dan lain-lain merupakan tunggangan; biasa. Lha wong harganya jauh lebih murah dari di Indonesia.

Saya? Mobil pertama saya di sana adalah sebuah Honda Civic hatchback keluaran 1991, manual, tanpa power steering, dengan harga beli waktu itu USD 5.000. Tapi masih bisa tinggal di apartemen sendiri yang cukup baik, bersama room mate (dan kemudian adik sendiri).

Bukan paling mewah, tapi juga bukan paling susah.

Saya kuliah lebih dulu di sebuah junior college selama dua tahun di Sacramento. Banyak anak Indonesia yang memilih jalur ini, karena memang biayanya jauh lebih murah. Baru setelah dua tahun, transfer ke universitas yang lebih baik.

Eh, pas waktu mau transfer, krisis melanda.

Uang saku saya harus dipangkas separo. Adik perempuan saya paling kasihan. Setelah lulus SMA di Amerika, dan keputusannya adalah pulang.

Bagi saya, keputusan untuk pindah ke universitas mana juga jadi lebih sensitif. Secara nilai, selama dua tahun di junior college, GPA saya di atas 3,8 dari maksimal 4. Jadi, mau pindah ke mana saja tidaklah susah. TOEFL saya juga 630. Ikut mempermudah prosesnya.

Tapi, mau pindah ke kampus yang favorit, biayanya akan membengkak gila-gilaan. Sebelum krisis mungkin oke, setelah krisis tidak lagi oke.

Walau diterima di kampus-kampus bergengsi, saya bilang kepada orangtua bahwa saya akan tetap di Sacramento. Transfer ke sebuah universitas negeri karena biayanya lebih terjangkau. Plus, tidak ada komplikasi biaya tambahan akibat harus pindah-pindah ke kota atau negara bagian lain.

Karena uang saku dipangkas separo, saya pun mau tidak mau, suka tidak suka, harus cari pekerjaan part time: Bekerja di kafetaria kampus. Cuci piring, menyiapkan makanan, membantu koki, membersihkan meja-meja, mengepel lantai, dan lain sebagainya.

Baik itu saat breakfast (kerja pukul 4 sampai 8 pagi), lunch (10.00-14.00), atau dinner (16.00-21.00). Tiap hari beda jadwal.

Banyak teman saya yang juga kali pertama bekerja gara-gara krisis itu. Alternatif lainnya adalah jadi pengantar pizza, pengantar koran, dan lain-lain.

Untuk tempat tinggal juga begitu. Saya dan teman-teman menyewa rumah bersama. Satu rumah untuk berempat, sehingga biaya bulanan jadi jauh lebih murah.

Saya tidak akan bilang hidup saya jadi susah. Ada banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah.

Walau untuk melakukan itu, bagi saya dan banyak teman, ada tantangan menaklukkan diri sendirinya. Tidak sedikit teman saya yang tidak betah. Bahkan, ada yang langsung berhenti walau baru sehari bekerja mengelap meja!
***
Everything happen for a reason. Pasti ada hikmah di balik masalah alias blessing in disguise. Banyak orang bilang begitu.

Ya, saya jadi diingatkan tentang pentingnya memahami nilai uang.

Ya, saya jadi belajar lebih humble karena harus bekerja dengan upah minimum.

Bayangkan, sebelum krisis, memilih makan di dua tempat tidaklah pusing. Setelah krisis, kalau ada dua restoran dan harganya selisih se-dolar, maka selisihnya membengkak jadi Rp15 ribu lebih per piring.

Rasanya memang seperti ditempeleng.

Pernah saya dan teman-teman serumah antre di McDonald ketika ada promo cheeseburger seharga 29 sen dan hamburger 19 sen. Karena tiap orang maksimal hanya boleh beli 15, kami berempat antre beli sebanyak-banyaknya. Kami masukkan kulkas, lalu beberapa hari ya makan cheeseburger dan hamburger terus! Wkwkwkwk.

Di luar itu, bagi saya, masih ada blessing in disguise lain yang mungkin lebih berkesan. Dan itu tidak seserius yang mungkin Anda kira pada awal tulisan ini!
Pertama, saya belajar meng-handle orang. Setelah enam bulan kerja di kafetaria tersebut, saya sempat jadi supervisor. Kapan lagi di usia 20 tahun punya anak buah warga Amerika, orang Malaysia, orang India, dan lain sebagainya?
Kemudian, karena setiap hari ketemu banyak sesama pelajar perguruan tinggi, ada peluang-peluang baru muncul yang bisa menjadi sumber tunjangan gaya hidup.

Saya punya banyak job sampingan mengerjakan tugas teman, bahkan kadang mengambilkan ujian mereka. Satu tugas saya charge minimal USD 250. Lumayan, kan?
Dan yang paling berkesan adalah yang satu ini: karena kerja di kafetaria kampus, maka banyak cewek keren setiap hari yang makan di situ. Kenalan jadi banyak, social skill jadi jauh lebih terlatih.

Terima kasih Tuhan, ada tiga mantan pacar saya yang kenalannya di sana. Salah satunya bahkan sempat mengira saya ini tidak punya apa-apa, sehingga selalu mentraktir. Dan, saya biarkan saja wkwkwkwk. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/