24 C
Medan
Tuesday, September 24, 2024

Simpan Harta

Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transpransi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, menantang para calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumatera Utara (Cagub-Cawagubsu) membeberkan harta secara terbuka. Artinya, dipublikasikan secara umum. Pertanyaannya, beranikah para calon itu membeber harta yang mereka simpan?

Idealnya, para calon pasti akan berani. Apalagi, ketika calon mau terbuka, seperti kata Uchok, simpati publik akan mengalir kepada mereka. Ya, warga kan sudah jengah dengan kasus-kasus yang tidak transparan, jadi usaha para calon untuk membuka semua hartanya secara terbuka bisa dikatakan sebagai langkah yang berani.

Seperti diketahui, selama ini kan laporan kekayaan pejabat hanya diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU). Nah, hal itu dianggap kurang efektif. Ayolah, berapa energi KPK untuk meneliti laporan itu. Bukankah hal itu membuka ruang bagi calon untuk menyimpan sebagian hartanya?

Uchok memberi solusi, katanya, berani tidak para calon membeberkan jumlah hartanya di media massa. Tentu ini bukan soal gagah-gagahan; menunjukkan siapa paling kaya. Ini soal transparansi. Artinya, bagaimana harta seorang calon sebelum dan sesudah menjabat.

Selain itu, warga juga bisa langsung membandingkan harta yang dilaporkan dengan harta yang sejatinya dimiliki para calon.
Dengan kata lain, warga bisa melihat langsung si kandidat punya mobil mewah tapi tak dimasukkan ke laporan resmi.

Begitulah, soal laporan harta memang penuh kecurigaan. Mungkin itulah sebab Uchok ngotot menantang para calon; ngotot untuk mengajak para calon untuk tidak sembunyikan harta. Lalu, bagaimana dengan harta yang memang disembunyikan?

Maksud saya, bukan rahasia lagi kan kalau harta itu bisa diwakili. Misalnya, sebuah rumah dibeli atas nama saudara atau orang lain, padahal hak kepemilikan adalah punya sang calon. Seperti pernah saya ceritakan, teman saya seorang PNS tingkat rendah memiliki sekian mobil dan sepeda motor. Sayangnya, hanya namanya saja sebagai pemiliki, mobil dan sepeda motor itu milik saudaranya. Ya, saudaranya memakai nama dia agar gampang urus surat kendaraan.

Nah, dengan kasus seperti kawan saya tadi, bukankah terbuka peluang banyak harta calon yang masih tersimpan meski telah dilaporkan dan dipublikasikan ke media?

Uchok bisa saja berdalih dan mengatakan, masyarakat harus cerewet. Harus berani berteriak ketika menemukan hal semacam itu. Nah, bukankah laporan para calon ke KPK dengan label Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) juga bisa disikapi seperti itu. Maksudnya, ketika warga berani dan berteriak, bukankah bermodalkan LHKPN saja cukup?

Itu dia masalahnya, warga mau atau tidak berteriak soal harta para calon? Ya, apa keuntungan warga ketika berteriak? Adakah penghargaan untuk mereka? Hm, bukankah bisa saja warga malah dianggap sebagai corong lawan politik si calon? Jadi rugikan? Terus bagaimana? Entahlah…. (*)

Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transpransi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, menantang para calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumatera Utara (Cagub-Cawagubsu) membeberkan harta secara terbuka. Artinya, dipublikasikan secara umum. Pertanyaannya, beranikah para calon itu membeber harta yang mereka simpan?

Idealnya, para calon pasti akan berani. Apalagi, ketika calon mau terbuka, seperti kata Uchok, simpati publik akan mengalir kepada mereka. Ya, warga kan sudah jengah dengan kasus-kasus yang tidak transparan, jadi usaha para calon untuk membuka semua hartanya secara terbuka bisa dikatakan sebagai langkah yang berani.

Seperti diketahui, selama ini kan laporan kekayaan pejabat hanya diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU). Nah, hal itu dianggap kurang efektif. Ayolah, berapa energi KPK untuk meneliti laporan itu. Bukankah hal itu membuka ruang bagi calon untuk menyimpan sebagian hartanya?

Uchok memberi solusi, katanya, berani tidak para calon membeberkan jumlah hartanya di media massa. Tentu ini bukan soal gagah-gagahan; menunjukkan siapa paling kaya. Ini soal transparansi. Artinya, bagaimana harta seorang calon sebelum dan sesudah menjabat.

Selain itu, warga juga bisa langsung membandingkan harta yang dilaporkan dengan harta yang sejatinya dimiliki para calon.
Dengan kata lain, warga bisa melihat langsung si kandidat punya mobil mewah tapi tak dimasukkan ke laporan resmi.

Begitulah, soal laporan harta memang penuh kecurigaan. Mungkin itulah sebab Uchok ngotot menantang para calon; ngotot untuk mengajak para calon untuk tidak sembunyikan harta. Lalu, bagaimana dengan harta yang memang disembunyikan?

Maksud saya, bukan rahasia lagi kan kalau harta itu bisa diwakili. Misalnya, sebuah rumah dibeli atas nama saudara atau orang lain, padahal hak kepemilikan adalah punya sang calon. Seperti pernah saya ceritakan, teman saya seorang PNS tingkat rendah memiliki sekian mobil dan sepeda motor. Sayangnya, hanya namanya saja sebagai pemiliki, mobil dan sepeda motor itu milik saudaranya. Ya, saudaranya memakai nama dia agar gampang urus surat kendaraan.

Nah, dengan kasus seperti kawan saya tadi, bukankah terbuka peluang banyak harta calon yang masih tersimpan meski telah dilaporkan dan dipublikasikan ke media?

Uchok bisa saja berdalih dan mengatakan, masyarakat harus cerewet. Harus berani berteriak ketika menemukan hal semacam itu. Nah, bukankah laporan para calon ke KPK dengan label Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) juga bisa disikapi seperti itu. Maksudnya, ketika warga berani dan berteriak, bukankah bermodalkan LHKPN saja cukup?

Itu dia masalahnya, warga mau atau tidak berteriak soal harta para calon? Ya, apa keuntungan warga ketika berteriak? Adakah penghargaan untuk mereka? Hm, bukankah bisa saja warga malah dianggap sebagai corong lawan politik si calon? Jadi rugikan? Terus bagaimana? Entahlah…. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/