32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pulang ke Kampung Superman

Ellinwood High School hari itu sepi sekali karena memang sedang libur musim panas. Kalaupun sedang jam sekolah sebenarnya juga tidak terlalu ramai. Zaman saya dulu, dari SMP sampai SMA (kelas 7 sampai 12) total siswanya hanya 168 orang. Jumlahnya lantas naik turun. Tahun ini 180 orang.

Pintunya terkunci, tapi seorang staf administrasi mengizinkan kami masuk (”Maaf, bolehkah saya masuk? Dua puluh dua tahun lalu saya sekolah di sini”).

Sekolah ini sudah diperluas. Bangunan baru sekarang full dipakai, sedangkan bangunan lama sama sekali tidak dipakai. Walau bangunan lama dan kelas-kelasnya masih sangat dirawat. Alasannya sederhana, memaksimalkan ruang-ruang kelas baru yang lebih modern. Plus meminimalkan jarak jalan siswa dari satu kelas ke yang lain.

Saya langsung menuju lorong tempat loker saya dulu berada, plus ke kelas Newspaper/Yearbook, tempat saya dulu aktif menyiapkan koran mingguan sekolah dan buku tahunan.

Lalu saya ke gym, yang sebenarnya punya peran besar menginspirasi DBL, liga basket SMA yang saya prakarsai 2004 lalu.

Di gym itulah, dengan tribun retractable (bisa ditarik dari dinding) berkapasitas tak sampai 1.000, saya dulu banyak menghabiskan waktu. Bukan sebagai student athlete, melainkan sebagai jurnalis sekolah.

Koran SMA saya, The Eagles (sesuai maskot sekolah), terbit seminggu sekali di hari Rabu (Happy Wednesday!). Punya tiga fotografer, dua di antaranya adalah pemain basket sekolah. Saya yang ketiga. Jadi, kalau ada pertandingan basket, mau tidak mau saya yang harus memotret.

Jadi, area di sekitar ring di gym itu adalah ruang kerja saya.

Dua puluh dua tahun kemudian, rasanya aneh juga melihat gym itu. Lantai kayunya masih berkilau. Meja wasitnya… Sama persis dengan yang dipakai standar DBL di 25 kota di seluruh Indonesia!
Saya ingat betapa riuhnya gym ini kalau ada pertandingan. Anak-anak band berkumpul di tribun tengah, memainkan drum dan trompet saat jeda kuarter atau timeout.

Sayang, hari itu saya tidak sempat ke stadion football dan lintasan atletik, tempat dulu saya bergabung di tim Track and Field (atletik), bagian lari 2 mil (3,2 km). Juga tempat saya ikut latihan tim American football sebagai kicker.

Maklum, sekolah kecil, jadi semua siswa dimaksimalkan di semua ekstrakurikuler. Ada pula lapangan golf (9-Hole), tempat warga santai dan tim golf SMA berlatih.

Kalau dipikir-pikir, lumayan juga fasilitas sekolah di kampung saya ini. Padahal, letaknya jauh dari mana-mana. Ketika SMA dulu, dan saya yakin masih ada sampai sekarang, banyak teman saya yang belum pernah melihat laut. Saking jauhnya!

Ellinwood High School hari itu sepi sekali karena memang sedang libur musim panas. Kalaupun sedang jam sekolah sebenarnya juga tidak terlalu ramai. Zaman saya dulu, dari SMP sampai SMA (kelas 7 sampai 12) total siswanya hanya 168 orang. Jumlahnya lantas naik turun. Tahun ini 180 orang.

Pintunya terkunci, tapi seorang staf administrasi mengizinkan kami masuk (”Maaf, bolehkah saya masuk? Dua puluh dua tahun lalu saya sekolah di sini”).

Sekolah ini sudah diperluas. Bangunan baru sekarang full dipakai, sedangkan bangunan lama sama sekali tidak dipakai. Walau bangunan lama dan kelas-kelasnya masih sangat dirawat. Alasannya sederhana, memaksimalkan ruang-ruang kelas baru yang lebih modern. Plus meminimalkan jarak jalan siswa dari satu kelas ke yang lain.

Saya langsung menuju lorong tempat loker saya dulu berada, plus ke kelas Newspaper/Yearbook, tempat saya dulu aktif menyiapkan koran mingguan sekolah dan buku tahunan.

Lalu saya ke gym, yang sebenarnya punya peran besar menginspirasi DBL, liga basket SMA yang saya prakarsai 2004 lalu.

Di gym itulah, dengan tribun retractable (bisa ditarik dari dinding) berkapasitas tak sampai 1.000, saya dulu banyak menghabiskan waktu. Bukan sebagai student athlete, melainkan sebagai jurnalis sekolah.

Koran SMA saya, The Eagles (sesuai maskot sekolah), terbit seminggu sekali di hari Rabu (Happy Wednesday!). Punya tiga fotografer, dua di antaranya adalah pemain basket sekolah. Saya yang ketiga. Jadi, kalau ada pertandingan basket, mau tidak mau saya yang harus memotret.

Jadi, area di sekitar ring di gym itu adalah ruang kerja saya.

Dua puluh dua tahun kemudian, rasanya aneh juga melihat gym itu. Lantai kayunya masih berkilau. Meja wasitnya… Sama persis dengan yang dipakai standar DBL di 25 kota di seluruh Indonesia!
Saya ingat betapa riuhnya gym ini kalau ada pertandingan. Anak-anak band berkumpul di tribun tengah, memainkan drum dan trompet saat jeda kuarter atau timeout.

Sayang, hari itu saya tidak sempat ke stadion football dan lintasan atletik, tempat dulu saya bergabung di tim Track and Field (atletik), bagian lari 2 mil (3,2 km). Juga tempat saya ikut latihan tim American football sebagai kicker.

Maklum, sekolah kecil, jadi semua siswa dimaksimalkan di semua ekstrakurikuler. Ada pula lapangan golf (9-Hole), tempat warga santai dan tim golf SMA berlatih.

Kalau dipikir-pikir, lumayan juga fasilitas sekolah di kampung saya ini. Padahal, letaknya jauh dari mana-mana. Ketika SMA dulu, dan saya yakin masih ada sampai sekarang, banyak teman saya yang belum pernah melihat laut. Saking jauhnya!

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/