25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Corby tak Gaga(L)

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Nama Schapelle Leigh Corby mungkin tak setenar dengan Lady Gaga. Tapi, soal perbincangan di Indonesia, Gorby mampu mengimbangi Gaga. Bahkan, gara-gara dia, beberapa anggota DPR RI berniat melakukan interpelasi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ya, dia adalah warga negeri jiran, Australia. Dia ditangkap pada 8 Oktober 2004 di Bali dengan barang bukti 4,2 kilogram ganja. Pada 27 Mei 2005, ia divonis Pengadilan Negeri Denpasar 20 tahun penjara karena melanggar UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Menariknya, perempuan yang kemudian hari dijuluki ‘Ratu Mariyuana’ telah mendapat remisi sebanyak 10 kali dengan total 25 bulan pengurangan pidana penjara, kemudian pekan lalu diberikan grasi selama lima tahun oleh Presiden SBY. Praktis Corby tinggal menjalani sisa hukumannya selama 8 tahun.

Ujung-ujungnya, Corby kemungkinan akan diberikan pembebasan bersyarat pada September mendatang. Tak pelak, keistimewaan yang diberikan oleh pemerinta Indonesia pada warga Australia itu dianggap terlalu berlebihan.

Secara teori, bisa saja Corby bebas bersyarat. Undang-undang mengatur, sesorang dapat bebas bersayarat kalau telah menjalani 2/3 masa pidana dengan ketentuan tidak kurang dari sembilan bulan. Kedua, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana selama 9 bulan terakhir sebelum tanggal 2/3 masa pidana. Begitupun, sebagai warga asing, Corby harus mengantongi rekomendasi dari Ditjen Imigrasi Kemenkumham mengenai izin tinggal selama menjalani masa bebas bersyarat. Dan, adanya jaminan dari kedutaan besar Australia bahwa Corby tidak akan meninggalkan Indonesia hingga dinyatakan bebas murni. Selain itu, Kedubes Australia juga harus bisa menjamin Corby tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pembebasan bersayarat.

Tapi masalahnya bukan pada itu, grasi lima tahun dari SBY adalah biangnya. Apalagi, Menkumham Amir Syamsuddin sempat mengatakan pemberian grasi itu merupakan kebijakan diplomasi. Hingga, muncul nuansa dan keyakinan dari banyak pihak bahwa Indonesia terlalu tunduk pada kemauan negara lain. Ini misalnya tercermin dari pandangan Wakil Ketua DPR Pramono Anung  yang menyebut kasus ini tidak lepas dari tekanan dan lobi pemerintah Australia.

Hal ini jadi berbanding terbalik dengan apa yang dialami Lady Gaga bukan? Indonesia seakan tak mau ‘ditekan’ dengan gaya sang Lady. Bahkan, Gaga harus mengikuti kemauan ‘Indonesia’ dengan menyesuaikan penampilannya dengan kemauan ‘Indonesia’. Seperti diketahui, Gaga berang. Dia batalkan konser yang membuat fansnya di Indonesia sedih. Lalu, bagaimana dengan Corby? Bukankah sang Ratu telah benar-benar melakukan tindak pidana? Mengapa Indonesia seakan takluk?

Bak kata Menkumham, ini adalah kebijakan diplomasi. Seperti dikutip dari internet, menurut ahli diplomasi India kuno Kautilya, dalam upaya mencapai tujuan diplomatik suatu pemerintahan dapat melakukan lewat penerapan satu atau kombinasi beberapa prinsip dari empat prinsip utama instrumen diplomasi, yaitu sama (perdamaian atau negosiasi), dana (memberi hadiah atau konsesi), danda (menciptakan perselisihan), dan bedha (mengancam atau menggunakan kekuatan nyata). Jadi, mengaca pada keterangan tersebut, tentu soal Corby masuk akal. Apalagi, grasi memang merupakan hak konstitusional presiden.

Sayangnya, grasi terhadap Corby menjadi tidak lazim karena selama ini belum pernah terdengar ada pengurangan hukuman sebanyak itu bagi tahanan warga negara sendiri. Apalagi, timing grasi itu dianggap kurang tepat karena saat Indonesia menyatakan perang terhadap narkoba, terutama memerangi jaringan internasional narkoba, SBY malah memberi grasi kepada terpidana kasus narkoba.

Dengan keadaan ini, bukankah akan membuat orang dibalik penyelundupan satu kontainer ekstasi baru-baru ini akan tersenyum? (*)

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Nama Schapelle Leigh Corby mungkin tak setenar dengan Lady Gaga. Tapi, soal perbincangan di Indonesia, Gorby mampu mengimbangi Gaga. Bahkan, gara-gara dia, beberapa anggota DPR RI berniat melakukan interpelasi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ya, dia adalah warga negeri jiran, Australia. Dia ditangkap pada 8 Oktober 2004 di Bali dengan barang bukti 4,2 kilogram ganja. Pada 27 Mei 2005, ia divonis Pengadilan Negeri Denpasar 20 tahun penjara karena melanggar UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Menariknya, perempuan yang kemudian hari dijuluki ‘Ratu Mariyuana’ telah mendapat remisi sebanyak 10 kali dengan total 25 bulan pengurangan pidana penjara, kemudian pekan lalu diberikan grasi selama lima tahun oleh Presiden SBY. Praktis Corby tinggal menjalani sisa hukumannya selama 8 tahun.

Ujung-ujungnya, Corby kemungkinan akan diberikan pembebasan bersyarat pada September mendatang. Tak pelak, keistimewaan yang diberikan oleh pemerinta Indonesia pada warga Australia itu dianggap terlalu berlebihan.

Secara teori, bisa saja Corby bebas bersyarat. Undang-undang mengatur, sesorang dapat bebas bersayarat kalau telah menjalani 2/3 masa pidana dengan ketentuan tidak kurang dari sembilan bulan. Kedua, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana selama 9 bulan terakhir sebelum tanggal 2/3 masa pidana. Begitupun, sebagai warga asing, Corby harus mengantongi rekomendasi dari Ditjen Imigrasi Kemenkumham mengenai izin tinggal selama menjalani masa bebas bersyarat. Dan, adanya jaminan dari kedutaan besar Australia bahwa Corby tidak akan meninggalkan Indonesia hingga dinyatakan bebas murni. Selain itu, Kedubes Australia juga harus bisa menjamin Corby tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pembebasan bersayarat.

Tapi masalahnya bukan pada itu, grasi lima tahun dari SBY adalah biangnya. Apalagi, Menkumham Amir Syamsuddin sempat mengatakan pemberian grasi itu merupakan kebijakan diplomasi. Hingga, muncul nuansa dan keyakinan dari banyak pihak bahwa Indonesia terlalu tunduk pada kemauan negara lain. Ini misalnya tercermin dari pandangan Wakil Ketua DPR Pramono Anung  yang menyebut kasus ini tidak lepas dari tekanan dan lobi pemerintah Australia.

Hal ini jadi berbanding terbalik dengan apa yang dialami Lady Gaga bukan? Indonesia seakan tak mau ‘ditekan’ dengan gaya sang Lady. Bahkan, Gaga harus mengikuti kemauan ‘Indonesia’ dengan menyesuaikan penampilannya dengan kemauan ‘Indonesia’. Seperti diketahui, Gaga berang. Dia batalkan konser yang membuat fansnya di Indonesia sedih. Lalu, bagaimana dengan Corby? Bukankah sang Ratu telah benar-benar melakukan tindak pidana? Mengapa Indonesia seakan takluk?

Bak kata Menkumham, ini adalah kebijakan diplomasi. Seperti dikutip dari internet, menurut ahli diplomasi India kuno Kautilya, dalam upaya mencapai tujuan diplomatik suatu pemerintahan dapat melakukan lewat penerapan satu atau kombinasi beberapa prinsip dari empat prinsip utama instrumen diplomasi, yaitu sama (perdamaian atau negosiasi), dana (memberi hadiah atau konsesi), danda (menciptakan perselisihan), dan bedha (mengancam atau menggunakan kekuatan nyata). Jadi, mengaca pada keterangan tersebut, tentu soal Corby masuk akal. Apalagi, grasi memang merupakan hak konstitusional presiden.

Sayangnya, grasi terhadap Corby menjadi tidak lazim karena selama ini belum pernah terdengar ada pengurangan hukuman sebanyak itu bagi tahanan warga negara sendiri. Apalagi, timing grasi itu dianggap kurang tepat karena saat Indonesia menyatakan perang terhadap narkoba, terutama memerangi jaringan internasional narkoba, SBY malah memberi grasi kepada terpidana kasus narkoba.

Dengan keadaan ini, bukankah akan membuat orang dibalik penyelundupan satu kontainer ekstasi baru-baru ini akan tersenyum? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/