Oleh : H Affan Bey Hutasuhut
Wakil Pimpinan Umum Sumut Pos
Ketika musibah menimpa, pastilah hati terluka. Apalagi sampai kecipratan bencana alam atau tabrakan maut di jalan raya yang menewaskan ayah, ibu, anak, dan isteri. Ada saja orang yang menebarkan kepedihannya sampai berbulan bulan. Kalau dinasihati oleh sahabat, salah-salah justru seakan menoreh luka lama.
Perasaan dukacita, itu manuasiawi saja. Tak ada yang aneh di situ. Akan lain soalnya, kalau orang yang terluka itu terus-terusan meratapi nasibnya. Keadaan ini bukan hanya merugikan kesehatan, berkurangnya kepedulian terhadap keluarga, dan karir yang bersangkutan. Tanpa sadar juga telah menyesali keputusan Tuhan yang Maha Perkasa.
Alam semesta beserta segala isinya sesungguhnya adalah milik Tuhan. Makanya saat bencana melanda, orang boleh bersedih tapi tetap berserah diri kepada Tuhan. Sebab suatu hari kelak manusia akan bersyukur setelah mengetahui apa sebenarnya rahasia dibalik musibah tersebut.
Jangan cemberut seraya merepet-repet karena ketinggalan pesawat. Seorang penyanyi cewek kondang bersama anaknya pernah kecewa karena pesawat Mandala yang akan mengangkutnya ke Jakarta keburu berangkat. Dia selamat, karena pesawat yang baru saja take off dari bandara Polonia itu tercampak berkeping-keping di Jalan Padang Bulan beberapa tahun silam.
Musibah atau berkah pasti tak bisa dihindari. Menyikapi ini orang bijak berpetuah, jangan ratapi kepedihanmu. Jangan pula lupa diri saat bergelimang harta, tapi petiklah hikmah di balik kejadian itu.
Belajar dari tragedi maut di Tugu Tani Jakarta yang menewaskan sembilan orang, di Medan maunya dibangun lebih banyak jalan yang aman untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda alias kereta angin. Takut kali rasa disenggol sekarang ini karena kereta angin dengan klakson yang berbunyi kring, kring, kring, takkan mampu menghalau pengendara sepeda motor, angkot yang ugal-ugalan. Padahal komunitas pencinta kereta angin kini makin banyak, Pak Wali!
Seorang tetanggaku di Jalan Sei Bohorok Medan, Pak Amat, selama ini kerap mengayuh sepedanya untuk salat di berbagai masjid dan bersilaturhami di Medan. Bukan tubuhnya yang tampak segar, wajahnya yang teduh kendati sering disengat panasnya matahari, yang merenggut nyawanya. Tapi diserempet saat bersepeda hingga sakit dan meninggal dunia.
Pak Wali, bergegaslah segera untuk membangun track untuk sepeda ini. Sudah lama orang menjerit bahwa alam lingkungan kotor dan jalanan macat di kota ini gara-gara sesaknya kendaraan bermotor kan. Kalau track ini nanti siap ‘kan sedikit teratasi masalahnya.
Supaya khalayak ramai di Medan mau dan tak malu naik kereta angin, maunya Pak Wali dari rumah dinas di Jalan Sudirman ke kantor di Jalan Balaikota, jangan lagi naik mobil. Ngapain lagi Pak Wali. Sudahlah, naik kereta angin kan Bapak akan makin sehat dan tidak akan dikatain oranglah sebagai wali kota kampungan. Mengenakan pakaian olah raga, kayuh sepeda, seraya melirik kalau ada sampah bertebaran, 15 menit sudah sampai di kantor.
Dijamin dah, kalau Bapak berani memberi contoh, tuh para bawahan pasti ikut ikutan juga naik kereta angin dari rumah ke kantor. Memangnya ada anak buah yang nekat menyalip Bapak di jalanan.
Mainkan barang tu Pak Wali. Naik kereta angin, kring, kring, kring. (*)