25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Tumbang

Oleh: Valdesz J Nainggolan
Kepala Koordinator Liputan Sumut Pos

CUACA belakangan memang jauh dari bersahabat. Jangankan kita yang awam, Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saja seringkali gagal memprediksi cuaca. Barangkali kita sepakat cuaca di Medan bukan lagi  sekadar berubah-ubah, tapi sudah menuju titik ekstrem. Siang panas terik, malam hari disergap hujan deras dan angin kencang Hujan deras tak cuma menyuguhkan banjir meluas di sejumlah titik, melainkan pohon bertumbangan akibat angin kencang.

Sejak Maret 2011-Mei 2012 tercatat dua pengendara tewas akibat tertimpa pohon tumbang. Statistik ini belum termasuk puluhan mobil dan ratusan rumah yang rusak parah akibat peristiwa serupa. Kecemasan pengendara juga tak cuma soal pohon ‘’rapuh’’ yang telanjur disemai di pinggir jalan-jalan protokol, namun juga kekokohan konstruksi billboard yang menjamur di tengah jalan. Kisah billboard tumbang jelas bukan isapan jempol belaka.

Sabtu (26/5) lalu sebuah billboard tumbang di Jalan Brigjen Katamso di kawasan Kampung Baru. Pohon tumbang? Wah ini pasti hot news setiap hujan deras mengguyur kota ini. Tentulah pertanyaan besar di hati apakah Pemko Medan pasrah saja dengan keadaan ini?

Saya jadi teringat acara talkshow di radio belum lama ini: soal sejarah Jakarta. Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, mengingatkan bagaimana Mohammad Husni Thamrin (1894-1941) yang kala itu menjabat anggota Volksraad (parlemen) tak mau berdiam diri melihat ketinggian sebagian Jakarta yang berada di bawah permukaan laut.

Akibatnya sebagian wilayah ibukota itu banjir setiap hujan mengguyur. ‘’Ya pasrah saja mau diapain lagi. Resiko loe tinggal di sini,’’ kata rekannya sesama anggota Volkraad. ‘’Oh nggak boleh begitu. Kita harus putar otak. Bangun kanal dong?’’ tantang Thamrin.

Toh cermin serupa ada di kota ini. Apa Wali Kota Medan c/q Kadis Pertamanan pasrah saja dengan keadaan ini? Dus, warga disuruh menunggu kapan tragedi banjir dan bencana pohon tumbang ini mengintai setiap kali? Wah, maaf-maaf saja nggak boleh begitu!

Galibnya pemerintah kota ini patut belajar dari pemerintah Belanda. Mengapa Belanda? Pemerhati lingkungan Fadmin Prihatin (2011) mengatakan penyebab pohon tumbang akibat perencanaan yang tidak matang. Banyak pohon asal tanam sehingga rawan tumbang ketika musim hujan tiba.

Banyak pohon yang ditanam berjenis Akasia, sebuah pohon yang dikenal rapuh, tidak tahan angin, butuh air banyak dan tekstur tanah kuat. Kalau Akasia ditanam pada tanah yang tekstur tanahnya tidak kuat, seperti di trotoar jalan yang diaspal, di semen yang kandungan airnya terbatas dan ketika hujan air tidak memiliki daerah resapan, “bingunglah” si pohon Akasia ketika angin datang, dia tidak mampu bertahan dan akhirnya tumbang.

Berbeda dengan Indonesia, Belanda menanam pohon pada tempat yang tepat. Pohon Bunga Tanjung misalnya ditanam di daerah pemukiman. Sebab pohon ini berdaun rimbun sehingga dapat menyejukkan warga di pemukiman tersebut. Untuk di tepi jalan, pemerintah Belanda menanam Mahoni karena data serap karbon dioksida pohon ini tinggi dan mampu berdiri kokoh.

Selain persoalan asal tanam, Dinas Pertamanan juga seakan tak pernah serius melakukan perawatan. Seharusnya melihat usia pohon yang tua, dibutuhkan perawatan intensif setiap bulan. Perawatan bertujuan mengukur sejauh mana kelayakan dan pertumbuhan pohon. Jangan hanya sibuk “membuldozer” atau memangkas dahan pohon tanpa berusaha mengadakan uji kelayakan melalui penelitian bertahap dan terencana.

Persoalan pohon tumbang jelas sangat menganggu warga. Lalu lintas menjadi macet, membahayakan pengguna jalan, dan seringkali menelan korban kendaraan atau manusia. Tak ada jalan lain: Pemko tak boleh pasrah! Dinas Pertamanan Kota Medan seyogianya serius memikirkan metode terbaik mengantisipasi bencana pohon tumbang ini. Halo pak Kadis? Hello-hello.. Is anybody out there? (*)

Oleh: Valdesz J Nainggolan
Kepala Koordinator Liputan Sumut Pos

CUACA belakangan memang jauh dari bersahabat. Jangankan kita yang awam, Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saja seringkali gagal memprediksi cuaca. Barangkali kita sepakat cuaca di Medan bukan lagi  sekadar berubah-ubah, tapi sudah menuju titik ekstrem. Siang panas terik, malam hari disergap hujan deras dan angin kencang Hujan deras tak cuma menyuguhkan banjir meluas di sejumlah titik, melainkan pohon bertumbangan akibat angin kencang.

Sejak Maret 2011-Mei 2012 tercatat dua pengendara tewas akibat tertimpa pohon tumbang. Statistik ini belum termasuk puluhan mobil dan ratusan rumah yang rusak parah akibat peristiwa serupa. Kecemasan pengendara juga tak cuma soal pohon ‘’rapuh’’ yang telanjur disemai di pinggir jalan-jalan protokol, namun juga kekokohan konstruksi billboard yang menjamur di tengah jalan. Kisah billboard tumbang jelas bukan isapan jempol belaka.

Sabtu (26/5) lalu sebuah billboard tumbang di Jalan Brigjen Katamso di kawasan Kampung Baru. Pohon tumbang? Wah ini pasti hot news setiap hujan deras mengguyur kota ini. Tentulah pertanyaan besar di hati apakah Pemko Medan pasrah saja dengan keadaan ini?

Saya jadi teringat acara talkshow di radio belum lama ini: soal sejarah Jakarta. Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, mengingatkan bagaimana Mohammad Husni Thamrin (1894-1941) yang kala itu menjabat anggota Volksraad (parlemen) tak mau berdiam diri melihat ketinggian sebagian Jakarta yang berada di bawah permukaan laut.

Akibatnya sebagian wilayah ibukota itu banjir setiap hujan mengguyur. ‘’Ya pasrah saja mau diapain lagi. Resiko loe tinggal di sini,’’ kata rekannya sesama anggota Volkraad. ‘’Oh nggak boleh begitu. Kita harus putar otak. Bangun kanal dong?’’ tantang Thamrin.

Toh cermin serupa ada di kota ini. Apa Wali Kota Medan c/q Kadis Pertamanan pasrah saja dengan keadaan ini? Dus, warga disuruh menunggu kapan tragedi banjir dan bencana pohon tumbang ini mengintai setiap kali? Wah, maaf-maaf saja nggak boleh begitu!

Galibnya pemerintah kota ini patut belajar dari pemerintah Belanda. Mengapa Belanda? Pemerhati lingkungan Fadmin Prihatin (2011) mengatakan penyebab pohon tumbang akibat perencanaan yang tidak matang. Banyak pohon asal tanam sehingga rawan tumbang ketika musim hujan tiba.

Banyak pohon yang ditanam berjenis Akasia, sebuah pohon yang dikenal rapuh, tidak tahan angin, butuh air banyak dan tekstur tanah kuat. Kalau Akasia ditanam pada tanah yang tekstur tanahnya tidak kuat, seperti di trotoar jalan yang diaspal, di semen yang kandungan airnya terbatas dan ketika hujan air tidak memiliki daerah resapan, “bingunglah” si pohon Akasia ketika angin datang, dia tidak mampu bertahan dan akhirnya tumbang.

Berbeda dengan Indonesia, Belanda menanam pohon pada tempat yang tepat. Pohon Bunga Tanjung misalnya ditanam di daerah pemukiman. Sebab pohon ini berdaun rimbun sehingga dapat menyejukkan warga di pemukiman tersebut. Untuk di tepi jalan, pemerintah Belanda menanam Mahoni karena data serap karbon dioksida pohon ini tinggi dan mampu berdiri kokoh.

Selain persoalan asal tanam, Dinas Pertamanan juga seakan tak pernah serius melakukan perawatan. Seharusnya melihat usia pohon yang tua, dibutuhkan perawatan intensif setiap bulan. Perawatan bertujuan mengukur sejauh mana kelayakan dan pertumbuhan pohon. Jangan hanya sibuk “membuldozer” atau memangkas dahan pohon tanpa berusaha mengadakan uji kelayakan melalui penelitian bertahap dan terencana.

Persoalan pohon tumbang jelas sangat menganggu warga. Lalu lintas menjadi macet, membahayakan pengguna jalan, dan seringkali menelan korban kendaraan atau manusia. Tak ada jalan lain: Pemko tak boleh pasrah! Dinas Pertamanan Kota Medan seyogianya serius memikirkan metode terbaik mengantisipasi bencana pohon tumbang ini. Halo pak Kadis? Hello-hello.. Is anybody out there? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/