25.6 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Baterai Lithium Tanpa Ember

Dahlan Iskan

AMERICA, SUMUTPOS.CO – Saya bangun tengah malam. Ingat ITS. Khususnya acara BEM Elektro. Yang istimewa. Yang ingin saya tulis saat itu.

Tapi keburu ke Tiongkok. Lalu ke Amerika ini.

Saya terbangun tengah malam. Tidak bisa tidur lagi. Masih jetlag. Padahal sudah 10 hari di Amerika. Perbedaan waktu membuat ritme tidur kacau.

Maka saya tulislah naskah untuk Disway ini. Daripada mata hanya menatap langit-langit tanpa cicak.

Udara tengah malam ini sangat dingin. Tapi pikiran saya bergairah. Harus memuji orang ini: Kristian Sutikno. Alumnus Fakultas Teknik Elektro Institut 10 November (ITS) Surabaya.

Bahkan saya harus minta maaf padanya. Saya telat mengetahui kiprahnya. Di bidang produksi baterai lithium di dalam negeri. Ini karena Kristian terlalu low profile.

Padahal kami sama-sama Arek Suroboyo. Rumahnya pernah pula di dekat rumah saya. Tapi baru hari itu saya kenal dia. Dan kiprahnya. Terlaaaluuuu!

Kalau saja BEM ITS, khususnya himpunan mahasiswa elektro tidak mengadakan acara itu saya tidak bertemu dia. Hari itu saya diminta bicara mobil listrik lagi. Bersama si penari langit Ricky Elson. Dan Prof Nur pembina kendaraan listrik.

Sebenarnya Pak Nur belum guru besar. Tapi saya sudah minta izin memanggilnya profesor.

Ini karena saya tahu kualifikasi Pak Nur sudah guru besar. Hanya saja dia tidak punya waktu mengurus administrasinya. Terlalu sibuk membina mahasiswa ITS yang gila kreasi di kendaraan listrik.

Pak Nur sudah bertekad tidak akan jadi guru besar. Gak apa-apa, katanya.

Gak sampai hati pada para aktivis kendaraan listriknya. Sampai-sampai tampilannya masih seperti mahasiswa. Pakai kaus, jeans dan rambut panjang.

Selesai seminar, seseorang yang berbadan kurus mencegat saya. Menyalami. Dan menyerahkan kartu nama: Kristian Sutikno.

Bicaranya pelan. Bajunya batik. Sikapnya sangat sopan.

Saya kaget. Ternyata Kristian sudah memiliki pabrik baterai lithium di Jogja. Sudah delapan tahun pula.

Terlaaluuu. Kok saya tidak tahu. Padahal, enam tahun lalu saya mencari-cari siapa pengusaha yang mau mendirikan pabrik baterai lithium. Agar Indonesia tidak impor lagi dari Tiongkok.

Waktu itu saya sampai merayu Nippres, pabrik baterai terbesar di Indonesia. Pabrik ini sudah mampu ekspor ke 76 negara.

Saya rayu pemiliknya untuk mau mendirikan unit baru, khusus lithium. Saya tahu pasar lithium belum besar di Indonesia.

Kebijakan mobil listrik saat itu belum ada. Ternyata sampai sekarang juga belum ada.

“Waktu itu saya tahu Pak Dahlan lagi mendorong lahirnya mobil listrik,” ujar Kristian (53), Alumnus ITS 1972.

“Tapi saya memilih memulainya untuk baterai lampu solar cell jalan raya,” tambahnya.

Pekerjaan mekanikal di baterai untuk kendaraan listrik, katanya, lebih rumit. Dia belum punya tim yang keahliannya di mekanikal.

Saat memulai usaha baru itu, Kristian tidak mau langsung besar. Yang mencakup banyak langkah sekaligus.

Dahlan Iskan

AMERICA, SUMUTPOS.CO – Saya bangun tengah malam. Ingat ITS. Khususnya acara BEM Elektro. Yang istimewa. Yang ingin saya tulis saat itu.

Tapi keburu ke Tiongkok. Lalu ke Amerika ini.

Saya terbangun tengah malam. Tidak bisa tidur lagi. Masih jetlag. Padahal sudah 10 hari di Amerika. Perbedaan waktu membuat ritme tidur kacau.

Maka saya tulislah naskah untuk Disway ini. Daripada mata hanya menatap langit-langit tanpa cicak.

Udara tengah malam ini sangat dingin. Tapi pikiran saya bergairah. Harus memuji orang ini: Kristian Sutikno. Alumnus Fakultas Teknik Elektro Institut 10 November (ITS) Surabaya.

Bahkan saya harus minta maaf padanya. Saya telat mengetahui kiprahnya. Di bidang produksi baterai lithium di dalam negeri. Ini karena Kristian terlalu low profile.

Padahal kami sama-sama Arek Suroboyo. Rumahnya pernah pula di dekat rumah saya. Tapi baru hari itu saya kenal dia. Dan kiprahnya. Terlaaaluuuu!

Kalau saja BEM ITS, khususnya himpunan mahasiswa elektro tidak mengadakan acara itu saya tidak bertemu dia. Hari itu saya diminta bicara mobil listrik lagi. Bersama si penari langit Ricky Elson. Dan Prof Nur pembina kendaraan listrik.

Sebenarnya Pak Nur belum guru besar. Tapi saya sudah minta izin memanggilnya profesor.

Ini karena saya tahu kualifikasi Pak Nur sudah guru besar. Hanya saja dia tidak punya waktu mengurus administrasinya. Terlalu sibuk membina mahasiswa ITS yang gila kreasi di kendaraan listrik.

Pak Nur sudah bertekad tidak akan jadi guru besar. Gak apa-apa, katanya.

Gak sampai hati pada para aktivis kendaraan listriknya. Sampai-sampai tampilannya masih seperti mahasiswa. Pakai kaus, jeans dan rambut panjang.

Selesai seminar, seseorang yang berbadan kurus mencegat saya. Menyalami. Dan menyerahkan kartu nama: Kristian Sutikno.

Bicaranya pelan. Bajunya batik. Sikapnya sangat sopan.

Saya kaget. Ternyata Kristian sudah memiliki pabrik baterai lithium di Jogja. Sudah delapan tahun pula.

Terlaaluuu. Kok saya tidak tahu. Padahal, enam tahun lalu saya mencari-cari siapa pengusaha yang mau mendirikan pabrik baterai lithium. Agar Indonesia tidak impor lagi dari Tiongkok.

Waktu itu saya sampai merayu Nippres, pabrik baterai terbesar di Indonesia. Pabrik ini sudah mampu ekspor ke 76 negara.

Saya rayu pemiliknya untuk mau mendirikan unit baru, khusus lithium. Saya tahu pasar lithium belum besar di Indonesia.

Kebijakan mobil listrik saat itu belum ada. Ternyata sampai sekarang juga belum ada.

“Waktu itu saya tahu Pak Dahlan lagi mendorong lahirnya mobil listrik,” ujar Kristian (53), Alumnus ITS 1972.

“Tapi saya memilih memulainya untuk baterai lampu solar cell jalan raya,” tambahnya.

Pekerjaan mekanikal di baterai untuk kendaraan listrik, katanya, lebih rumit. Dia belum punya tim yang keahliannya di mekanikal.

Saat memulai usaha baru itu, Kristian tidak mau langsung besar. Yang mencakup banyak langkah sekaligus.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/