Baru beberapa bulan duduk di bangku kelas 1 SD, baru mulai kenal dan beradaptasi dengan lingkungan, Maret lalu Ajeng (6) mendadak disuruh libur sekolah oleh guru. Penyebabnya: pandemi Covid-19.
Awal libur, Ajeng happy-happy saja. Berpikir libur hanya beberapa hari saja. Namun ditunggu hingga berbulan-bulan, sekolahnya di SDN 010089 Sendang Sari, Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara itu, ternyata tetap libur. Jangankan ke sekolah, keluar rumah pun bahkan ia dilarang.
“Ma, besok sekolah ya?” tanya Ajeng polos, dua bulan sejak mendadak disuruh libur akhir Maret 2020 lalu.
“Belum, Nak” jawab sang mama, Nurgayah Hasibuan (50).
“Oh, kok lama ya Ma?” tanyanya lagi.
“Ajeng dah pengen masuk sekolah ya?” tanya mama yang juga guru di sekolah Ajeng. Sang mama yang juga mengajar di kelas 6.
“Ya, Ma,” jawab Ajeng memandang penuh harap pada mamanya.
Dengan sabar, sang ibu mencoba menjelaskan: “Ada corona, Nak.”
“Apa itu corona, Ma?” tanya Ajeng lagi.
Ibunya yang juga salahsatu fasilitator daerah Kabupaten Asahan Program Pintar Tanoto Foundation itu menjelaskan, corona adalah virus yang sangat berbahaya. Bisa menyerang siapa saja, kapan saja. Khususnya saat orang-orang berkumpul di tempat keramaian.
Terlihat kurang paham dengan corona, Ajeng hanya geleng-geleng kepala sembari berlalu meninggalkan ibunya.
Minggu berikutnya, Ajeng mendapat tugas belajar dari guru kelasnya yang dikirim melalui WA sang ibu.
Ajeng yang masih mengeja dalam membaca, belajar sembari mengerjakan tugas didampingi sang ibu.
Keesokan harinya, Ajeng mendapat tugas lagi. Ibu menunjukkan dan membacakan tugas putri bungsunya.
Dengan lesu, Ajeng mengambil buku tulisnya.
“Bosan Ma,” katanya tiba-tiba.
“Jangan bosan ya, Nak,” kata ibu.
“Lain ya Ma, sekolah SD dengan sekolah TK. Kapan corona pergi, Ma? Ajeng mau sekolah. Corona jahat ya Ma? Bikin Ajeng nggak masuk sekolah. Ajeng rindu pengen pakai baju sekolah, Ma,” curhatnya polos.
Sang ibu hanya mampu tersenyum mendengarkan celoteh gadis kecilnya. Tak banyak yang bisa diperbuatnya, selain mendampingi putrinya menyelesaikan tugas belajar dan mengirimnya ke WA guru.
Hari-hari berlalu. Belajar tetap via daring. Ibu Ajeng yang juga bekerja sebagai guru, terkadang tidak bisa mendampingi putrinya belajar pagi hingga siang hari. Terkadang saat sang ibu ada waktu siang, namun tetap tak bisa mendampingi Ajeng belajar karena butuh tidur siang. Belajar pun sering beralih ke malam hari. Hasilnya, makin lama, semangat belajar Ajeng terus menurun.
Suatu hari, Ajeng tiba-tiba berkata pada ibunya: “Ma, Ajeng balik TK aja lagi yah.”
Ibunya tentu saja kaget. “Mengapa Ajeng ingin balik TK lagi?”
“Karena kalau TK, belajarnya sama guru. Bukan sama mama,” kata Ajeng pelan.
Ibunya hanya mampu tertawa kecil namun sambil merasa miris mendengar celetukan putri kecilnya.
“Memangnya Ajeng mau, kalau masuk TK lagi?:
Sejenak diam, Ajeng lalu berkata: “Ajeng bosan belajarnya seperti ini, Ma.”
Kata Ajeng cilik, belajar di rumah tidak menyenangkan. Tidak ada guru di depan kelas, tidak ada teman-teman. Ia membayangkan, alangkah membosankannya jika cara belajar di Sekolah Dasar ternyata begitu terus sampai kelas enam nanti. “Kalau begini terus, mending balik ke TK. Lebih enak,” cetusnya.
Meski sang ibu menjelaskan tentang situasi pandemi saat ini, Ajeng cilik tetap kurang memahami.
Sang ibu hanya mampu menghibur. “Walau belajar di rumah, Ajeng harus tetap rajin ya, Nak! Kita doakan, semoga wabah corona ini cepat berakhir, agar Ajeng bisa kembali bersekolah, ketemu guru dan teman-teman,” hiburnya.
Ajeng menatap ibunya penuh harap. (Nurgayah Hasibuan)