Pada 2010 Sutanta Aditya sempat menjadi perbincangan karena kenekatannya mengabadikan momen erupsi Sinabung. Pun ketika 2014 ini, dia kembali jadi buah bibir ketika fotonya tentang korban tewas di Sukameriah memenuhi halaman muka hampir di seluruh media besar di Indonesia. Tapi siapa sangka, tak ada nada bangga darinya, rasa bersalah malah sangat terasa saat dia bicara.
Juli Ramadhani Rambe, Medan
Mewancarai Adit – panggilan Sutanta Aditya – bukan hal yang mudah. Sumut Pos berulang kali menghubunginya sejak berita awan panas Sinabung memakan korban. Baru tadi malam sekira pukul 20.00 WIB, Adit baru mau menyambut telepon.
“Aku syok,” akunya melalui telepon seluler.
Jawaban Adit menimbulkan pertanyaan baru. Bukankah ketika foto yang dipetik dihargai begitu banyak media menjadi kebanggan tersendiri bagi seorang fotografer? “Kaki kananku hilang!” teriaknya.
Adit pun langsung bercerita tentang ‘kaki kanan’ yang dimaksudnya tadi. Bukan kaki kanan dalam arti yang sebenarnya tapi lebih mengarah ke sahabat atau kawan dekat. Dan yang dimaksud Adit adalah Rizal Syahputra dan Thomas Milala. Keduanya menjadi korban tewas saat awan panas Sinabung mengamuk di Sukameriah. “Aku tidak tahu mereka menjadi korban, walau aku sudah menduga. Tetapi, aku baru bisa memastikan ketika sore,” ujarnya.
Dikisahkannya, malam sebelum kejadian (Jumat 31/1), dia dan kedua sahabatnya itu berkumpul dan hunting mencari foto yang menarik di Desa Kutatonggal. Di tempat ini, mereka memutuskan apa yang akan mereka lakukan esok harinya, Sabtu (1/2). Ada perbedaan yang muncul dari diskusi mereka. Adit memilih memotret ke Desa Bekerah sedangkan kedua sahabatnya berencana ke Sukameriah.
Adit memutuskan untuk mencari foto di sekitaran Desa Bekarah karena desa ini terletak di punggung Sinabung. Jadi bila terjadi erupsi, setidaknya dirinya masih memiliki waktu untuk menyelamatkan diri.
“Aku sudah melarang mereka untuk ke Sukameriah karena di sana ada jalur guguran lava. Tapi, mereka bersikeras untuk ke sana dengan alasan momen di sana lebih bagus,” ujarnya.
Desa Bekerah dan Desa Sukameriah letaknya bersebelahan hanya dipisahkan oleh jalan yang beraspal yang saat ini sudah terputus karena lava dingin. Percakapan malam itulah yang disesali oleh Adit karena kedua temannya tidak mengindahkan pendapatnya. “Kalau saja mereka mendengar apa yang aku katakan. Tapi ya sudahlah, ini adalah takdir Tuhan yang tidak bisa dielakkan,” ucapnya dengan nada rendah.
Setelah malam yang menandakan berakhirnya Januari 2014 tersebut, ketiga sahabat ini berpisah. Adit menuju Desa Tigapancur, sedangkan kedua sahabatnya memutuskan untuk kembali ke Perteguhan dan menginap di sana.
Sabtu (31/1) sekitar pukul 08.30 WIB , bersama dengan kamera dan peralatannya, Adit menuju ke Desa Bekerah. Dan tidak ada lagi komunikasi bersama dengan kedua temannya itu. Di Desa Berkerah, Adit sempat melihat warga desa yang kembali untuk mengurus lahan dan rumah. Anak ketiga dari 5 bersaudara ini memutuskan untuk berdiam sejenak di desa tersebut sambil menunggu momen yang tepat untuk mengambil foto.
Tetapi, setelah lebih dari 2 jam berada di desa tesebut, perasaan yang tidak tenang menghampiri pria kelahiran Tanjungmorawa ini. Perasaan ini membuatnya memutuskan untuk turun dan kembali ke zona aman.
“Saat aku sudah berada di kawasan yang tenang, tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh. Di situ aku yakin, gunung kembali marah. Aku berteriak kepada penduduk agar mereka segera turun. Sambil berlari, aku turun. Di sinilah aku mendapatkan momen foto yang dipajang di seluruh media cetak itu. Dan Tuhan benar-benar menolong aku, aku diberi kesempatan untuk turun sebelum gunung erupsi,” tambahnya.
Setelah berhasil memetikkan kameranya, Adit kembali ke Desa Tigapancur. Tetapi, perasaan tidak nyaman tersebut belum hilang juga dari benaknya. Tepat pukul 13.00 WIB, dia baru mengetahui kenapa timbul perasaan tidak nyaman tersebut.
“Aku mendengar, Sukameriah terkena awan panas dan kedua sahabat aku berencana ke sana. Aku yakin, tapi tidak bisa memastikan,” cerita Adit dengan nada suara yang makin berubah.
Detik itu juga, bersama dengan warga, dia menuju Sukameriah. Namun, Adit ragu memasuki kawasan yang sudah hilang bentuk itu. Dia kembali ke Tigapancur. Tak berapa lama kemudian, ada lagi warga yang ke Sukameriah, Adit pun bergerak ikut. Tapi, sekali lagi, dia kembali mengurungkan niat. Keingintahuan terhadap nasib kedua sahabat dan kesadaran akan keselamatan dirilah yang membuat dia bolak-balik membatalkan niatnya ke Sukameriah. Tapi, tidak kehilangan akal, Adit mencoba menelepon nomor ponsel Thomas. Nada panggil terdengar, sayang tidak ada jawaban dari seberang.
Hingga sore, saat tim evakuasi dari TNI, Basarnas, dan warga menuju ke Sukameriah, tepatnya sekira pukul 15.30 WIB, Adit baru memberanikan diri. Sembari mencari kedua sahabatnya itu, Adit terus memotret mayat-mayat yang telah tegang dan tergeletak begitu saja. Dan, lagi-lagi, Adit tak menemukan sahabatnya itu.
Barulah ketika magrib menjelang, saat mayat-mayat diindentifikasi di RSUD Kabanjahe, Adit tersadar. “Mereka terkena awan panas. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Ini perasaan kehilangan, kehilangan sangat dalam. Orang terdekatmu yang menghabiskan waktu malam-malam di Sinabung bersama hilang. Kau makan sepiring bersama mereka. Kau ada tapi tidak melihat!” tangis Adit mulai terdengar.
“Kalau saja pemerintah lebih perhatian… kalau saja pemerintah lebih tegas. Kau tahu, tidak ada plang di desa itu untuk menandakan bahwa itu daerah berbahaya. Mau dari Karo apalagi BNPB. Ini nyawa, masalah nyawa. Uang yang mereka gunakan itu uang masyarakat. Jadi, kenapa mereka sebegitu tidak pedulinya?” tambahnya dengan suara yang mengeras.
Mengetahui berita tentang sahabatnya, Adit mencoba menenangkan diri, dirinya tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya. Bahkan, rasa sedih dan kehilangan yang dirasakannya tidak bisa digambarkannya dengan kata-kata. Semalaman, dengan beban tersebut, Adit hanya mampu bolak balik dari RSUD dan Desa Tigapancur. Rasa trauma pun menghantui pria kelahiran 7 Desember 1984 ini. Hingga akhirnya, dirinya memutuskan untuk kembali ke Medan (Minggu pagi, 2/2).
“Aku akan tetap mengabdikan momen dengan kameraku. Tapi, untuk ke Sinabung, aku tunggu beberapa hari lagi lah. Aku harus berziarah terlebih dahulu ke makam adik-adikku (Rizal dan Thomas). Aku menyesali sikap mereka, tapi aku juga harus terima. ini Takdir,” lanjutnya.
Kejadian inipun memberikan pelajaran berharga bagi Adit. Seberapa berat dan keras kerja, maka pakailah logika, gunakan otak, agar tidak tersesat dalam melaksanakan pekerjaan terutama yang menantang maut. “Apa yang saya sampaikan di malam itu, mereka mengetahuinya. Thomas bukan orang baru di Sinabung. Begitu juga Jack (Rizal). Andaikan mereka memercayai logika mereka, andai saja mereka meyakini apa yang ada di hati mereka. Andai saja, pemerintah lebih tegas, andai saja…,” ungkapnya sambil menghela napas. (rbb)