25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Benteng Pertahanan Perang pada Abad ke-16

Benteng Putri Hijau, Peninggalan Sejarah yang Diabaikan

Benteng Putri Hijau Delitua, merupakan benteng pertahanan militer yang memanfaatkan kontur tanah dengan kearifan lokal masyarakat Aru pada abad ke-16 hingga 17 Masehi. Tapi kini, bangunan benteng itu di buldozer pemerintah.

Rahmad Sazali, Deli Serdang

Peneliti Pussis Unimed Erond Damanik menceritakan, sejak 2008 awal, telah ramai dibicarakan berhubung karena adanya pengrusakan situs untuk dijadikan sebagai lahan perumahan. “Karenanya, Sejarawan di Medan melakukan protes terhadap tindakan yang menelantarkan dan membuldozer situs tersebut pada tiga tahun silam. Derasnya sikap protes terhadap tindakan pengrusakan situs tersebut, membuat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Banda Aceh melakukan penggalian penyelamatan pada Oktober 2008 lalu,” ujarnya, Rabu (1/6).

Kemudian, langkah serupa diikuti oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Deli Serdang yang menggagas dan melakukan penelitian komprehensif di Situs Benteng Putri Hijau Delitua pada April 2009 lalu.

Lebih lanjut Erond menambahkan, rekomendasi dari kedua penelitian tesebut adalah kewajiban untuk melestarikan Benteng Putri Hijau sebagai cagar budaya. Karena penelitian tersebut telah membuktikan Benteng Putri Hijau adalah situs sejarah yang berasal dari abad ke-16-17 masehi.

“Gundukan tanah yang membentuk persegi tanah mengikuti kontur dan topografi tanah tersebut merupakan kreasi manusia dan bukan bentukan alam semata. Oleh karena itu, Benteng Putri Hijau wajib dijaga dan didaftarkan sebagai warisan sejarah yang dilindungi oleh undang-undang,” katanya.

Tapi, sambungnya, berdasarkan pantauan Pussis Unimed tertanggal 1 Juni 2011 yang mengunjungi Benteng Putri Hijau di Delitua bersama dengan Dr Edward McKinnon, seorang arkeolog berkebangsaan Inggris sekaligus konsultan arkeologi Pussis Unimed, terlihat badan benteng di Dusun XI Desa Delitua telah diratakan kembali dengan buldozer. “Ditempat yang diratakan tersebut, terdapat gundukan batu dan pasir yang akan digunakan dalam rangka membangun perumahan. Juga patok-patok untuk batas pendirian rumah telah ditancapkan. Badan benteng yang diratakan tersebut sepanjang 150-200 meter di sebelah Selatan Dusun XI dan sebelah Utara telah diratakan dengan lahan persawahan,” tutur Erond.

Sementara itu, Kepala Pussis Unimed Ichwan Azhari kesal melihat ketidakseriusan dari Pemkab Deli Serdang dalam pelestarian dan penyelamatan Situs Sejarah yang sangat penting, terutama bagi orang Melayu dan Karo tersebut.
“Mengapa izin mendirikan bangunan di situs sejarah kembali dikeluarkan oleh Pemkab Deli Serdang? Berdasarkan hasil penelitian, situs tersebut sudah jelas-jelas dinyatakan sebagai situs sejarah yang wajib dilindungi,” tegasnya.
Ichwan menambahkan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Deli Serdang yang menggagas penelitian dua tahun silam, jelas sekali mengetahui Benteng Putri Hijau Delitua adalah situs sejarah yang wajib dilindungi. “Mereka pasti mengetahui Benteng Putri Hijau telah dinyatakan sebagai situs sejarah dan laporan penelitian ada pada mereka,” katanya.

Masih Ichwan, jelas sekali tak ada kordinasi antar instansi dan antar dinas di Deli Serdang. “Hal ini terbukti dengan keluarnya izin mendirikan rumah di lahan situs yang jelas sekali bertentangan dengan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam waktu dekat, kami akan mencoba beraudiensi dengan pemkab Deli Serdang perihal pengrusakan situs tersebut,” tegasnya dengan raut wajah kecewa dan memerah.

Sementara itu, Edward McKinnon yang juga turut serta dalam rombongan tersebut memperlihatkan kekecewaannya terhadap benteng yang lagi-lagi harus menerima perlakukan tidak manusiawi itu. “Mengapa benteng yang begitu memiliki nilai sejarah ini harus di buldozer?” katanya.

Arkeolog berkebangsaan Inggris itu mengemukakan, hasil penelitian sudah jelas merekomendasikan Benteng Putri Hijau wajib dilindungi. Pengrusakan terhadap benteng ini memperlihatkan Pemerintah Indonesia khususnya Deli Serdang menunjukkan perhatian minim terhadap pelestarian situs sejarah. “Ini akan membuat citra pemerintah semakin jelek,” tegasnya mengungkapkan kekecewaannya.

Untuk diketahui, McKinnon merupakan arkeolog yang pertama sekali meneliti tentang Benteng Putri Hijau dan diikuti kemudian oleh John Norman Miksic pada 1970-an. (*)

Benteng Putri Hijau, Peninggalan Sejarah yang Diabaikan

Benteng Putri Hijau Delitua, merupakan benteng pertahanan militer yang memanfaatkan kontur tanah dengan kearifan lokal masyarakat Aru pada abad ke-16 hingga 17 Masehi. Tapi kini, bangunan benteng itu di buldozer pemerintah.

Rahmad Sazali, Deli Serdang

Peneliti Pussis Unimed Erond Damanik menceritakan, sejak 2008 awal, telah ramai dibicarakan berhubung karena adanya pengrusakan situs untuk dijadikan sebagai lahan perumahan. “Karenanya, Sejarawan di Medan melakukan protes terhadap tindakan yang menelantarkan dan membuldozer situs tersebut pada tiga tahun silam. Derasnya sikap protes terhadap tindakan pengrusakan situs tersebut, membuat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Banda Aceh melakukan penggalian penyelamatan pada Oktober 2008 lalu,” ujarnya, Rabu (1/6).

Kemudian, langkah serupa diikuti oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Deli Serdang yang menggagas dan melakukan penelitian komprehensif di Situs Benteng Putri Hijau Delitua pada April 2009 lalu.

Lebih lanjut Erond menambahkan, rekomendasi dari kedua penelitian tesebut adalah kewajiban untuk melestarikan Benteng Putri Hijau sebagai cagar budaya. Karena penelitian tersebut telah membuktikan Benteng Putri Hijau adalah situs sejarah yang berasal dari abad ke-16-17 masehi.

“Gundukan tanah yang membentuk persegi tanah mengikuti kontur dan topografi tanah tersebut merupakan kreasi manusia dan bukan bentukan alam semata. Oleh karena itu, Benteng Putri Hijau wajib dijaga dan didaftarkan sebagai warisan sejarah yang dilindungi oleh undang-undang,” katanya.

Tapi, sambungnya, berdasarkan pantauan Pussis Unimed tertanggal 1 Juni 2011 yang mengunjungi Benteng Putri Hijau di Delitua bersama dengan Dr Edward McKinnon, seorang arkeolog berkebangsaan Inggris sekaligus konsultan arkeologi Pussis Unimed, terlihat badan benteng di Dusun XI Desa Delitua telah diratakan kembali dengan buldozer. “Ditempat yang diratakan tersebut, terdapat gundukan batu dan pasir yang akan digunakan dalam rangka membangun perumahan. Juga patok-patok untuk batas pendirian rumah telah ditancapkan. Badan benteng yang diratakan tersebut sepanjang 150-200 meter di sebelah Selatan Dusun XI dan sebelah Utara telah diratakan dengan lahan persawahan,” tutur Erond.

Sementara itu, Kepala Pussis Unimed Ichwan Azhari kesal melihat ketidakseriusan dari Pemkab Deli Serdang dalam pelestarian dan penyelamatan Situs Sejarah yang sangat penting, terutama bagi orang Melayu dan Karo tersebut.
“Mengapa izin mendirikan bangunan di situs sejarah kembali dikeluarkan oleh Pemkab Deli Serdang? Berdasarkan hasil penelitian, situs tersebut sudah jelas-jelas dinyatakan sebagai situs sejarah yang wajib dilindungi,” tegasnya.
Ichwan menambahkan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Deli Serdang yang menggagas penelitian dua tahun silam, jelas sekali mengetahui Benteng Putri Hijau Delitua adalah situs sejarah yang wajib dilindungi. “Mereka pasti mengetahui Benteng Putri Hijau telah dinyatakan sebagai situs sejarah dan laporan penelitian ada pada mereka,” katanya.

Masih Ichwan, jelas sekali tak ada kordinasi antar instansi dan antar dinas di Deli Serdang. “Hal ini terbukti dengan keluarnya izin mendirikan rumah di lahan situs yang jelas sekali bertentangan dengan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam waktu dekat, kami akan mencoba beraudiensi dengan pemkab Deli Serdang perihal pengrusakan situs tersebut,” tegasnya dengan raut wajah kecewa dan memerah.

Sementara itu, Edward McKinnon yang juga turut serta dalam rombongan tersebut memperlihatkan kekecewaannya terhadap benteng yang lagi-lagi harus menerima perlakukan tidak manusiawi itu. “Mengapa benteng yang begitu memiliki nilai sejarah ini harus di buldozer?” katanya.

Arkeolog berkebangsaan Inggris itu mengemukakan, hasil penelitian sudah jelas merekomendasikan Benteng Putri Hijau wajib dilindungi. Pengrusakan terhadap benteng ini memperlihatkan Pemerintah Indonesia khususnya Deli Serdang menunjukkan perhatian minim terhadap pelestarian situs sejarah. “Ini akan membuat citra pemerintah semakin jelek,” tegasnya mengungkapkan kekecewaannya.

Untuk diketahui, McKinnon merupakan arkeolog yang pertama sekali meneliti tentang Benteng Putri Hijau dan diikuti kemudian oleh John Norman Miksic pada 1970-an. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/