27.8 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Lebih Ngeri Dibanding Tugas di Aceh

Sejak Oktober 2013 lalu, Serda Musa Arsi dan Serda Sudiyono ditugaskan menjaga pintu perbatasan zona merah atau daerah radius rawan yang berada di Desa Payung Simpang Gurki Kecamatan Payung Kabupaten Karo. Seperti apa kisah mereka?

Parlindungan Harahap, Karo

PENJAGA: Serda Sudiyono (kiri) dan Serda Musa Arsi (kanan) penjaga zona merah di Desa Gurukinayan, Kecamatan Payung,  Karo, Senin (3/2). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
PENJAGA: Serda Sudiyono (kiri) dan Serda Musa Arsi (kanan) penjaga zona merah di Desa Gurukinayan, Kecamatan Payung, Karo, Senin (3/2). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Hanya didukung portal terbuat dari bambu dan spanduk bertuliskan larangan masuk, kedua personel TNI dari Kodim 0205 itu, berupaya mensterilkan daerah yang menghubungkan langsung ke mulut kawah Sinabung itu, dengan berjaga di radius 5 kilometer dari Sinabung. Terlebih, ada beberapa jalan tembusan (jalan tikus) untuk sampai ke daerah yang terdapat 3 desa di dalamnya itu, yaitu Desa Sukameriah, Desa Simacem, dan Desa Bekerah sehingga menuntut untuk siaga ekstra.

“Untuk tidur, biasanya kita tidur di warung kopi di depan jalan masuk zona merah yang kita jaga. Terkadang, kita tidur di teras rumah warga dengan beralas tikar. Selain tempat, tanggung jawab atas tugas yang kita emban juga membuat kita tidak nyenyak tidur,” ungkap Serda Sudiyono ketika berbincang dengan Sumut Pos di Simpang Desa Guru Kinayan, Senin (3/2) pagi.

Begitu juga untuk mandi, bapak 2 anak itu mengaku melakukannya di kamar mandi sebuah Sekolah Dasar Negeri yang ada di Desa Payung Kecamatan Payung. Namun, diakui anggota TNI yang tinggal di Desa Samura Kecamatan Kabanjahe itu, kalau kenyamanan selayaknya membersihkan badan, tidak didapatinya. Disebutnya, hal itu mengingat tugas dan tanggung jawab yang diembannya untuk tetap siaga dan bergerak cepat.

“Pada dasarnya, kita merasa puas dapat berbuat untuk masyarakat. Oleh karena itu, kita tetap bertahan, untuk melaksanakan tugas pengabdian kita dengan ikhlas. Namun tidak dipungkiri, kita juga rindu untuk dapat kembali berkumpul dengan keluarga dan beraktivitas seperti biasanya, “ ujar Sudiyono menambahkan.

Untuk perasaan khawatir, Serda Sudiyono mengaku merasa lebih khawatir menjaga pintu berbatasan zona merah Sinabung, bila dibanding saat dirinya bertugas di daerah konflik seperti di Aceh beberapa tahun lalu. Dikatakannya, hal itu mengingat bahaya yang dihadapi. Disebutnya, ketika dirinya berada di daerah konflik, hal terbesar dihadapi adalah serangan musuh yang pada dasarnya dapat diprediksi. Namun, untuk tugas menjaga pintu perbatasan zona merah, bahaya yang dihadapi adalah alam yang tidak dapat diprediksi secara pasti, sekalipun menggunakan alat pendeteksi.

“Seperti hal paling tidak terlupakan oleh saya yaitu saat gunung itu pernah bererupsi besar. Saat itu saya berada di perbatasan Desa Gurukinayan dan Desa Sukameriah. Saat itu, saya bersama masyarakat, sama-sama lari untuk menyelamatkan diri, “ ujarnya.

Senada dengan Serda Sudiyono, Serda Musa Asri juga mengaku belum pernah merasakan tidur yang nyenyak, selama ditugaskan di pintu perbatasan zona merah Sinabung. Namun, dia tidak mengeluh. Pasalnya, hal itu sudah menjadi konsekwensi baginya sebagai seorang Tentara Nasional Indonesia. Begitu juga dengan kerinduannya pada keluarga, diakuinya terobati dengan cara berkomunikasi via telepon. Dikatakan bapak 4 anak itu, kabar akan kondisi baik keluarga, menjadikannya semakin kuat untuk bertahan melaksanakan tugas pengabdiannya itu.

“Dengan kedatangan mereka, saat itu saya merasa kerinduan saya semakin terobati. Saat itu mereka bermaksud berwisata, sembari mengunjungi saya. Namun, perlu diketahui kalau keluarga tentara, harus siap dengan konsekwensi seperti ini, “ ungkap Anggota TNI yang tinggal di Jalan Turi Kecamatan Medan Kota itu singkat.

Saat disinggung adanya masyarakat masuk ke daerah larangan hingga memakan korban jiwa beberapa waktu lalu, Sudiyono dan Musa mengaku kalau mereka yang masuk sudah diperingatkan sebelumnya. Bahkan, keduanya meyakini kalau mereka yang masuk ke daerah berbahaya itu melalui jalan tikus. “Kalau untuk pintu perbatasan zona merah yang ada di Kecamatan Payung ini, ada 4 pintu perbatasan yaitu Simpang Gurki, Simpang Perbaji, Simpang Temberun, dan Simpang Mardinding. Namun, pintu perbatasan di Simpang Gurki ini yang menjadi jalur terdekat dan langsung menuju mulut kawas gunung,” pungkasnya. (rbb)

Sejak Oktober 2013 lalu, Serda Musa Arsi dan Serda Sudiyono ditugaskan menjaga pintu perbatasan zona merah atau daerah radius rawan yang berada di Desa Payung Simpang Gurki Kecamatan Payung Kabupaten Karo. Seperti apa kisah mereka?

Parlindungan Harahap, Karo

PENJAGA: Serda Sudiyono (kiri) dan Serda Musa Arsi (kanan) penjaga zona merah di Desa Gurukinayan, Kecamatan Payung,  Karo, Senin (3/2). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
PENJAGA: Serda Sudiyono (kiri) dan Serda Musa Arsi (kanan) penjaga zona merah di Desa Gurukinayan, Kecamatan Payung, Karo, Senin (3/2). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Hanya didukung portal terbuat dari bambu dan spanduk bertuliskan larangan masuk, kedua personel TNI dari Kodim 0205 itu, berupaya mensterilkan daerah yang menghubungkan langsung ke mulut kawah Sinabung itu, dengan berjaga di radius 5 kilometer dari Sinabung. Terlebih, ada beberapa jalan tembusan (jalan tikus) untuk sampai ke daerah yang terdapat 3 desa di dalamnya itu, yaitu Desa Sukameriah, Desa Simacem, dan Desa Bekerah sehingga menuntut untuk siaga ekstra.

“Untuk tidur, biasanya kita tidur di warung kopi di depan jalan masuk zona merah yang kita jaga. Terkadang, kita tidur di teras rumah warga dengan beralas tikar. Selain tempat, tanggung jawab atas tugas yang kita emban juga membuat kita tidak nyenyak tidur,” ungkap Serda Sudiyono ketika berbincang dengan Sumut Pos di Simpang Desa Guru Kinayan, Senin (3/2) pagi.

Begitu juga untuk mandi, bapak 2 anak itu mengaku melakukannya di kamar mandi sebuah Sekolah Dasar Negeri yang ada di Desa Payung Kecamatan Payung. Namun, diakui anggota TNI yang tinggal di Desa Samura Kecamatan Kabanjahe itu, kalau kenyamanan selayaknya membersihkan badan, tidak didapatinya. Disebutnya, hal itu mengingat tugas dan tanggung jawab yang diembannya untuk tetap siaga dan bergerak cepat.

“Pada dasarnya, kita merasa puas dapat berbuat untuk masyarakat. Oleh karena itu, kita tetap bertahan, untuk melaksanakan tugas pengabdian kita dengan ikhlas. Namun tidak dipungkiri, kita juga rindu untuk dapat kembali berkumpul dengan keluarga dan beraktivitas seperti biasanya, “ ujar Sudiyono menambahkan.

Untuk perasaan khawatir, Serda Sudiyono mengaku merasa lebih khawatir menjaga pintu berbatasan zona merah Sinabung, bila dibanding saat dirinya bertugas di daerah konflik seperti di Aceh beberapa tahun lalu. Dikatakannya, hal itu mengingat bahaya yang dihadapi. Disebutnya, ketika dirinya berada di daerah konflik, hal terbesar dihadapi adalah serangan musuh yang pada dasarnya dapat diprediksi. Namun, untuk tugas menjaga pintu perbatasan zona merah, bahaya yang dihadapi adalah alam yang tidak dapat diprediksi secara pasti, sekalipun menggunakan alat pendeteksi.

“Seperti hal paling tidak terlupakan oleh saya yaitu saat gunung itu pernah bererupsi besar. Saat itu saya berada di perbatasan Desa Gurukinayan dan Desa Sukameriah. Saat itu, saya bersama masyarakat, sama-sama lari untuk menyelamatkan diri, “ ujarnya.

Senada dengan Serda Sudiyono, Serda Musa Asri juga mengaku belum pernah merasakan tidur yang nyenyak, selama ditugaskan di pintu perbatasan zona merah Sinabung. Namun, dia tidak mengeluh. Pasalnya, hal itu sudah menjadi konsekwensi baginya sebagai seorang Tentara Nasional Indonesia. Begitu juga dengan kerinduannya pada keluarga, diakuinya terobati dengan cara berkomunikasi via telepon. Dikatakan bapak 4 anak itu, kabar akan kondisi baik keluarga, menjadikannya semakin kuat untuk bertahan melaksanakan tugas pengabdiannya itu.

“Dengan kedatangan mereka, saat itu saya merasa kerinduan saya semakin terobati. Saat itu mereka bermaksud berwisata, sembari mengunjungi saya. Namun, perlu diketahui kalau keluarga tentara, harus siap dengan konsekwensi seperti ini, “ ungkap Anggota TNI yang tinggal di Jalan Turi Kecamatan Medan Kota itu singkat.

Saat disinggung adanya masyarakat masuk ke daerah larangan hingga memakan korban jiwa beberapa waktu lalu, Sudiyono dan Musa mengaku kalau mereka yang masuk sudah diperingatkan sebelumnya. Bahkan, keduanya meyakini kalau mereka yang masuk ke daerah berbahaya itu melalui jalan tikus. “Kalau untuk pintu perbatasan zona merah yang ada di Kecamatan Payung ini, ada 4 pintu perbatasan yaitu Simpang Gurki, Simpang Perbaji, Simpang Temberun, dan Simpang Mardinding. Namun, pintu perbatasan di Simpang Gurki ini yang menjadi jalur terdekat dan langsung menuju mulut kawas gunung,” pungkasnya. (rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/