30.6 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Dilema Belajar Daring di Masa Pandemi, Pelajar di Sumut Banyak Menikah dan Bekerja

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pandemi Covid-19 bukan hanya berdampak terhadap sosial ekonomi, melainkan juga di sektor pendidikan. Dampak tersebut yaitu banyak pelajar di Sumatera Utara (Sumut) yang menikah dan bekerja saat pandemi.

BELAJAR DARI RUMAH: Abel A, seorang siswi sekolah dasar, sedang belajar daring dari rumah di tengah pandemi Covid-19. Tahun ajaran baru 2020/2021 dimulai Juli mendatang. Pembelajaran tatap muka hanya dibolehkan di daerah zona hijau.
BELAJAR DARI RUMAH: Abel A, seorang siswi sekolah dasar, sedang belajar daring dari rumah di tengah pandemi Covid-19. Tahun ajaran baru 2020/2021 dimulai Juli mendatang. Pembelajaran tatap muka hanya dibolehkan di daerah zona hijau.

Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan Sumut Prof Syaifuddin yang mengidentifikasi sekitar 800 siswa yang tidak masuk sekolah lagi meski Pembelajaran Tatap Muka sudah dimulai. “Sekolah tatap muka sudah dimulai namun banyak siswa tidak masuk. Ada yang mungkin kelamaan libur, ada yang kita temukan karena sudah bekerja. Dan banyak juga yang menikah. Ada sekitar 800 orang karena tiga alasan tersebut,” kata Syaifuddin saat memberikan sambutan pada acara Workshop Pendidikan ‘Peran Dana Bos dalam Rangka Akselerasi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas’ di Hotel Four Point, Medan, Selasa (28/9) lalu.

Menyikapi ini, Pengamat kesehatan masyarakat dari USU, Destanul Aulia mengatakan persoalan tersebut merupakan masalah serius. Semua pihak harus sama-sama bergandengan tangan untuk menyelesaikan persoalannya. “Bukan hanya Dinas Pendidikan tapi semua sektor. Persoalan itu merupakan tanggung jawab bersama,” kata Destanul saat diminta tanggapannya, Senin (4/10).

Menurut Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia(IAKMI) Sumut ini, banyaknya pelajar menikah dini merupakan akumulasi dari banyak faktor. Di antaranya, faktor internal seperti pendidikan anak itu sendiri, tingkat pemahaman agama, tingkat kematangan emosional dan faktor eksternal, yaitu tingkat pendidikan ayah dan ibu, sosial ekonomi keluarga, nilai budaya.

“Nilai budaya sepertinya mendominasi, seperti pandangan terhadap anak perempuan yang sering dianggap sebagai aset keluarga dan mempunyai nilai kehormatan yang tinggi, dan juga sering dianggap hanya mempunyai tujuan untuk menikah dan mempunyai anak,” paparnya.

Selain nilai budaya, lanjutnya, juga akses teknologi informasi yang terbatas di kalangan remaja sehingga informasi yang diterima tidak secara utuh dan menyebabkan peluang untuk mendapatkan pengetahuan ataupun informasi lainnya menjadi hambatan utama. Artinya, hanya terbatas saja mendiskusikannya di kalangan mereka, sehingga mendorong menikah dini untuk remaja di pedesaan. “Sedangkan di perkotaan sebaliknya, akses informasi yang terbuka lebar dan akses kasih sayang keluarga yang terbatas menyebabkan pergaulan yang bebas dan mendorong untuk menikah dini,” paparnya.

Diutarakan Destanul, menikah dini sangat tidak baik bagi kesehatan remaja. Begitu juga masa depan bangsa yang sangat bergantung dengan perjalanan kehidupan manusia mulai dari bayi, balita, remaja, dewasa dan lansia. “Remaja yang menikah dini belum memiliki fungsi organ yang kuat, seperti organ intim dan sistem reproduksi.

Di sisi lain, belum memiliki kesiapan dari segi emosional dan juga belum siap dari sisi sosial dan budaya. Ketidaksiapan ini mempengaruhi peta perjalanan kehidupan manusia. Karena itu, akan lahir bayi yang cenderung prematur dan stunting, balita yang sering sakit-sakitan, dewasa yang sering terserang penyakit menular dan lansia cenderung mempunyai metabolisme yang kurang baik sehingga rentan terhadap penyakit tidak menular seperti diabetes, jantung dan stroke. “Untuk itu, dibuat aturan untuk usia pernikahan yaitu 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki,” jelasnya.

Lebih lanjut Destanul mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini sehingga menyelesaikan permasalahan ini bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan saja, tetapi tanggung jawab juga diberikan kepada BKKBN. Sebab, BKKBN tugasnya bagaimana membangun keluarga sejahtera. “Jadi semua itu dimulai dari keluarga. Bahkan, pernikahan dini itu merupakan program yang unggul di BKKBN,” ujarnya.

Dia berpendapat, untuk mencegah ini maka semua sektor harus berperan aktif dalam mencegah pernikahan dini. Kementerian Agama dan ulama misalnya, bisa memberikan penyuluhan dari sisi agama. Kemudian dari sisi pendidikan kesehatan, sangat penting karena kesehatan remaja itu masuk dalam salah satu tujuan.

Dengan kata lain, setiap remaja harus diberikan edukasi seks remaja sehingga mereka mau terbuka dan transparan kepada keluarganya, kawan dan guru. Kalau ini bisa dikomunikasikan, tentu akan menghambat terjadi pernikahan dini. Menikah dan bekerja di usia sekolah mengganggu masa depan bangsa. Kalau terganggu bisa membuat produktivitas menurun, dan akibatnya tidak bisa bersaing dengan negara yang lain. Parahnya, negara kita nanti sibuk mengurusi orang sakit saja. Untuk itu, ini harus menjadi perhatian besar bagi negara dan diminta Pemprovsu memberikan perhatian yang besar terutama program promotif dan preventif,” pungkas dia.

Namun berdasarkan data dari Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbudristek, angka putus sekolah di masa pandemi justru minim. Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zaenatul Haeri mengatakan, jumlah putus sekolah di masa pandemi Covid-19, yakni pada 2019/2020 sebesar 157.166 orang yang terdiri dari 59.443 jenjang SD, 38.464 SMP, 26.864 SMA, 32.395 SMK. Kemudian tahun ajaran 2020/2021, angka putus sekolah hanya 4.916 anak, terdiri dari 2.790 SD, 976 SMP, 541 SMA dan 609 SMK.

Dibandingkan angka putus sekolah di masa pandemi, jumlah terbesar berada pada tahun ajaran 2018/2019 dengan total 301.127. Mereka terdiri dari 57.426 jenjang SD, 85.545 SMP, 52.142 SMA dan 106.014 SMK.”Angka ini menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak terjadi angka putus sekolah yang signifikan selama pandemi ini. Kita juga melihat PTM terbatas ini berdasarkan klaim keliru,” tutur dia.

Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Anang Ristanto mengatakan, bukan hanya meminimalisir angka putus sekolah, PTM terbatas juga dilakukan untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar. “Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari selama 1,5 tahun dan berpotensi menimbulkan dampak negatif sosial berkepanjangan yaitu putus sekolah, penurunan capaian belajar, kekerasan pada anak dan risiko eksternal,” jelas dia kepada JawaPos.com (Grup Sumut Pos), Senin (4/10).

Untuk itu, mau tidak mau, PTM terbatas dinilai menjadi langkah yang tepat agar pembelajaran dapat lebih efektif. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah pun harus sesuai dengan kebijakan yang ada.”Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melaksanakan PTM secara terbatas. Kami mendorong pelaksanaan PTM Terbatas sesuai dengan SKB 4 Menteri dan Instruksi Menteri Dalam Negeri,” pungkasnya. (ris/jpg)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pandemi Covid-19 bukan hanya berdampak terhadap sosial ekonomi, melainkan juga di sektor pendidikan. Dampak tersebut yaitu banyak pelajar di Sumatera Utara (Sumut) yang menikah dan bekerja saat pandemi.

BELAJAR DARI RUMAH: Abel A, seorang siswi sekolah dasar, sedang belajar daring dari rumah di tengah pandemi Covid-19. Tahun ajaran baru 2020/2021 dimulai Juli mendatang. Pembelajaran tatap muka hanya dibolehkan di daerah zona hijau.
BELAJAR DARI RUMAH: Abel A, seorang siswi sekolah dasar, sedang belajar daring dari rumah di tengah pandemi Covid-19. Tahun ajaran baru 2020/2021 dimulai Juli mendatang. Pembelajaran tatap muka hanya dibolehkan di daerah zona hijau.

Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan Sumut Prof Syaifuddin yang mengidentifikasi sekitar 800 siswa yang tidak masuk sekolah lagi meski Pembelajaran Tatap Muka sudah dimulai. “Sekolah tatap muka sudah dimulai namun banyak siswa tidak masuk. Ada yang mungkin kelamaan libur, ada yang kita temukan karena sudah bekerja. Dan banyak juga yang menikah. Ada sekitar 800 orang karena tiga alasan tersebut,” kata Syaifuddin saat memberikan sambutan pada acara Workshop Pendidikan ‘Peran Dana Bos dalam Rangka Akselerasi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas’ di Hotel Four Point, Medan, Selasa (28/9) lalu.

Menyikapi ini, Pengamat kesehatan masyarakat dari USU, Destanul Aulia mengatakan persoalan tersebut merupakan masalah serius. Semua pihak harus sama-sama bergandengan tangan untuk menyelesaikan persoalannya. “Bukan hanya Dinas Pendidikan tapi semua sektor. Persoalan itu merupakan tanggung jawab bersama,” kata Destanul saat diminta tanggapannya, Senin (4/10).

Menurut Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia(IAKMI) Sumut ini, banyaknya pelajar menikah dini merupakan akumulasi dari banyak faktor. Di antaranya, faktor internal seperti pendidikan anak itu sendiri, tingkat pemahaman agama, tingkat kematangan emosional dan faktor eksternal, yaitu tingkat pendidikan ayah dan ibu, sosial ekonomi keluarga, nilai budaya.

“Nilai budaya sepertinya mendominasi, seperti pandangan terhadap anak perempuan yang sering dianggap sebagai aset keluarga dan mempunyai nilai kehormatan yang tinggi, dan juga sering dianggap hanya mempunyai tujuan untuk menikah dan mempunyai anak,” paparnya.

Selain nilai budaya, lanjutnya, juga akses teknologi informasi yang terbatas di kalangan remaja sehingga informasi yang diterima tidak secara utuh dan menyebabkan peluang untuk mendapatkan pengetahuan ataupun informasi lainnya menjadi hambatan utama. Artinya, hanya terbatas saja mendiskusikannya di kalangan mereka, sehingga mendorong menikah dini untuk remaja di pedesaan. “Sedangkan di perkotaan sebaliknya, akses informasi yang terbuka lebar dan akses kasih sayang keluarga yang terbatas menyebabkan pergaulan yang bebas dan mendorong untuk menikah dini,” paparnya.

Diutarakan Destanul, menikah dini sangat tidak baik bagi kesehatan remaja. Begitu juga masa depan bangsa yang sangat bergantung dengan perjalanan kehidupan manusia mulai dari bayi, balita, remaja, dewasa dan lansia. “Remaja yang menikah dini belum memiliki fungsi organ yang kuat, seperti organ intim dan sistem reproduksi.

Di sisi lain, belum memiliki kesiapan dari segi emosional dan juga belum siap dari sisi sosial dan budaya. Ketidaksiapan ini mempengaruhi peta perjalanan kehidupan manusia. Karena itu, akan lahir bayi yang cenderung prematur dan stunting, balita yang sering sakit-sakitan, dewasa yang sering terserang penyakit menular dan lansia cenderung mempunyai metabolisme yang kurang baik sehingga rentan terhadap penyakit tidak menular seperti diabetes, jantung dan stroke. “Untuk itu, dibuat aturan untuk usia pernikahan yaitu 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki,” jelasnya.

Lebih lanjut Destanul mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini sehingga menyelesaikan permasalahan ini bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan saja, tetapi tanggung jawab juga diberikan kepada BKKBN. Sebab, BKKBN tugasnya bagaimana membangun keluarga sejahtera. “Jadi semua itu dimulai dari keluarga. Bahkan, pernikahan dini itu merupakan program yang unggul di BKKBN,” ujarnya.

Dia berpendapat, untuk mencegah ini maka semua sektor harus berperan aktif dalam mencegah pernikahan dini. Kementerian Agama dan ulama misalnya, bisa memberikan penyuluhan dari sisi agama. Kemudian dari sisi pendidikan kesehatan, sangat penting karena kesehatan remaja itu masuk dalam salah satu tujuan.

Dengan kata lain, setiap remaja harus diberikan edukasi seks remaja sehingga mereka mau terbuka dan transparan kepada keluarganya, kawan dan guru. Kalau ini bisa dikomunikasikan, tentu akan menghambat terjadi pernikahan dini. Menikah dan bekerja di usia sekolah mengganggu masa depan bangsa. Kalau terganggu bisa membuat produktivitas menurun, dan akibatnya tidak bisa bersaing dengan negara yang lain. Parahnya, negara kita nanti sibuk mengurusi orang sakit saja. Untuk itu, ini harus menjadi perhatian besar bagi negara dan diminta Pemprovsu memberikan perhatian yang besar terutama program promotif dan preventif,” pungkas dia.

Namun berdasarkan data dari Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbudristek, angka putus sekolah di masa pandemi justru minim. Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zaenatul Haeri mengatakan, jumlah putus sekolah di masa pandemi Covid-19, yakni pada 2019/2020 sebesar 157.166 orang yang terdiri dari 59.443 jenjang SD, 38.464 SMP, 26.864 SMA, 32.395 SMK. Kemudian tahun ajaran 2020/2021, angka putus sekolah hanya 4.916 anak, terdiri dari 2.790 SD, 976 SMP, 541 SMA dan 609 SMK.

Dibandingkan angka putus sekolah di masa pandemi, jumlah terbesar berada pada tahun ajaran 2018/2019 dengan total 301.127. Mereka terdiri dari 57.426 jenjang SD, 85.545 SMP, 52.142 SMA dan 106.014 SMK.”Angka ini menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak terjadi angka putus sekolah yang signifikan selama pandemi ini. Kita juga melihat PTM terbatas ini berdasarkan klaim keliru,” tutur dia.

Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Anang Ristanto mengatakan, bukan hanya meminimalisir angka putus sekolah, PTM terbatas juga dilakukan untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar. “Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari selama 1,5 tahun dan berpotensi menimbulkan dampak negatif sosial berkepanjangan yaitu putus sekolah, penurunan capaian belajar, kekerasan pada anak dan risiko eksternal,” jelas dia kepada JawaPos.com (Grup Sumut Pos), Senin (4/10).

Untuk itu, mau tidak mau, PTM terbatas dinilai menjadi langkah yang tepat agar pembelajaran dapat lebih efektif. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah pun harus sesuai dengan kebijakan yang ada.”Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melaksanakan PTM secara terbatas. Kami mendorong pelaksanaan PTM Terbatas sesuai dengan SKB 4 Menteri dan Instruksi Menteri Dalam Negeri,” pungkasnya. (ris/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/