“Perlakuan tidak santun seperti ini yang membuat orang tidak percaya partai. Harusnya sejak awal, ditegaskan. Apalagi tentu seorang calon seperti Tengku Erry tentu sudah membangun basis dukungan masyarakat. Tentu juga, wajar saja kalau muncul dugaan negative tentang apa pertimbangan pemilihan calon yang akan diusung,” katanya.
Pengamat Politik, Warjio menilai hilangnya dukungan partai politik (Parpol) dari genggaman Tengku Erry Nuradi, menunjukkan bahwa keputusan parpol masih berada ditangan elit atau sentralistik.
Dia bilang, kandasnya peluang Tengku Erry Nuradi untuk berlaga di Pilgubsu 2018 karena beberapa hal. Di antaranya ada hubungan yang kurang harmonis antara Tengku Erry dan parpol pengusungnya.
Menurutnya, kesalahan utama Tengku Erry adalah mengabaikan Ngogesa Sitepu. Di mana ketika Partai Golkar masih dipimpin oleh Setya Novanto, Partai Golkar mengeluarkan rekomendasi untuk Tengku Erry – Ngogesa Sitepu. Kenyataanya, Tengku Erry mengabaikan keputusan tersebut. Dan pada akhirnya, terjadi pergantian nahkoda di Partai Golkar dari Setnov ke Airlangga Hartarto.
Kata dia, Airlangga yang menjabat Menteri Perindustrian itu ingin melakukan bersih – bersih di tubuh partai Golkar, salah satunya menganulir beberapa keputusan pendahulunya.
Disisi lain, Ketua DPD Golkar Sumut, Ngogesa Sitepu juga merupakan gerbong yang mendesak agar dilaksanakannya Munaslub dan mendukung pencalonan Airlangga.
“Menurut saya, bisa saja ada semacam balas dendam. Ngogesa berbicara kepada Airlangga untuk mencabut dukungan dari Tengku Erry,”bilangnya.
Akademisi asal USU itu pun menyebut kemampuan Tengku Erry dalam menjalankan roda pemerintahan juga kurang baik. (boy/jpnn/bal/dik/ila)