32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Sahnan dan Asnah, Manusia Perahu di Perairan Belawan (2/Habis)

Pahitnya hidup yang dialami keduanya menjadi bagian kisah dalam hari-hari, Sahnan dan Asnah. Keadaan tempat tinggal yang serba terbatas terkadang membuat keduanya beribadah secara bergantian, karena kondisi perahu yang sempit.
“Kalau mau salat bergantian di depan (lambung) perahu dekat tumpukan jaring,” ungkap Sahnan sembari tersenyum tipis.
Tidak hanya soal beribadah, soal urusan tidur pun mereka harus ‘mengakali’. Artinya, kehidupan layaknyan
suami istri tak bisa mereka nikmati lagi. Ya, tak ada istilah Sahnan dan Asnah tidur berdampingan di kasu yang empuk dan hangat. “Istri tidur di dalam bilik, sedang saya di tumpukan jaring,” ungkapnya.
Kerasnya hidup di tengah keterbatasan dan hanya mengandalkan sebuah perahu, terkadang tidak berjalan mulus. Keduanya mengaku saat melaut pernah menjadi sasaran pungli oknum kapal patroli aparat penegak hukum di laut. Saat itu, Sahnan dan Asnah dalam pelayaran menuju pulang ke pinggiran hutan mangrove (bakau) Paluh Perta, Belawan. Mereka dihampiri petugas.
Saat itu, petugas patroli meminta ikan hasil tangkapan keduanya. Mendengar permintaan itu, Sahnan yang hanya membawa pulang 3 ekor ikan jenis ikan senangin merintih dalam hati. Dengan nada kesal ia pun balik menghardik oknum petugas itu sambil menunjukan ikan hasil tangkapannya tersebut. “Cobalah, sudah ikan hasil tangkap cuma 3 ekor petugas patroli datang dan sedikit memaksa minta ikan. Saya yang sedang capek pulang habis melaut dan ikan pun sedikit. Langsung saja saya bilang ‘apakah gaji diberi negara ke bapak masih kurang sampai tega memeras nelayan kecil seperti
Saya’,” cetus Sahnan pada oknum petugas patroli waktu itu.
Mendengar ucapan, Sahnan oknum petugas yang tadinya bermaksud meminta ikan tangkapan nelayan tradisional ini akhirnya mengurungkan niatnya. Dengan nada sedikit membentak oknum petugas kapal patroli itu pun pergi meninggalkan Sahnan dan Asnah.”Yang buat saya kesal kenapa nelayan kecil seperti saya ini yang dimintai ikan. Kalaulah pagi itu memang ikan hasil tangkapan saya banyak, tidak masalah. Pasti saya kasih,” tegas Sahnan.
Tidak hanya menjadi sasaran pungli, Sahnan mengaku jaringnya juga pernah ditabrak kapal ikan berukuran 10 gross tonase milik pengusaha di Gabion, Belawan. Kondisi alat tangkapnya yang rusak berat hanya diganti rugi Rp300 ribu oleh seorang petugas pengawas yang mengaku suruhan pengusaha.
“Karena diganti segitu lalu saya mencoba menemui pengusahanya, tapi dilarang sama petugas keamanan yang katanya sebagai pengawas di gudang itu. Karena dia seorang tentara saya pun pulang dan tak mau melawan. Lalu saya cari pinjaman Rp200 ribu lagi
untuk beli jaring baru karena jaring yang robek sudah tak bisa dipakai lagi,” katanya.
Kendati hari-harinya dihabiskan di laut, namun dibenak pasangan suami isteri ini masih sangat berharap untuk mempunyai rumah, layaknya masyarakat lainnya. Keinginan itu muncul dalam pikiran Sahnan disaat melihat isterinya sakit. Waktu itu, tubuh Asnah panas. Sahnan harus bersusah payah membawa istrinya berobat.
“Keinginan untuk itu pasti ada, apalagi kalau di antara kami ada yang sakit. Kalau tinggal di darat kan bisa langsung dibawa berobat ke klinik atau rumah sakit. Tapi, bila di perahu saya sendirian harus bersusah payah membawa isteri ke darat baru dibawa ke rumah sakit seperti terjadi empat bulan lalu,” pungkasnya sembari memandang daratan yang dia rindukan.(*)

Pahitnya hidup yang dialami keduanya menjadi bagian kisah dalam hari-hari, Sahnan dan Asnah. Keadaan tempat tinggal yang serba terbatas terkadang membuat keduanya beribadah secara bergantian, karena kondisi perahu yang sempit.
“Kalau mau salat bergantian di depan (lambung) perahu dekat tumpukan jaring,” ungkap Sahnan sembari tersenyum tipis.
Tidak hanya soal beribadah, soal urusan tidur pun mereka harus ‘mengakali’. Artinya, kehidupan layaknyan
suami istri tak bisa mereka nikmati lagi. Ya, tak ada istilah Sahnan dan Asnah tidur berdampingan di kasu yang empuk dan hangat. “Istri tidur di dalam bilik, sedang saya di tumpukan jaring,” ungkapnya.
Kerasnya hidup di tengah keterbatasan dan hanya mengandalkan sebuah perahu, terkadang tidak berjalan mulus. Keduanya mengaku saat melaut pernah menjadi sasaran pungli oknum kapal patroli aparat penegak hukum di laut. Saat itu, Sahnan dan Asnah dalam pelayaran menuju pulang ke pinggiran hutan mangrove (bakau) Paluh Perta, Belawan. Mereka dihampiri petugas.
Saat itu, petugas patroli meminta ikan hasil tangkapan keduanya. Mendengar permintaan itu, Sahnan yang hanya membawa pulang 3 ekor ikan jenis ikan senangin merintih dalam hati. Dengan nada kesal ia pun balik menghardik oknum petugas itu sambil menunjukan ikan hasil tangkapannya tersebut. “Cobalah, sudah ikan hasil tangkap cuma 3 ekor petugas patroli datang dan sedikit memaksa minta ikan. Saya yang sedang capek pulang habis melaut dan ikan pun sedikit. Langsung saja saya bilang ‘apakah gaji diberi negara ke bapak masih kurang sampai tega memeras nelayan kecil seperti
Saya’,” cetus Sahnan pada oknum petugas patroli waktu itu.
Mendengar ucapan, Sahnan oknum petugas yang tadinya bermaksud meminta ikan tangkapan nelayan tradisional ini akhirnya mengurungkan niatnya. Dengan nada sedikit membentak oknum petugas kapal patroli itu pun pergi meninggalkan Sahnan dan Asnah.”Yang buat saya kesal kenapa nelayan kecil seperti saya ini yang dimintai ikan. Kalaulah pagi itu memang ikan hasil tangkapan saya banyak, tidak masalah. Pasti saya kasih,” tegas Sahnan.
Tidak hanya menjadi sasaran pungli, Sahnan mengaku jaringnya juga pernah ditabrak kapal ikan berukuran 10 gross tonase milik pengusaha di Gabion, Belawan. Kondisi alat tangkapnya yang rusak berat hanya diganti rugi Rp300 ribu oleh seorang petugas pengawas yang mengaku suruhan pengusaha.
“Karena diganti segitu lalu saya mencoba menemui pengusahanya, tapi dilarang sama petugas keamanan yang katanya sebagai pengawas di gudang itu. Karena dia seorang tentara saya pun pulang dan tak mau melawan. Lalu saya cari pinjaman Rp200 ribu lagi
untuk beli jaring baru karena jaring yang robek sudah tak bisa dipakai lagi,” katanya.
Kendati hari-harinya dihabiskan di laut, namun dibenak pasangan suami isteri ini masih sangat berharap untuk mempunyai rumah, layaknya masyarakat lainnya. Keinginan itu muncul dalam pikiran Sahnan disaat melihat isterinya sakit. Waktu itu, tubuh Asnah panas. Sahnan harus bersusah payah membawa istrinya berobat.
“Keinginan untuk itu pasti ada, apalagi kalau di antara kami ada yang sakit. Kalau tinggal di darat kan bisa langsung dibawa berobat ke klinik atau rumah sakit. Tapi, bila di perahu saya sendirian harus bersusah payah membawa isteri ke darat baru dibawa ke rumah sakit seperti terjadi empat bulan lalu,” pungkasnya sembari memandang daratan yang dia rindukan.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/