23.7 C
Medan
Saturday, January 18, 2025

Inilah 13 Cara Membuktikan Hak Lama Atas Tanah

Foto: Dame/Sumut Pos
Kabiro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Tapanuli Selatan, di PN Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

PADANGSIDIMPUAN, SUMUTPOS.CO –  Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Penyelesaian sengketa lahan pun diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan

Di Indonesia, sengketa tanah antara masyarakat setempat melawan perusahaan, sering terjadi. Para pemilik yang tanahnya masih berlandaskan pada hukum barat dan hukum adat, masih banyak yang belum mensertifikasi/mengkonversi/mendaftarkan hak atas tanahnya menjadi hak-hak atas tanah yang diakui peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria) . Karena kelalaian tersebut, banyak terjadi sengketa khususnya di daerah-daerah pembangunan, yang mana para pihak terdiri antara Perusahaan melawan masyarakat setempat.

 

Tetapi meskipun ada niat dari pemilik hak-hak atas tanah terdahulu untuk mensertifikasi tanahnya, perlu diketahui bahwa tidak semua hak-hak atas tanah Hukum Barat dan Hukum Adat dapat menjadi bukti penguasaan tanah, yang menjadi salah satu persyaratan pensertifikasian suatu bidang tanah.

 

“Sejak diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), keberadaan hak-hak atas tanah yang berasal dari Hukum Barat (baca: Belanda) dan Hukum Adat, tidak lagi mendapatkan privilage sebagai suatu bukti kepemilikan hak atas tanah di Indonesia. Karenanya, kedudukan mereka hanya sebatas bukti penguasaan dan bukti pembayaran pajak saja,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara perdata No. 22/PDT.G/2016/PN.PSP di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

 

Perkara itu adalah sengketa atas sebidang tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan Penggugat Keluarga Mandongun Pulungan (alm) melawan PT Agincourt Resources sebagai pihak Tergugat.

 

Aslan Noor menambahkan, jika seseorang memiliki hak-hak atas tanah terdahulu tersebut, UUPA mewajibkan pemilik untuk mengonversinya menjadi hak-hak atas tanah yang diakui, seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan dan lain sebagainya.

 

“Oleh karena itu peran pemilik harus aktif dalam hal ini jika tanahnya tidak mau dicaplok oleh orang lain karena tidak mempunyai alas dasar kepemilikan yang kuat. Apabila Anda mempunyai tanah lama yang tidak bersertifikat, dan Anda ingin membuktikan kepemilikan atas tanah tersebut,  ada beberapa alat bukti yang Anda ajukan,” katanya.

Foto: Dame/Sumut Pos
Kabiro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Tapanuli Selatan, di PN Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

PADANGSIDIMPUAN, SUMUTPOS.CO –  Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Penyelesaian sengketa lahan pun diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan

Di Indonesia, sengketa tanah antara masyarakat setempat melawan perusahaan, sering terjadi. Para pemilik yang tanahnya masih berlandaskan pada hukum barat dan hukum adat, masih banyak yang belum mensertifikasi/mengkonversi/mendaftarkan hak atas tanahnya menjadi hak-hak atas tanah yang diakui peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria) . Karena kelalaian tersebut, banyak terjadi sengketa khususnya di daerah-daerah pembangunan, yang mana para pihak terdiri antara Perusahaan melawan masyarakat setempat.

 

Tetapi meskipun ada niat dari pemilik hak-hak atas tanah terdahulu untuk mensertifikasi tanahnya, perlu diketahui bahwa tidak semua hak-hak atas tanah Hukum Barat dan Hukum Adat dapat menjadi bukti penguasaan tanah, yang menjadi salah satu persyaratan pensertifikasian suatu bidang tanah.

 

“Sejak diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), keberadaan hak-hak atas tanah yang berasal dari Hukum Barat (baca: Belanda) dan Hukum Adat, tidak lagi mendapatkan privilage sebagai suatu bukti kepemilikan hak atas tanah di Indonesia. Karenanya, kedudukan mereka hanya sebatas bukti penguasaan dan bukti pembayaran pajak saja,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara perdata No. 22/PDT.G/2016/PN.PSP di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

 

Perkara itu adalah sengketa atas sebidang tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan Penggugat Keluarga Mandongun Pulungan (alm) melawan PT Agincourt Resources sebagai pihak Tergugat.

 

Aslan Noor menambahkan, jika seseorang memiliki hak-hak atas tanah terdahulu tersebut, UUPA mewajibkan pemilik untuk mengonversinya menjadi hak-hak atas tanah yang diakui, seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan dan lain sebagainya.

 

“Oleh karena itu peran pemilik harus aktif dalam hal ini jika tanahnya tidak mau dicaplok oleh orang lain karena tidak mempunyai alas dasar kepemilikan yang kuat. Apabila Anda mempunyai tanah lama yang tidak bersertifikat, dan Anda ingin membuktikan kepemilikan atas tanah tersebut,  ada beberapa alat bukti yang Anda ajukan,” katanya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/