25 C
Medan
Thursday, November 14, 2024
spot_img

Istana Bahran Kotapinang, Simbol Kejayaan Peradaban yang Tinggal Puing

IST
TAK TERAWAT: Istana Kotapinang yang juga dikenal Istana Bahran kini tak terawat.

KOTAPINANG, SUMUTPOS.CO – Istana Kota Bahran merupakan peninggalan sejarah Kesultanan Kotapinang, sebagai simbol kejayaan peradaban Melayu di Kotapinang, Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara. Sayang, istana itu dihancurkan pada masa revolusi sosial tahun 1946. Kini, istana tersebut tinggal puing dan tak terurus.

BERDASARKAN data sejarah yang penulis peroleh dari berbagai sumber, Kesultanan Kotapinang ini pertama kali didirikan Sultan Batara Sinomba yang disebut juga dengan Sultan Batara Guru Gorga Pinayungan. Sultan Batara Sinombah merupakan keturunan dari Sultan Minang Kabau Negeri Pagaruyung yang bernama Sultan Alamsyah Syaifuddin.

Awalnya, di daerah Kotapinang hanya dihuni dua suku besar yakni Dasopang dan Tamba yakni 30 Kilometer dari Kotapinang. Bekas kekuasaan kedua suku itu terlihat dari peninggalannya berupa kuburan. Kedua suku inilah yang bertahun-tahun bermukim di kawasan itu.

Selama kedua suku itu berkuasa, sering terjadi perkelahian antara kedua suku, karena masing-masing ingin menguasai daerah itu. Untuk mengakhiri perselisihan itu, mereka pun sepakat kekuasaan diserahkan kepada siapa saja pendatang yang dianggap mampu menjadi pemimpin di daerah itu.

Akhirnya, kedua suku tersebut bertemu dengan Batara Guru Pinayungan yang merantau dari Negeri Pagaruyung. Sesuai kesepakatan, maka Batara Guru Pinayungan diangkatlah menjadi raja dan mengayomi seluruh masyarakat termasuk warga di luar kedua suku besar tersebut.

Namun, masa kejayaan Kesultanan Kotapinang terjadi ketika dipimpin Raja Tengku Ismail bergelar yang Dipertuan Sakti. Bahkan wilayah kekuasaanya sampai ke perbatasan Selat Malaka. Masa keemasan itu cukup lama bertahan, yakni pada tahun 1873 sampai 1893.

Tengku Ismail memiliki tiga putra dan dua putri. Putra pertama bernama Tengku Musthafa bergelar Yang Dipertuan Makmur Perkasa Alamsyah, putra kedua bernama Tengku Makmoen Alrasyid yang bergelar Tengku Pangeran, putra ketiga Tengku Alangsyarif, sedangkan kedua putrinya Tengku Zubaedah dan yang terakhir Tengku Cantik.

Saat Tengku Ismail wafat, Tengku Musthafa masih berusia 12 tahun. Dia langsung dinobatkan oleh tokoh-tokoh Melayu untuk memangku tampuk kepemimpinan Kesultanan Kotapinang yang ke-11. Meski dalam usia mudanya, Tengku Musthafa mampu memimpin Kesultanan Kotapinang serta mempertahankan teritorialnya.

Nah, di masa pemerintahan Tengku Musthafa inilah Istana Bahran dibangun, sekira tahun 1931 dan kemudian diresmikan pada tahun 1934. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1945, para Sultan di Sumatera Timur menghendaki kedudukannya sebagai Raja kembali. Tetapi gerakan revolusi sosial Sumatera Timur yang anti-bangsawan pada tahun 1946 menghancurkan segalanya.

Negeri ini mengalami gejolak. Bahkan, Tengku Musthafa bersama anaknya Tengku Besar menjadi korban kebrutalan masyarakat sekitar yang akhirnya keduanya terbunuh. Tidak hanya itu, keluarga besar Kesultanan pun hijrah ke daerah lain untuk menyelamatkan diri. Dalam situasi keamanan tak menentu, Istana Kotapinang dikuasai rakyat, harta dijarah, istana dirusak, sebagian tanah dikuasai masyarakat.

Sejarah ini harusnya menjadi potensi wisata budaya yang dapat menjadi andalan Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel). Sayangnya, potensi itu tak tergarap, sehingga reruntuhan istana itu hanya menjadi seonggok bangunan tua yang tak menghibur, saat warga melintasinya.

Kondisinya memang sudah sangat memprihatinkan. Tak banyak yang tersisa dari bangunan megah pada masanya tersebut, kecuali sebagian dinding-dindingnya yang masih kokoh berdiri dan pondasi bangunan yang mulai keropos dimakan usia. Sekeliling istana kini dirimbuni alang-alang yang menyemak hingga ke dalam bangunan.

Kondisi ini juga diperparah dengan ketidakpedulian Pemkab Labusel dalam memanfaatkan potensi wisata budaya yang terkandung di Istana Bahran ini. Istana itu dibiarkan terlantar begitu saja. Bangunan istana itu sama sekali belum pernah tersentuh renovasi.

“Padahal, Istana Kotapinang ini merupakan heritage yang mempunyai nilai sejarah yang cukup tinggi dan dapat dijadikan ikon yang paling bergengsi dan mempunyai daya saing yang tinggi dari daerah lain di Sumatera Utara,” kata Ketua PB Ikatan Keluarga Labuhanbatu Selatan (IKLAS) Drs Rivai Nasution MM kepada Sumut Pos.

Rivai selaku putra daerah Kotapinang, mengaku prihatin atas ketidakpedulian Pemkab Labusel ini. Apalagi ketika PB IKLAS menggelar seminar Napak Tilas Kejayaan Istana Kesultanan Bahran Kotapinang di Gedung Santun Berkata Bijak Berkarya (SBBK), Jalan Bukit Kotapinang, 22 Desember 2018 lalu, tak seorang pun perwakilan Pemkab Labusel hadir.

“Ketidakhadiran itu menggambarkan, Pemkab memang tidak memiliki komitmen melestarikan peninggalan sejarah yang sudah 60 tahun terbengkalai itu. Padahal, PB IKLAS dan para narasumber yang hadir termasuk perwakilan Pemprov Sumut memiliki komitmen besar memajukan Labusel khususnya dari aspek kebudayaan,” tandas Rivai. (adz)

IST
TAK TERAWAT: Istana Kotapinang yang juga dikenal Istana Bahran kini tak terawat.

KOTAPINANG, SUMUTPOS.CO – Istana Kota Bahran merupakan peninggalan sejarah Kesultanan Kotapinang, sebagai simbol kejayaan peradaban Melayu di Kotapinang, Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara. Sayang, istana itu dihancurkan pada masa revolusi sosial tahun 1946. Kini, istana tersebut tinggal puing dan tak terurus.

BERDASARKAN data sejarah yang penulis peroleh dari berbagai sumber, Kesultanan Kotapinang ini pertama kali didirikan Sultan Batara Sinomba yang disebut juga dengan Sultan Batara Guru Gorga Pinayungan. Sultan Batara Sinombah merupakan keturunan dari Sultan Minang Kabau Negeri Pagaruyung yang bernama Sultan Alamsyah Syaifuddin.

Awalnya, di daerah Kotapinang hanya dihuni dua suku besar yakni Dasopang dan Tamba yakni 30 Kilometer dari Kotapinang. Bekas kekuasaan kedua suku itu terlihat dari peninggalannya berupa kuburan. Kedua suku inilah yang bertahun-tahun bermukim di kawasan itu.

Selama kedua suku itu berkuasa, sering terjadi perkelahian antara kedua suku, karena masing-masing ingin menguasai daerah itu. Untuk mengakhiri perselisihan itu, mereka pun sepakat kekuasaan diserahkan kepada siapa saja pendatang yang dianggap mampu menjadi pemimpin di daerah itu.

Akhirnya, kedua suku tersebut bertemu dengan Batara Guru Pinayungan yang merantau dari Negeri Pagaruyung. Sesuai kesepakatan, maka Batara Guru Pinayungan diangkatlah menjadi raja dan mengayomi seluruh masyarakat termasuk warga di luar kedua suku besar tersebut.

Namun, masa kejayaan Kesultanan Kotapinang terjadi ketika dipimpin Raja Tengku Ismail bergelar yang Dipertuan Sakti. Bahkan wilayah kekuasaanya sampai ke perbatasan Selat Malaka. Masa keemasan itu cukup lama bertahan, yakni pada tahun 1873 sampai 1893.

Tengku Ismail memiliki tiga putra dan dua putri. Putra pertama bernama Tengku Musthafa bergelar Yang Dipertuan Makmur Perkasa Alamsyah, putra kedua bernama Tengku Makmoen Alrasyid yang bergelar Tengku Pangeran, putra ketiga Tengku Alangsyarif, sedangkan kedua putrinya Tengku Zubaedah dan yang terakhir Tengku Cantik.

Saat Tengku Ismail wafat, Tengku Musthafa masih berusia 12 tahun. Dia langsung dinobatkan oleh tokoh-tokoh Melayu untuk memangku tampuk kepemimpinan Kesultanan Kotapinang yang ke-11. Meski dalam usia mudanya, Tengku Musthafa mampu memimpin Kesultanan Kotapinang serta mempertahankan teritorialnya.

Nah, di masa pemerintahan Tengku Musthafa inilah Istana Bahran dibangun, sekira tahun 1931 dan kemudian diresmikan pada tahun 1934. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1945, para Sultan di Sumatera Timur menghendaki kedudukannya sebagai Raja kembali. Tetapi gerakan revolusi sosial Sumatera Timur yang anti-bangsawan pada tahun 1946 menghancurkan segalanya.

Negeri ini mengalami gejolak. Bahkan, Tengku Musthafa bersama anaknya Tengku Besar menjadi korban kebrutalan masyarakat sekitar yang akhirnya keduanya terbunuh. Tidak hanya itu, keluarga besar Kesultanan pun hijrah ke daerah lain untuk menyelamatkan diri. Dalam situasi keamanan tak menentu, Istana Kotapinang dikuasai rakyat, harta dijarah, istana dirusak, sebagian tanah dikuasai masyarakat.

Sejarah ini harusnya menjadi potensi wisata budaya yang dapat menjadi andalan Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel). Sayangnya, potensi itu tak tergarap, sehingga reruntuhan istana itu hanya menjadi seonggok bangunan tua yang tak menghibur, saat warga melintasinya.

Kondisinya memang sudah sangat memprihatinkan. Tak banyak yang tersisa dari bangunan megah pada masanya tersebut, kecuali sebagian dinding-dindingnya yang masih kokoh berdiri dan pondasi bangunan yang mulai keropos dimakan usia. Sekeliling istana kini dirimbuni alang-alang yang menyemak hingga ke dalam bangunan.

Kondisi ini juga diperparah dengan ketidakpedulian Pemkab Labusel dalam memanfaatkan potensi wisata budaya yang terkandung di Istana Bahran ini. Istana itu dibiarkan terlantar begitu saja. Bangunan istana itu sama sekali belum pernah tersentuh renovasi.

“Padahal, Istana Kotapinang ini merupakan heritage yang mempunyai nilai sejarah yang cukup tinggi dan dapat dijadikan ikon yang paling bergengsi dan mempunyai daya saing yang tinggi dari daerah lain di Sumatera Utara,” kata Ketua PB Ikatan Keluarga Labuhanbatu Selatan (IKLAS) Drs Rivai Nasution MM kepada Sumut Pos.

Rivai selaku putra daerah Kotapinang, mengaku prihatin atas ketidakpedulian Pemkab Labusel ini. Apalagi ketika PB IKLAS menggelar seminar Napak Tilas Kejayaan Istana Kesultanan Bahran Kotapinang di Gedung Santun Berkata Bijak Berkarya (SBBK), Jalan Bukit Kotapinang, 22 Desember 2018 lalu, tak seorang pun perwakilan Pemkab Labusel hadir.

“Ketidakhadiran itu menggambarkan, Pemkab memang tidak memiliki komitmen melestarikan peninggalan sejarah yang sudah 60 tahun terbengkalai itu. Padahal, PB IKLAS dan para narasumber yang hadir termasuk perwakilan Pemprov Sumut memiliki komitmen besar memajukan Labusel khususnya dari aspek kebudayaan,” tandas Rivai. (adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/