JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Reydonnyzar Moenek tidak membantah penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) diduga terjadi di banyak daerah, tidak hanya di Pemprov Sumut.
Dony, panggilan akrabnya, menyebut penyaluran dana bansos biasanya dilakukan oleh kepala daerah yang akan maju lagi di pilkada. Dana bansos disalurkan kepada ormas-ormas dadakan yang muncul jelang pilkada. Dengan harapan, incumbent meraup dukungan suara.
“Tidak bisa dibantah, hibah bansos sangat elitis, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Biasanya jelang pilkada muncul ormas-ormas dadakan yang menerima bansos,” ujar Dony kepada koran ini di Jakarta, kemarin (11/8).
Mantan Kapuspen Kemendagri itu pun tidak memungkiri bahwa pengelolaan dana bansos sudah salah kaprah. “Diberikan untuk urusan dukung mendukung jelang pilkada,” tegas birokrat bergelar dokter itu.
Sekadar diketahui, perkara bansos Pemprov Sumut yang diusut Kejaksaan Agung saat ini untuk tahun anggaran 2011, 2012, 2013. Di tiga tahun itulah, tepatnya hingga Juni 2013, Gatot Pujo Nugroho menjadi pimpinan tunggal Pemprov Sumut, setelah naik posisi dari wakil gubernur menjadi gubernur, menggantikan Syamsul Arifin yang terjerat kasus korupsi.
Belum ada data pasti apakah penggelontoran dana bansos dilakukan paling banyak jelang pilgub Sumut yang pemungutan suaranya pada Maret 2013, dimana saat itu Gatot berpasangan dengan Tengku Erry Nuradi. Hanya saja, berdasar data ormas penerima bansos yang sudah beredar, banyak sekali ormas-ormas penerima, yang namanya tidak terkenal, mencapai 230 ormas. Itu di luar 39 nama-nama ormas yang sudah beken di wilayah Sumut, yang menerima bansos dalam jumlah besar, ada yang mencapai Rp 750 juta.
Memang, sesuai ketentuan pasal Permendagri No 39 Tahun 2012 tentang hibah dan bansos, penyaluran dana bansos kewenangannya besar sekali di tangan kepala daerah. Pasal 32 ayat (1) permendagri dimaksud menyebutkan, “Kepala daerah menetapkan daftar penerima dan besaran bantuan sosial dengan keputusan kepala daerah berdasarkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.”
Meski demikian, di permendagri sebenarnya sudah diatur bahwa kepala daerah juga tidak bisa seenaknya saja. Bahwa penerima bansos dan besaran sudah harus direncanakan pada saat penyusunan APBD.
Kembali ke penjelasan Dony. Pria berkumis tebal itu menjelaskan, sebenarnya Permendagri 39 itu disusun sebagai perubahan atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011, setelah mendapat rekomendasi dari KPK. Permendagri 39 itu mewajibkan penyaluran dana bansos harus transparan, akuntabel, dan penyerahannya disertai bukti yang lengkap dan sah, termasuk pertanggungjawaban oleh penerimanya.
Namun faktanya, masih juga muncul masalah. Karena itu, dalam waktu dekat Permendagri yang mengatur mekanisme penyaluran dana bansos itu akan direvisi lagi. “Nantinya akan dibuat sistem kluster, berdasar kemampuan fiskal daerah. Daerah dengan kemampuan fiskal tinggi dana bansosnya maksimal harus sekian persen, daerah sedang sekian persen, yang rendah sekian persen. Ini untuk pengendalian,” bebernya.
Pasalnya, banyak daerah yang jor-joran mengalokasikan dana bansos, sementara untuk urusan wajib seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, justru porsi anggarannya kecil. “Ada provinsi APBD-nya 11 triliun, dana bansosnya 1,5 triliun. Itu tidak proporsional,” terangnya.
Sementara, terkait dengan kasus bansos Pemprov Sumut yag ditangani kejaksaan agung, kemungkinan besar tidak semua penerima akan dimintai keterangan sebagai saksi. Berdasarkan kasus korupsi APBD Langkat yang menjerat Syamsul Arifin, dari 200 nama penerima aliran APBD Langkat, penyidik KPK hanya memintai keterangan 50 saksi.
Sedang dalam kasus bansos Pemprov Sumut, berdasar data yang beredar, ada 269 ormas penerima. Rinciannya, 39 ormas ternama yang dikucuri ratusan juta, dan 230 ormas yang menikmati Rp 50 juta ke bawah. Senin (10/8), sudah 15 penerima dimintai keterangan sebagai saksi. (sam)