Tak peduli di mana saja, asal ada ruang sedikit lapang, mari kita menggocek bola kawan. Di halaman masjid, di halaman gereja, di samping rumah, di lapangan sekolahan, di atas gedung, di pinggir pantai, di cuaca panas, di cuaca minus 30 derajat sekalipun mari kita nikmati si kulit bundar.
JUNI 2009 saya senang karena bisa menyambangi Kota Jayapura ibu kota Papua. Tahun itu PSMS Medan bermain di ISL edisi perdana. Musim memasuki penghujung. Inilah away terakhir liga sekaligus perempat final Copa Indonesia. Agendanya tiga kali bertanding.
Pertama melawan Persipura di ajang liga di Stadion Mandala. Lalu terbang lagi dari Jayapura ke Wamena melawat ke Stadion Pendidikan milik si Badai Pegunungan, Persiwa Wamena. Ke Wamena saya tak ikut karena kendala administratif. Jadi saya lebih banyak menghabiskan waktu di Kota Jayapura, walau tak banyak pula berkeliling.
Kemudian PSMS main lagi lawan Persipura di Copa Indonesia. Dari total tiga laga itu, hanya satu gol yang bisa dibukukan PSMS sebagai bagian dari sejarah. He he he he. Sudah jelas PSMS kalah lah di sana. Pertama lawan Persipura di liga kalah 1-0. Lalu ke Wamena kalah 5-0, lalu kalah kedua kali lawan Persipura di Copa 4-1. Berat memang bisa menang di kandang klub-klub Papua. Entah kenapa, tapi ketika away ke sana rasa-rasanya lebih baik kalah WO. Butuh biaya besar nyaris seratus juta membawa seluruh skuad ke Indonesia paling timur itu. Lalu di sana kita datang hanya untuk kalah, bahkan bisa kalah dengan skor mengerikan. Bukankah lebih baik WO yang secara peraturan hanya akan dianggap kalah dengan skor 3-0.
Tapi tentu saja hal itu mencederai semangat fair play dan dilarang. Malu kalah sebelum bertanding. Lebih baik mencoba walau sudah tahu akhirnya bagaimana. Yang penting mencoba dulu. Siapa tahu sejarah terbalik berhasil dicipta. Begitulah semangat PSMS saat itu yang dikomandoi pelatih kelima dalam satu musim, Rudi William Keltjes.
Skuad PSMS lebih dulu tiba di Jayapura. Saya menyusul seorang diri dari Medan dengan maskapai yang lebih besar. Sampai di sana kawan-kawan di PSMS langsung nanya, naik pesawat apa ke Jayapura. Saya sebut nama maskapainya dan mereka cemburu. Rupanya mereka lebih dulu terbang dengan pesawat kecil. “Goyang kali, semua nyebut dan berdoa. Hilang preman awak,” kata Dodi Cahyadi, gelandang PSMS saat itu.
Yang sering bepergian ke Timur Indonesia memang sudah paham, perjalanan ke Papua memang mendebarkan. Ruang udara kerap memaksa aktivitas turbolensi pesawat menjadi sangat kuat. Seolah tertarik ke bawah lalu timbul lagi ke atas. Perut serasa dikocok, lalu mual dan jantungan. Untung saya naik pesawat besar, jadi turbolensinya lebih kecil.
Senang bisa melihat aktivitas masyarakat di Jayapura. Yang jadi sorotan tentu saja aktivitas main bolanya. Hampir setiap saat anak-anak, orang dewasa, hingga perempuan main bola. Tak peduli di mana, asal ada lahan sedikit saja mereka selalu main bola. Waktunya pun sesuka hati. Benar adanya, bahwa warga Papua mirip warga Brasil yang begitu mencintai sepak bola.
Suatu sore ketika PSMS sedang briefing jelang latihan di depan hotel yang berdekatan dengan Stadion Mandala, kami dikejutkan dengan bola yang melayang ke arah kami. Sebagai pemain bola, kawan-kawan PSMS saat itu langsung menyongsong bola, juggling, lalu mengembalikan bola ke arah datangnya. Rupanya tepat di sebelah hotel ada sekolah dasar, ada pula gereja di komplek sekolah itu. Ada lapangan di depannya namun sederhana sekali. Becek, berbatu, rumputnya sedikit sekali. Tapi di sana terdapat belasan anak yang terlihat asyik berbola ria. Uniknya keesokan harinya, PSMS memilih berlatih di lapangan itu saja. Dan anak-anak tadi tentu saja antusias. Mereka senang bisa melihat pemain asing PSMS dari dekat. Pun memang ada pula beberapa pemain Papua di line up utama seperti Elie Aiboy, Ruben Sanadi hingga Oktovianus Maniani.
Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya baru kemarin malam, saya menonton televisi. Nonton Ligue 1 Perancis. Yang sedang bertanding adalah Saint-Etienne menjamu juara bertahan Montpellier. Laga dimainkan di Stadion Geoffroy-Guichard Kota Saint-Etienne. Laga berakhir 4-1 untuk tuan rumah. Bukan, bukan hasilnya yang menarik bagi saya. Yang mencuri perhatian adalah turunnya salju begitu derasnya. Lapangan Geoffroy-Guichard mendadak putih. Padahal ketika kick off lapangan itu masih hijau. Setengah babak main salju makin deras. Yang bikin saya takjub, di ketebalan salju dengan suhu yang menurut komentator mencapai minus 30 derajat celcius, laga tetap dilanjutkan. Sebelumnya memang dihentikan beberapa menit untuk mengeruk salju di kotak penalti. Petugas stadion dibantu pemain kedua tim bahu membahu membawa sekop besar untuk mengeruk salju. Ketika salju masih turun, suhu masih beku, laga yang dipimpin wasit Philippe Kalt tetap dimainkan. Luar biasa. 90 menit berhasil berjalan. Di barisan pendukung fanatik Saint-Etienne lebih luar biasa lagi. Di suhu udara yang bahkan bisa membekukan paru-paru itu, sekelompok fans malah berteriak-teriak bernyanyi sambil bertelanjang dada! Mereka buka baju di kebekuan udara. Demi apa? Demi sepak bola! (*) @fazadesyafa