26.7 C
Medan
Tuesday, May 14, 2024

Berbelit, Hakim ‘Semprot’ Ketua DPRD Langkat

Foto: Gatha Ginting/PM Ketua DPRD Langkat Rudi Hartono Bangun (tengah) bersama Wakil Ketua DPRD Langkat Abdul Khair (kanan) dan wakil lainnya duduk dalam persidangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (11/9). Ketiganya memberikan kesaksian terkait dugaan mark-up perjalanan dinas DPRD Langkat yang merugikan keuangan negara Rp 665,9 juta.
Foto: Gatha Ginting/PM
Ketua DPRD Langkat Rudi Hartono Bangun (tengah) bersama Wakil Ketua DPRD Langkat Abdul Khair (kanan) dan wakil lainnya duduk dalam persidangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (11/9). Ketiganya memberikan kesaksian terkait dugaan mark-up perjalanan dinas DPRD Langkat yang merugikan keuangan negara Rp 665,9 juta.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dinilai berbelit-belit memberi keterangan, Ketua DPRD Langkat Rudi Hartono Bangun (RHB) ‘disempro’t majelis hakim Pengadilan Tipikor PN Medan, Kamis (11/9) siang. Rudi Hartono menjadi saksi dalam sidang penyelewengan anggaran perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat tahun 2012 yang merugikan negara Rp665,9 juta.

Dalam sidang yang mendudukkan Sekretaris Dewan (Sekwan) H. Salman dan mantan Sekwan DPRD Langkat, H. Supono sebagai terdakwa itu, jaksa Penuntut Umum menghadirkan RHB serta dua wakilnya, Abdul Khair dan Suhardi Surbakti sebagai saksi.

Hakim yang diketuai oleh Parlindungan Sinaga SH, sempat memarahi ketiga saksi karena dianggap memberikan keterangan yang berbelit-belit.

Begitu ketiga pimpinan DPRD Langkat itu duduk di depan hakim sebagai saksi, hakim langsung bertanya kepada RHB mengenai tiket perjalanan dinas berbentuk kuitansi kosong yang ditandatanganinya. “Apakah anda ada disodorkan kuitansi kosong oleh terdakwa?” tanya hakim.

“Ada majelis,” jawab Rudi.

“Apakah anda tidak mempertanyakan kenapa kuitansi kosong,” tanya hakim.

Rudi terdiam sejenak. Menurutnya, kuitansi itu kosong karena harga tiket belum diketahui saat itu.

“Anda pimpinan dewan, kenapa tidak anda jalankan fungsi anda sebagai pengawas? Kenapa tidak anda pertanyakan soal kuitansi kosong itu?” tanya hakim dengan nada tinggi.

Rudi pun menjelaskan, kalau soal administrasi (termasuk tiket) bukanlah tugas dia untuk menyelesaikannya. Sebab, itu katanya tugas Sekretaris Dewan (Sekwan). “Kami tidak mengurusi administrasi dan teknis majelis. Tugas pimpinan tidak mencakup itu,” katanya.

“Saya tidak bertanya soal itu. Yang saya tanyakan, anda sudah tahu ada kuitansi kosong. Tetapi tetap anda tanda tangani. Kenapa anda tidak mempertanyakannya waktu itu. Atau ini sudah kalian susun skenarionya!” kata hakim dengan nada marah.

Belum sempat dijawab oleh Rudi, hakim kemudian memotong pertanyaannya lagi.

“Oke, karena anda berbelit, saya coba tanya ke Wakil Ketua dulu, Pak Abdul Khair ya. Saya mau tanya, apakah anda disodori kuitansi kosong untuk ditanda tangani?” tanya hakim.

“Iya yang mulia,” jawab Abdul Khair.

Hakim pun mempertanyakan, soal anggaran perjalanan dinas, Sekwan sebagai pengelola, kepada siapa bertanggung jawab. Abdul menjelaskan Sekwan bertanggung jawab langsung ke bupati, bukan dengan pimpinan DPRD.

“Baik, tahun 2012 apakah anda ikut perjalanan dinas?” tanya hakim lagi.

“Iya, saya ikut sekitar 8 kali tahun 2012,” kata Adul.

“Kalau Sekwan membuat notulen, dan ternyata salah, apakah saudara suruh perbaiki,” tanya hakim.

Abdul Khair pun menjelaskan, pimpinan DPRD Langkat memang pernah mempertanyakan soal kuitansi kosong tersebut. Alasannya, tetap sama yakni harga tiket belum diketahui. “Kalau ada perjalanan dinas, yang menandatangani anggarannya siapa?” tanya hakim.

“Ketua (DPRD Langkat) yang tanda tangani. Laporannya ada juga ke kami (Wakil Ketua),” jawab Abdul.

“Nah, itu yang saya tanya. Kenapa dari tadi berbelit-belit. Intinya berarti pimpinan DPRD tanda tangani,” kata hakim.

Hakim kemudian mempertanyakan, soal mark up tiket perjalanan dinas yang belum dikembalikan ke kas daerah. “Apakah penyidik (Kejari Stabat) ada meminta anda untuk mengembalikan uang sisa tiket?” tanya hakim.

Abdul Khair pun menjelaskan, saat di penyidikan, dia memang disuruh penyidik untuk mengembalikan uang perjalanan dinas sebesar Rp20 juta. Hal itu, katanya, sesuai hasil audit BPK. “Tetapi baru Rp2 juta yang saya kembalikan,” kata Abdul Khair.

“Terus sisanya sekitar Rp18 juta kenapa belum anda kembalikan?” kata hakim.

“Belum ada uang saya majelis, karena habis saat caleg kemarin,” katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Surbakti. Menurutnya, dia juga diminta untuk mengembalikan uang Rp20 juta, namun dia baru mengembalikan Rp4 juta. Alasannya, karena uangnya habis saat caleg dan kemudian tidak terpilih.

“Kalau disuruh mengembalikan, berarti pimpinan terlibat. Apa kalian sudah ada diapa-apain oleh penyidik?” tanya hakim.

“Tidak ada diapa-apai oleh penyidik sampai sekarang,” jawabnya.

Hakim kemudian mempertanyakan soalnya ada Peraturan Bupati (Perbup) Langkat yang menyatakan, setiap perjalanan dinas anggota DPRD, pertanggungjawabannya adalah pimpinan DPRD. “Berdasarkan peraturan ini, berarti saudara (pimpinan DPRD Langkat) harus bertanggung jawab. Bagaimana itu?” tanya hakim.

Ketiga pimpinan DPRD Langkat ini pun tidak bisa menjawab. Hakim kemudian marah kepada ketiganya. Karena setiap perjalanan dinas itu, ternyata ketiga pimpinan DPRD Langkat selalu menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Sementara anggota DPRD lainnya, hanya menaiki pesawat komersial biasa, seperti Lion Air. “Nah, ini kan aneh. Apa ada diatur dalam Pergub (Peraturan Gubernur) kalau pimpinan naik Garuda, dan anggotanya lain pesawat?” tanya hakim.

“Tidak ada yang mulia,” jawab Rudi.

“Jadi, apa fungsi anda sebagai pengawas yang katanya kolektif kolegial,” kata hakim.

Ketiga saksi ini pun terdiam. Usai mendengarkan keterangan saksi, majelis hakim pun menunda sidang tersebut hingga pekan depan. Sementara itu, Pengamat Hukum Hermansyah Hutagalung mengingatkan, Kejari Stabat jangan main-main dalam perkara dugaan korupsi perjalanan dinas DPRD Langkat ini. Menurutnya, penyidik harus berani menyeret para pimpinan DPRD Langkat tersebut menjadi tersangka.

“Satu rupiah pun, kalau terbukti penggunaan anggaran uang negara diselewengkan, haruslah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam fakta persidangan kan sudah jelas, ada yang menerima sampai Rp20 juta dan belum dikembalikan,” tandasnya.

Sebelumnya, dalam dakwaan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Stabat mengatakan, pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.

Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp80 ribu per tiket.

“Terdakwa menaikkan harga tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air sebanyak 173 tiket,” kata jaksa. Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat. Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan. Akibatnya, kata jaksa, negara dirugikan Rp665,9 juta.

“Dari Juli-Desember 2012, kerugian negara sebesar Rp330,4 juta,” ujar jaksa. Perbuatan kedua terdakwa itu diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.(bay/deo)

 

Foto: Gatha Ginting/PM Ketua DPRD Langkat Rudi Hartono Bangun (tengah) bersama Wakil Ketua DPRD Langkat Abdul Khair (kanan) dan wakil lainnya duduk dalam persidangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (11/9). Ketiganya memberikan kesaksian terkait dugaan mark-up perjalanan dinas DPRD Langkat yang merugikan keuangan negara Rp 665,9 juta.
Foto: Gatha Ginting/PM
Ketua DPRD Langkat Rudi Hartono Bangun (tengah) bersama Wakil Ketua DPRD Langkat Abdul Khair (kanan) dan wakil lainnya duduk dalam persidangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (11/9). Ketiganya memberikan kesaksian terkait dugaan mark-up perjalanan dinas DPRD Langkat yang merugikan keuangan negara Rp 665,9 juta.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dinilai berbelit-belit memberi keterangan, Ketua DPRD Langkat Rudi Hartono Bangun (RHB) ‘disempro’t majelis hakim Pengadilan Tipikor PN Medan, Kamis (11/9) siang. Rudi Hartono menjadi saksi dalam sidang penyelewengan anggaran perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat tahun 2012 yang merugikan negara Rp665,9 juta.

Dalam sidang yang mendudukkan Sekretaris Dewan (Sekwan) H. Salman dan mantan Sekwan DPRD Langkat, H. Supono sebagai terdakwa itu, jaksa Penuntut Umum menghadirkan RHB serta dua wakilnya, Abdul Khair dan Suhardi Surbakti sebagai saksi.

Hakim yang diketuai oleh Parlindungan Sinaga SH, sempat memarahi ketiga saksi karena dianggap memberikan keterangan yang berbelit-belit.

Begitu ketiga pimpinan DPRD Langkat itu duduk di depan hakim sebagai saksi, hakim langsung bertanya kepada RHB mengenai tiket perjalanan dinas berbentuk kuitansi kosong yang ditandatanganinya. “Apakah anda ada disodorkan kuitansi kosong oleh terdakwa?” tanya hakim.

“Ada majelis,” jawab Rudi.

“Apakah anda tidak mempertanyakan kenapa kuitansi kosong,” tanya hakim.

Rudi terdiam sejenak. Menurutnya, kuitansi itu kosong karena harga tiket belum diketahui saat itu.

“Anda pimpinan dewan, kenapa tidak anda jalankan fungsi anda sebagai pengawas? Kenapa tidak anda pertanyakan soal kuitansi kosong itu?” tanya hakim dengan nada tinggi.

Rudi pun menjelaskan, kalau soal administrasi (termasuk tiket) bukanlah tugas dia untuk menyelesaikannya. Sebab, itu katanya tugas Sekretaris Dewan (Sekwan). “Kami tidak mengurusi administrasi dan teknis majelis. Tugas pimpinan tidak mencakup itu,” katanya.

“Saya tidak bertanya soal itu. Yang saya tanyakan, anda sudah tahu ada kuitansi kosong. Tetapi tetap anda tanda tangani. Kenapa anda tidak mempertanyakannya waktu itu. Atau ini sudah kalian susun skenarionya!” kata hakim dengan nada marah.

Belum sempat dijawab oleh Rudi, hakim kemudian memotong pertanyaannya lagi.

“Oke, karena anda berbelit, saya coba tanya ke Wakil Ketua dulu, Pak Abdul Khair ya. Saya mau tanya, apakah anda disodori kuitansi kosong untuk ditanda tangani?” tanya hakim.

“Iya yang mulia,” jawab Abdul Khair.

Hakim pun mempertanyakan, soal anggaran perjalanan dinas, Sekwan sebagai pengelola, kepada siapa bertanggung jawab. Abdul menjelaskan Sekwan bertanggung jawab langsung ke bupati, bukan dengan pimpinan DPRD.

“Baik, tahun 2012 apakah anda ikut perjalanan dinas?” tanya hakim lagi.

“Iya, saya ikut sekitar 8 kali tahun 2012,” kata Adul.

“Kalau Sekwan membuat notulen, dan ternyata salah, apakah saudara suruh perbaiki,” tanya hakim.

Abdul Khair pun menjelaskan, pimpinan DPRD Langkat memang pernah mempertanyakan soal kuitansi kosong tersebut. Alasannya, tetap sama yakni harga tiket belum diketahui. “Kalau ada perjalanan dinas, yang menandatangani anggarannya siapa?” tanya hakim.

“Ketua (DPRD Langkat) yang tanda tangani. Laporannya ada juga ke kami (Wakil Ketua),” jawab Abdul.

“Nah, itu yang saya tanya. Kenapa dari tadi berbelit-belit. Intinya berarti pimpinan DPRD tanda tangani,” kata hakim.

Hakim kemudian mempertanyakan, soal mark up tiket perjalanan dinas yang belum dikembalikan ke kas daerah. “Apakah penyidik (Kejari Stabat) ada meminta anda untuk mengembalikan uang sisa tiket?” tanya hakim.

Abdul Khair pun menjelaskan, saat di penyidikan, dia memang disuruh penyidik untuk mengembalikan uang perjalanan dinas sebesar Rp20 juta. Hal itu, katanya, sesuai hasil audit BPK. “Tetapi baru Rp2 juta yang saya kembalikan,” kata Abdul Khair.

“Terus sisanya sekitar Rp18 juta kenapa belum anda kembalikan?” kata hakim.

“Belum ada uang saya majelis, karena habis saat caleg kemarin,” katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Surbakti. Menurutnya, dia juga diminta untuk mengembalikan uang Rp20 juta, namun dia baru mengembalikan Rp4 juta. Alasannya, karena uangnya habis saat caleg dan kemudian tidak terpilih.

“Kalau disuruh mengembalikan, berarti pimpinan terlibat. Apa kalian sudah ada diapa-apain oleh penyidik?” tanya hakim.

“Tidak ada diapa-apai oleh penyidik sampai sekarang,” jawabnya.

Hakim kemudian mempertanyakan soalnya ada Peraturan Bupati (Perbup) Langkat yang menyatakan, setiap perjalanan dinas anggota DPRD, pertanggungjawabannya adalah pimpinan DPRD. “Berdasarkan peraturan ini, berarti saudara (pimpinan DPRD Langkat) harus bertanggung jawab. Bagaimana itu?” tanya hakim.

Ketiga pimpinan DPRD Langkat ini pun tidak bisa menjawab. Hakim kemudian marah kepada ketiganya. Karena setiap perjalanan dinas itu, ternyata ketiga pimpinan DPRD Langkat selalu menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Sementara anggota DPRD lainnya, hanya menaiki pesawat komersial biasa, seperti Lion Air. “Nah, ini kan aneh. Apa ada diatur dalam Pergub (Peraturan Gubernur) kalau pimpinan naik Garuda, dan anggotanya lain pesawat?” tanya hakim.

“Tidak ada yang mulia,” jawab Rudi.

“Jadi, apa fungsi anda sebagai pengawas yang katanya kolektif kolegial,” kata hakim.

Ketiga saksi ini pun terdiam. Usai mendengarkan keterangan saksi, majelis hakim pun menunda sidang tersebut hingga pekan depan. Sementara itu, Pengamat Hukum Hermansyah Hutagalung mengingatkan, Kejari Stabat jangan main-main dalam perkara dugaan korupsi perjalanan dinas DPRD Langkat ini. Menurutnya, penyidik harus berani menyeret para pimpinan DPRD Langkat tersebut menjadi tersangka.

“Satu rupiah pun, kalau terbukti penggunaan anggaran uang negara diselewengkan, haruslah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam fakta persidangan kan sudah jelas, ada yang menerima sampai Rp20 juta dan belum dikembalikan,” tandasnya.

Sebelumnya, dalam dakwaan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Stabat mengatakan, pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.

Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp80 ribu per tiket.

“Terdakwa menaikkan harga tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air sebanyak 173 tiket,” kata jaksa. Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat. Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan. Akibatnya, kata jaksa, negara dirugikan Rp665,9 juta.

“Dari Juli-Desember 2012, kerugian negara sebesar Rp330,4 juta,” ujar jaksa. Perbuatan kedua terdakwa itu diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.(bay/deo)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/