Beragam modus intervensi pun mencuat, seperti pengusulan lokasi proyek yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan dan pemaksaan pengadaan proyek yang tak sesuai dengan kebutuhan dan fokus daerah.
“Misal sudah disepakati 20 titik pembangunan. Yang khawatir kalau diusulkan di luar itu dan jadi banyak. Misal juga memaksakan kegiatan produk karena ada kenalan rekanan. Kalau tidak disetujui pemerintah terus disandera di belakang,” katanya.
Di satu sisi, Pahala menegaskan fungsi legislatif bukan mengusulkan proyek dan menyandera melainkan menyetujui anggaran belanja. Intervensi ini dinilai akan menghambat pembangunan dan merusak tatanan birokrasi.
“Ada satu wali kota saking tersanderanya, dia kirim surat ke KPK karena titipan proyek tidak diakomodir. KPK berkirim surat ke DPRD dan akhirnya APBD disahkan,” katanya.
Untuk pengawalan APBD, KPK akan menititkberatkan pada tiga poin. Pertama adalah pengelolaan APBD termasuk dalam pengadaan barang dan jasa untuk proyek tertentu.
“Sistem e-procurement bisa di-install tapi KPK akan diberitahu oleh pemerintah daerah di titik mana kritisnya dan KPK akan ikut rapat pengadaan barang dan jasa,” katanya.
Model lain untuk memantau pengadaan barang dan jasa yakni dengan melihat langsung proses pengadaan. Selain itu, opsi penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) juga menjadi bahasan. “Kalau MoU tidak didengar, mereka akan diundang datang ke KPK,” katanya.
Setelah dipanggil KPK, Sekda Provsu Hasban Ritonga menjelaskan, pemerintah setempat menekankan fokus pada pembangunan infrastruktur. Namun, di sisi lain ada usulan pembangunan industri hilir seperti pengelolaan turunan kelapa sawit sebagai produk unggulan daerah setempat.
“Ini pengawalan untuk program itu yang diharapkan ada dari KPK agar nanti tidak ada yang ngotot dilaksanakan. Yang terpenting adalah nanti ada pendampingan dan tata kelola administrasi yang taat azas. Kami sepakat akan berikan laporan ke KPK tiap saat,” ucap Hasban. (sam/bal/gir)